Ketika Apa Dollah Tiba dengan Selamat di Medan [Sebuah Kisah]

in Indonesia3 years ago

IMG_20210424_163951.jpg
Perjalanan (pelarian, lebih tepatnya) Apa Dollah dan keluarga ke Medan berjalan mulus. Bus PMTOH yang membawanya ke tanah Batak itu hanya dua kali berhenti: sekali di kawasan Alue Ie Puteh, dan sekali lagi di Kota Langsa. Pemberhentian bus di Alue Ie Puteh sempat membuat seisi bus panik dan tegang. Bagi para sopir bus, Alue Ie Puteh merupakan tempat paling celaka, setelah pos militer dibangun di sana. Mereka selalu berharap tidak pernah diberhentikan di pos tersebut. Soalnya, setiap diberhentikan maka jumlah penumpang bus yang hendak ke Medan itu pasti menjadi berkurang.

Baca kisah sebelumnya: Apa Dollah Melempar Serdadu dengan Ikan Bandeng [Sebuah Kisah]

Ketika para serdadu masuk ke dalam bus, raut wajah Apa Dollah sama sekali tidak tampak takut dan tegang. Bahkan ketika semua penumpang, laki-laki dan perempuan, diminta untuk turun dan berbaris di pinggir jalan, Apa Dollah tetap bersikap seperti biasa: tenang dan bersahaja. Identitas para penumpang diperiksa satu per satu, dan mereka ditanya tujuan pergi ke Medan. Penumpang yang tidak dapat menjawab dengan lugas dan tampak tergagap ketika memberi jawaban, langsung dibawa ke pos yang sedikit gelap. Setelah lebih tiga puluh menit mereka diperiksa di sana, hanya satu orang yang tidak pernah bergabung kembali dengan para penumpang lain di dalam bus.

"Malam kemarin dua orang dibawa dan tidak pernah kembali," kata sopir kepada penumpang yang duduk di bangku dekat pintu. Apa Dollah ikut menyimak obrolan mereka diam-diam. Dalam hati dia bersyukur dapat lolos karena disangka seorang Teungku. "Ada gunanya memakai baju koko," gumam dia dalam hati.

Saat itu, pos Alue Ie Puteh di Kecamatan Baktiya, Aceh Utara terkenal karena serdadunya kejam-kejam. Para penumpang bus malam yang terlihat mencurigakan langsung dibawa, dan mereka tidak akan pernah dapat melanjutkan perjalanan maupun kembali dengan selamat ke keluarganya. Hanya saja, kabar kehilangan mereka tidak pernah diberitakan di koran. Tidak untuk saat itu.

Bus melaju kencang, menembus pekatnya malam, melewati satu persatu kota kecil di pantai timur. Tiba di Kota Langsa, bus berhenti sekali lagi. Bagi para penumpang tujuan Medan, mereka hafal betul di mana saja bus akan berhenti. Dan, setelah berhenti di Langsa, tidak ada lagi pemberhentian selanjutnya kecuali di sebuah masjid di kawasan Stabat, Medan. Jika mereka tidak turun untuk makan-minum dan buang hajat di Langsa, maka mereka harus menahan lapar sepanjang perjalanan. Soalnya, di Stabat bus berhenti hanya agar para penumpangnya dapat melaksanakan salat Subuh.

Perasaan Apa Dollah begitu lega setelah bus yang ditumpanginya tiba di Kota Medan. Di terminal kawasan Gajah Mada itu, semua penumpang turun, begitu juga dengan Apa Dollah dan keluarga. Ada yang langsung mencari becak , ada yang menunggu pagi sambil menikmati secangkir kopi di kantin di areal terminal seperti dilakukan Apa Dollah. Dia berencana pergi ke rumah pamannya dari pihak ibu, di Jalan Halat. Perjalanan ke sana menggunakan becak akan membutuhkan waktu sekitar 55 menit. Dia memang tidak pernah ke sana, tapi secarik kertas berisi alamat pamannya itu, diyakininya akan menolongnya.

