Apa Dollah Melempar Serdadu dengan Ikan Bandeng [Sebuah Kisah]
Pemandangan kampung saya menjelang Magrib.
JIKA ada cerita yang masih membuatku tertawa ngakak hingga hari ini, maka itu adalah cerita tentang Apa Dollah (bukan nama sebenarnya). Hanya saja, belakangan ini aku tidak pernah lagi menertawakan 'kekonyolannya', terutama setelah tahu bagaimana ia meloloskan diri ke Medan. Hal itu ia lakukan ketika pemerintah menggelar operasi jaring merah untuk menumpas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK, sebutan pemerintah untuk kelompok Hasan Tiro). Tidak banyak pemuda seusianya yang berani menantang maut dengan cara pergi diam-diam dari kampung halaman ketika itu.
Seperti kita tahu, sejak tahun 1989, suasana perkampungan di Aceh, terutama di tiga daerah yang dilabeli merah tidak baik-baik saja: Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. [Saat itu, belum lahir [kabupaten] Pidie Jaya, Bireuen, Kota Lhokseumawe, dan Kota Langsa. Kalau tidak salah ingat, pemekaran wilayah tersebut baru dilakukan setelah reformasi]. Banyak anggota masyarakat memilih merantau ke luar daerah atau menuntut ilmu ke dayah-dayah tradisional. Soalnya, menetap di kampung berarti siap menerima segala konsekuensi: dipukul, dibunuh dan atau mati. Begitulah risiko hidup di wilayah perang.
Di tiga daerah yang diberi label merah itu, penetrasi kekuatan militer terutama dari pasukan elit Kopassus begitu terasa. Operasi militer dengan sandi operasi jaring merah membuat perkampungan di tiga daerah itu seperti memiliki 'tentara sendiri'. Ya, masing-masing kampung kebagian 12 personil tentara. Mereka biasanya menempati gudang yang berada di areal meunasah atau rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya. Setidaknya begitulah yang aku saksikan di kampungku, dan mungkin juga sama dengan kampung-kampung lain di tiga daerah merah ini.
Sekilas, keberadaan pasukan ini mampu memberi rasa aman bagi warga kampung, terutama di masa-masa awal keberadaan mereka. Mereka tampak ramah dengan warga: memberi salam tiap melewati pos jaga atau ketika berpapasan dengan ibu-ibu yang baru pulang dari sawah. Bagi tentara yang beragama Islam, mereka sering menjadi jamaah salat Magrib, sesekali ada yang bertindak menjadi imam. Oh ya, ketika itu hanya Salat Magrib saja yang dilaksanakan secara berjamaah.
Setelah masa-masa beradaptasi itu dirasa cukup, mulailah mereka memperlihatkan perilaku aslinya: suka membentak, menyambangi rumah warga yang memiliki anak gadis berparas ayu, atau mengambil paksa burung piaraan penduduk kampung. Jika ada warga sedang panen udang di tambak, mereka meminta 'jatah' seikhlasnya di mana sang pemberi tidak benar-benar ikhlas, saking banyaknya. Tidak cuma itu, mereka juga meminta jatah 'reman' kepada toke udang yang saat itu sangatlah makmur hidupnya.
Apa Dollah, salah satu warga yang terusik dengan 'aturan' jahannam itu. Suatu hari, ia bersama dengan beberapa pemuda kampung yang bekerja di tambak miliknya, sedang memanen (menjaring) bandeng. Ketika mereka lagi menjaring ikan bandeng, datang satu regu tentara bersenjata lengkap, lagi patroli seperti biasanya. Mereka pun meminta jatah ikan seikhlasnya. "Untuk menu makan malam," kata salah seorang dari mereka, memberi alasan.
Dollah belum bisa naik ke darat untuk menyerahkan ikan yang diminta mereka, karena sedang menjaring. Ia pun melemparkan ikan-ikan bandeng ke darat untuk diambil oleh para tentara. Dollah tidak menghitung berapa ekor ikan yang sudah dilemparkan, dan ia baru berhenti melempar ketika seorang tentara bilang sudah cukup. Dan, Dollah tahu, setelah anggota regu itu pergi, ia masih akan meladeni permintaan jatah reman itu dari regu tentara yang lain. Celakanya, kali ini, ia naas.
Setelah beberapa kali melempar ikan bandeng dengan sempurna, maka pada lemparan terakhir, ia meleset. Ikan hasil lemparannya mendarat di wajah salah seorang tentara. Serdadu sikrak balok itu merintih kesakitan dan terjatuh. Darah segar mengucur dari hidungnya. Rupanya ikan lemparan Apa Dollah mengenai hidungnya. Dan, nasib celaka apa yang akan menimpanya, Dollah tidak berusaha mencari tahu.
Di kampung yang memiliki areal tambak cukup luas itu, para tentara yang menetap di sana seperti menemukan 'lahan' mencari rezeki. Tidak heran jika kawasan tambak menjadi salah satu tempat yang paling sering mereka datangi, padahal mereka tahu 'awak ateuh', sebutan untuk gerilyawan Aceh Merdeka (AM), tidak ada yang bersembunyi di sana. Patroli itu semata-mata mereka lakukan untuk mencari lauk makan malam atau uang rokok. Udang windu adalah salah satu komoditi mahal ketika itu (dan sampai hari ini).
