Sebuah Lagu

in Indonesia4 years ago

20210418_161337.jpg

Lewat sebuah pesan, aku menanyakan apa saja yang ingin dicapainya pada 2021? Ia membalas hampir tengah malam, "lari dari sebuah kehidupan dan menjadi diri sendiri." Sulit sekali, balasku, sepertinya kau harus membunuh orang-orang yang menghambat jalanmu.

Bung, balasnya lagi, aku seperti terkurung di sebuah kamar gelap.

Aku mengajaknya bertemu di tempat biasa. Dan mendengar cerita sedih ini:

Sembilan tahun lalu, seorang guru pelajaran musik memuji skillnya bermain drum. Ia dan kawan-kawannya lalu membentuk sebuah band. Band itu diberi nama The Las. Simpel saja, alasannya, karena band itu terbentuk di depan sebuah bengkel las. Mereka masih sangat bocah saat itu, tak banyak pikir.

Setiap Sabtu, selepas pulang sekolah, mereka akan latihan. Ia rela tak jajan hari itu, agar bisa sewa studio sejam. Sejam artinya ngejreng, ngejreng tak jelas. Tam...tum tak jelas. Hari lepas hari, kabar tentang bandnya itu tersiar satu sekolah. Sedikit yang memuji, sebagian lain malah mengejek. Ia tak ambil pusing soal itu. Hingga akhirnya ibu dan ayahnya ikut mengetahui dan kemudian melarangnya bermusik.

Setelah mereka berhasil memainkan lagu Let it be, karangan Paul Mccartney. Ia terpaksa keluar dari band itu. Karena harus mengaji di sebuah pesantren, di ujung kota. Ia menangis ketika melihat ibu dan ayahnya meninggalkannya di kamar asrama.

Aku memotong, apa arti Let it be? Biarlah, jawabnya.

Dua tahun di sana, ia melupakan gagasan bermusik dan malah rajin belajar. Mungkin jin-jin di pesantren itu jatuh hati padannya, dan tinggal di tubuhnya yang kurus. Satu hal yang ia dapat selama itu, ia jadi tahu cara belajar. Namun, bertahun-tahun kemudian ia sadar, selama ini ia hanya menghafal. Ia tak sepenuhnya paham. Di ujian, para ustadz tidak menerima jawaban kecuali dari text buku pelajaran, berbahasa Arab pula.
Dia seorang pendiam dan juga penyendiri. Banyak menghabiskan waktu di kamar, di kantin dan perpustakaan. Kadang-kadang, ia merasa iri atas prestasi yang diraih teman-temanya. Ia merasa tak berguna hidup di dunia ini. Atas alasan itu, dia mengikuti lomba cipta puisi. Juri mengapresiasi puisinya dan memberinya juara dua. Pelan-pelan hidupnya kembali berwarna.

Seorang ustad menyarankannya untuk membaca buku-buku. Sang Ustad juga menghadiahkan sebuah novel tipis untuknya, Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway. Setidaknya, novel itu mengubah caranya memandang dunia. Karena Hemingway juga, ia ingin belajar menulis berita.

Ketika ia sedang membaca novel itu untuk ketiga kalinya, seorang ustad lainya datang dan merobek novel itu dengan wajah yang dingin. Esoknya ia dipanggil dan dihukum. Di dalam buku peraturan memang ada larangan membaca buku selain buku islami. Ia lupa dan baru sadar. Tapi, ia tak bisa berhenti membaca cerita-cerita. Jiwanya merasa hidup setelah membaca cerita-cerita. Diambilnya novel-novel itu, dan ia menganti sampulnya dengan sampul yang lebih islami.

Tamat dari pesantren itu, ia ingin kuliah sastra. Tapi, keinginannya itu dipatahkan oleh orang tuanya. Ibunya tak setuju, “mau kerja di mana nanti?” Ayahnya menyarankan agar ia kuliah di Teknik Pertambangan. Apa boleh buat? Ia takut melawan. Dunianya kembali hitam-putih. Ia menerima dan menolak apa yang akan orang terima dan tolak. Kuliahnya berantakan. Hatinya selalu panas. Kadang, ia berkhayal, seandainya ayah meninggal, apa ibu akan tetap memaksanya untuk manamatkan kuliah? Kadang, lebih parah, ia ingin membunuh ayahnya. Lalu, beberapa detik kemudian, segera ia mengucap.

Suatu hari, di tengah pembicaraan dengan tuhan, ia membuka gawai, dan tak sengaja menemukan satu judul lagu yang membuatnya bangkit. Hari itu, berulang-ulang kali ia memutar lagu ciptaan Farrokh Bulsara itu. Hidupnya kembali berwarna. Ia ingin keluar dari penjara ini, penjara yang tak pernah bisa dilihat oleh teman-temannya dan keluarganya.

Aku bertanya dengan sinis, “Kau ingin hidup seperti apa? Kau ingin hidup miskin dan meninggalkan semua harta ayahmu? Yang benar saja?”

“Hidup secukupnya… seperlunya, bung.”

“Lalu, apa rencanamu?”

“Menyelesaikan studiku, lalu menyerahkan ijazah ke ayah dan ibuku. Dan aku akan bilang, ingin hidup dengan apa yang aku cintai, yang aku yakini."

“Kau gila,” aku tertawa, “ada hidup enak malah pilih yang susah. Kalau orang tuamu tak setuju, gimana?”

“Aku akan mengangkat kursi, membantingnya ke meja atau ke atas TV atau…” ia menatap dalam ke depan, “aku akan mengamuk, bung.”

Aku tertawa lagi, “semoga beruntung, setidaknya, kau mengundangku pada hari pembalasan itu.”

“Hari Pembalasan?” ia menatapku sambil tersenyum. Aku tau di kepalanya ia sedang menyusun rencana-rencana lain, untuk kabur dari penjara yang berlapis-lapis itu.

Sort:  

Begitulah. Orang memang memiliki pendapatnya masing-masing. Kita bisa saja menilai hidup enak itu milik orang-orang yang berlimpah harta, sementara ada yang mengatakan padaku bahwa kebahagiaan itu letaknya di jiwa dan di hati, bukan pada uang. Kupikir kedua jenis pemikiran itu ada benarnya dan ada kelemahannya. Tapi tetap saja: aku juga tidak tahu apa-apa.

Keren cerpennya Bang.