Baca juga: Daftar Situs yang Bayar Mahal Penulis

Singkat cerita, Apa Dollah bersama istri dan anaknya, Meutuah, tiba dengan selamat di rumah pamannya, meski sempat dibawa berputar-putar oleh abang becak. Karenanya Dollah harus membayar ongkos sedikit lebih mahal dari tarif normal. Kini, dia lega karena Danru dan anak buahnya tidak mungkin mencarinya hingga ke Medan. Lagi pula, Danru dan anaknya tidak akan menyangka kalau dirinya bersembunyi di Medan. Sang paman, Syik Maun, menyambut mereka dengan ramah, dan ikut senang keponakannya tiba dengan selamat.

Setelah seminggu, Apa Dollah mulai bosan hanya berdiam diri di rumah. Sebagai orang yang memiliki pekerjaan saat di kampung, Dollah jelas tidak suka hanya duduk berpangku tangan. Dia tidak mau membebani sang paman yang sudah memberinya tempat untuk tinggal. Dia harus punya pekerjaan, yang akan membuatnya betah hidup di Medan dan melupakan tambak udang miliknya di kampung.

Pada Rabu malam (alias malam Kamis), Syik Maun mengajak ponakannya, Apa Dollah dan keluarganya, menikmati suasana Kota Medan. Mereka dibawa berkeliling, ke lapangan Teladan hingga ke Medan Mall yang baru dibuka. Sebagai orang yang lama menetap di kampung, ingar-bingar perkotaan segera membuatnya takjub. Di dalam Mall Medan yang rencananya akan diresmikan esok harinya, jumlah pengunjung membludak. Seakan seisi Kota Medan tumpah ruah ke dalam mall baru tersebut.

Bayangkan, eskalator maupun antrian di depan pintu lift tidak pernah sepi. Orang-orang rela berdesak-desakan di atas eskalator maupun di dalam lift untuk melihat-lihat suasana di tiap lantai. Antrian di depan lift yang memiliki dua pintu itu tampak mengular. Apa Dollah terlihat di tengah antrian bersama Paman dan keluarganya. Lalu, sebuah kejadian membuatnya urung menggunakan lift. Apa Dollah melihat orang yang masuk lift maupun yang keluar lift tidak pernah sama. Kadang, orang bertubuh tinggi masuk lift, tapi yang keluar lain lagi: bertubuh pendek. Kemudian masuk lagi orang berkulit putih, lalu di pintu keluar lift satu lagi keluar orang berkulit hitam, keturunan Afrika.

Apa Dollah seketika berpikir, jika masuk lift sebelah kiri dan keluar lewat pintu lift itu juga maka yang berubah hanya bentuk fisik. Sementara jika masuk lift sebelah kiri dan kemudian keluar dari pintu lift sebelah kanan, maka yang berubah warna kulit. Sementara dalam beberapa kasus, jika yang masuk lift seorang laki-laki, maka yang keluar seorang perempuan. Hal ini terjadi secara acak.

"Paman, aku tidak mau menggunakan lift," katanya. Pamannya, Syik Suman, tampak heran.
"Kenapa?" tanya dia heran.
"Lihat tuh, orang-orang jadi berubah setelah masuk lift."
"Berubah bagaimana?" Pamannya, makin heran.
"Jika orang bertubuh pendek masuk lift, maka ketika luar tubuhnya jadi tinggi. Sementara jika dia keluar dari pintu lift satunya lagi, warna kulitnya jadi hitam legam."
"Mana ada. Itu orang yang berbeda."

Tetap saja Apa Dollah tidak percaya. Dia tidak mau masuk lift, dan ingin naik ke lantai atas menggunakan eskalator, meski harus berdesak-desakan.

Dalam hati, pamannya bergumam: biet-biet aneuk kumuen lon meu gampong that! [Selesai]

Sort:  

Bit...bit si Dollah...😁😁😁

That paloe si Dollah nyan

Tentang Kelakuan Apa Dollah terkait "lift" Itu mungkin juga dialami Mukidi🤣 apalagi saat jumpa nenek berparfum bau ubi cilembu.

Kayaknya Dollah dan Mukidi punya buyut yang sama haha

sepertinya begitu, cuma syakawi dan bang baka yang laen bacut

Syakawi dan bang Baka sang teungoh sibok peugot puisi haha

Han ek ta khem....😃😃😅😅

Memang hana ubat Apa Dollah tanyoe nyan haha

Apa Dollah ka payah ta pakat ngon Wagito bin Wagiman lon sigoe2 jak meuen u Midan...

Lon rencana neuk jak ba Apa Dollah bak Suzuya Bna, lam tulesan ukeue nyoe