TIDAK ada kejadian luar biasa yang menimpa Dollah setelah insiden 'lemparan meleset' itu. Namun, dua hari kemudian, Dollah diminta datang ke meunasah, tempat para tentara tinggal. Ia datang sendirian. Di sana ia disambut dingin oleh si 'korban' ikan bandeng, yang memintanya masuk ke dalam gudang tempat di mana Danru (komandan regu) berada.
Setelah basi-basi sejenak, Danru mulai menyampaikan maksud mengundang Dollah ke markas. Rabu nanti, katanya, Dandim dan rombongan dari kabupaten mau bersilaturahmi dengan para penduduk. "Sekalian meresmikan pos kamling dari tiga kampung di mukim Tak Bernama ini," katanya. Menjelang perayaan Indonesia Emas 17 Agustus 1995, acara seperti itu memang kerap dilakukan.
"Apa hubungannya dengan saya?" tanya Dollah berlagak lugu.
"Begini, kami butuh bantuan dari kamu," jawab Danru.
"Bantuan seperti apa, komandan?"
"Kami butuh lima puluh kilo udang windu, dan dua puluh kilo ikan bandeng. Oleh-oleh untuk komandan."
Mendengar itu, Dollah sempat terdiam, seperti orang baru saja mendengar berita duka. Ia tahu, menolak permintaan itu bisa beralamat celaka. Meski berat, ia menyanggupinya.
"Tidak ada masalah, kan?" tanya Danru setelah melihat ekspresi wajah Dollah.
"Tidak ada, pak!" jawabnya sigap.
Ia pun diperbolehkan meninggalkan pos. Di luar si serdadu korban ikan bandeng menatapnya puas. Hari itu, di kalender tertulis Kamis. Setidaknya ia masih memiliki tujuh hari lagi untuk menyiapkan 'upeti' tersebut. Dollah belum berpikir untuk mengabaikan permintaan itu.
Pada Kamis malam, ketika sedang memadu kasih dengan istrinya, terlintas ide di benaknya. Itu seperti ilham yang merasuki penulis pemula untuk segera menuntaskan ceritanya.
"Aku ada ide," bisiknya ke telinga istri. Sisa-sisa kepuasan bercinta membuat Rabumah, sang istri, menyimak serius.
"Ide apa, sayang?" balasnya. Sekali lagi, Dollah membisiki sesuatu ke telinga Rabumah, yang membuat mata istrinya membelalak. "Gila, kamu ya?" timpal Rabumah, tapi ada rona kebahagiaan di wajahnya.
JUMAT pagi tanggal 11 Agustus 1995, Dollah meminta Rabumah dan anak mereka, Meutuah, untuk pergi bersama rombongan ibu-ibu pengajian ke Lueng Putu, seperti rencana mereka. Ia sendiri akan menyusul mereka satu jam sebelum adzan salat Jumat berkumandang. Hal itu dilakukan agar kepergiaanya tidak mengundang curiga anak buah Danru. Mereka pasti berpikir Dollah hendak pergi untuk salat Jumat, seperti warga yang lain.
Seperti rencana, satu jam menjelang adzan, dia mengayuh sepeda bututnya ke masjid. Ia memakai baju koko putih, peci hitam dan kain sarung, seperti umumnya orang mau salat Jumat. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan dari gaya berpakaiannya. Padahal, di benak Dollah, sudah berkelindan rencana raya panyang yang tak seorang pun mengetahuinya, kecuali Rabumah, istrinya.
Dan, begitu tiba di masjid yang berjarak dua kilometer dari kampungnya, ia meletakkan sepeda yang seluruh bagian besinya berkarat itu di dekat pembuangan sampah. Lalu, berjalan ke kios di sebelah utara pagar masjid, untuk membeli rokok. Selanjutnya, dia menyeberang jalan untuk menaiki titi menuju areal persawahan, dan masuk ke kebun kelapa. Dari sana ia hanya perlu berjalan satu kilometer untuk mencapai jalan kecamatan. Di sanalah nanti dia akan menumpang RBT yang akan membawanya ke Lueng Putu, tempat di mana istri dan anaknya, Meutuah, sudah menunggu.
Dollah memilih Lueng Putu karena mudah mendapatkan bus penumpang. Ketika itu, Lueng Putu adalah kota kecil yang ramai, dan sering menjadi pilihan bagi warga menyetop bus penumpang menuju Medan. Itu pula yang dilakukan Dollah bersama istri dan anaknya. Hanya saja, kali ini Dollah pergi ke Medan memakai pakaian yang seharusnya digunakan untuk Jumatan. Di Medan pula, cerita lucu soal Dollah bermula, seperti yang ingin aku ceritakan. [Seharusnya cerita ini ada sambungannya] []
Jadiii...lucunya pajan?
Gara-gara lazat bak ta cerita, ka tuwo bagian lucu kak. Mungken bak sambungan ta tuleh teuma hahaha
Nyan ka payah neu Sambong cerita nyan. Penasaran long.
Wate sempat unteuk lon tuleh sambungan lom...
👍👍👍😃
Awas kalau tak ada sambungannya!
*Asah kelewang...
Udah tuh sambungannya...
Udah kubaca dan upvote kemaren.