Peran Bank Dunia Dalam Rekontruksi Pasca Tsunami di Aceh
Pembahasan tentang ekonomi dan keuangan memang selalu menarik untuk dibahas. Saya bahkan berlangganan beberapa majalah ekonomi untuk dibaca, diantaranya ada yang berbahasa Indonesia dan sisanya berbahasa Inggris. Info Bank adalah salah satu majalah berbahasa Indonesia dan The Economist menjadi pilihan saya untuk majalah yang berbahasa Inggris. Kali ini saya ingin membahas tentang Bank Dunia atau World Bank. Kita kebanyakan salah dalam membedakan antara Bank Dunia, IMF, dan WTO. Semua kita aduk menjadi satu.
Disclaimer: Saya bukan mahasiswa ekonomi dan pakar dibidan tersebut, saya hanya tertarik dengan ekonomi dan biasanya memperoleh informasi dari bacaan seperti majalah dan buku. Jadi apa yang saya tulis berikut ini bisa saja salah.
Kontribusi besar dan signifikan paling mutakhir dari Bank Dunia (World Bank) adalah dalam rekonstruksi Aceh pasca bencana tsunami. Tetapi banyak yang tidak sadar dengan hal ini. Melupakan peran Bank Dunia di Aceh adalah hal yang memalukan, karena bantuan World Bank bukan saja dalam bentuk dana dan tenaga ahli, tetapi juga koordinasi di lapangan. Lembaga sosial dan donor lain belum tentu mau terlibat sedemikian rupa di Aceh, tanpa koordinasi dari World Bank. Kita berutang banyak pada rekonstruksi di Aceh. Mengandalkan APBN untuk program bantuan darurat tentu tidak fleksibel, karena terlalu lambat dalam proses birokrasi, mulai dari alokasi dana hingga review.
Mengandalkan Pemerintah Daerah di daerah bencana lebih sulit lagi, karena keuangan sangat terbatas dan infrastruktur banyak rusak juga kurang keahlian. Sementara NGO pendonor banyak yang ingin membantu, tetapi perlu koordinator lapangan dan perencana strategis, supaya rekonstruksi bisa bersifat permanen. Bisa kita bayangkan betapa repotnya saat ribuan orang tewas, yang hidup masih trauma, listrik dan komunikasi mati, air tidak ada, jembatan &danpelabuhan rusak. Melihat kehancuran Aceh, banyak yang skeptis rekonstruksi bisa dilakukan, tetapi membiarkan Aceh hancur dan penduduknya mengungsi juga bukan sebuah solusi.
Apakah kemudian bantuan World Bank gratis? Tentu saja tidak, tetapi bunganya dibawah bunga pasar dan bisa segera cair untuk digunakan. Faktor waktu sangat darurat. Dengan adanya pembayaran kembali dan bunga yang ringan, maka tersedia sumber daya besar untuk membantu negara miskin lain serta ada tanggung jawab. Di level negara, semua bantuan berstatus utang karena harus dibayar kembali karena duit itu datang dari pembayar pajak di negara pendonor.Tanpa biaya pembayar pajak di negara pendonor, maka tidak akan ada bantuan. Jadi wajar kalau pembayar pajak negara pendonor minta pertanggung jawaban.
Anda tentu tidak ingin pemerintah RI misalnya membantu negara Kamboja secara gratis kan? Itu adalah duit dari pajak kita yang digunakan. Untuk sejarah World Bank akan coba saya lanjutkan pada postingan selanjutnya.