Di Bawah Kubah Langit Kelabu Kota Berlin
Hansel dan Gretel sampai saat ini masih hidup dan sehat karena kutukan Sang Penyihir Jahat. Mereka tinggal di Berlin.
Gretel bekerja sebagai pramusaji di sebuah bar. Hansel menghabiskan hari-harinya di kantor mencoret-coret kertas menghabiskan isi bolpoin untuk menulis dongeng khusus untuk orang dewasa. Menjelang tengah malam tiba, mereka duduk kelelahan di apartemen kumuh mereka di Kosmos-Viertel, minum bir dan mengisi teka-teki silang.
Gretel mendesah: "Hansel, aku tak tahu siapa diriku lagi."
Dan Hansel membalas: "Gretel, aku tahu siapa kamu seperti aku tahu siapa aku."
Keduanya merasa hidup mereka tak berarti lagi: sepasang manusia tersesat di tengah kota yang sesak padat. Meskipun tak mau mengakuinya, tumbuh dewasa di dunia orang dewasa di bawah naungan langit kelabu Berlin seperti terkurung dalam sel yang sempit, lebih sempit dan asing daripada kandang penyihir tempat Hansel pernah dipenjara.
Setiap akhir pekan, mereka berjalan ke taman. Berdiri di kegelapan, mereka melihat kisah mereka dimainkan di atas panggung pertunjukan boneka, dan untuk sesaat mereka merasa terhubung dengan dunia nyata. Setelah itu, mereka pulang dalam keheningan, lebih getir dari sebelumnya.
Sepulang bekerja, Hansel duduk di Tiergarten melempar remah-remah roti kepada gerombolan merpati, menatap sayap kelabu dan mencoba melupakan masa lalu. Dia menghibur dirinya sendiri dengan berpikir bahwa dia bodoh. Tidak ada alasan untuk semua ini: ketidakpuasan dan kehampaan yang membayangi hari-harinya. Dia—juga Gretel— memiliki kehidupan yang baik sekarang. Mereka telah melarikan diri dari masa lalu. Namun, bahkan sekarang pada malam-malam ketika dia tidak bisa tidur, dirinya berkeliaran di jalanan dengan topi dibenamkan dalam-dalam dan syal tebal menyembunyikan wajahnya. Selama berjam-jam, kadang-kadang di tengah hujan salju, dia membiarkan langkah-langkahnya dituntun oleh petunjuk acak—sepasang tutup botol bir yang mengarah utara simpang jalan, batu-batu mirip anak panah, lampu lalu lintas dari kuning ke merah. Dan meski dia berjalan tanpa tujuan dengan titik awal keberangkatan yang berbeda dan bertentangan dengan keinginannya, dia selalu tiba di tempat yang sama.
Gretel tahu Hansel keluar malam secara diam-diam. Dan Hansel tahu bahwa kadang-kadang Gretel merayap keluar dari tempat tidurnya untuk kemudian menghilang selama berjam-jam.
Namun mereka tidak saling bertanya satu sama lain tentang perihal tersebut. Keduanya takut jika keheningan itu buyar, mereka akan dipaksa untuk mengungkapkan rahasia yang mereka sendiri tak ingin tahu. Dengan demikian, keduanya mempertahankan perjanjian tak tertulis untuk saling tak acuh.
Lalu pada suatu malam saat dia berjalan sendirian, Hansel melihat Gretel. Seperti biasa, pengembaraannya telah membawanya ke lingkungan terkumuh Berlin Timur, ke sebuah gedung apartemen era komunis yang nyaris rubuh di jalan sempit dengan bau pesing menyengat amoniak dan sauerkraut basi.
Dia menyelinap di pojok dan melihat adiknya merunduk melewati ambang pintu: kepalanya ditekuk, terbungkus syal. Namun tetap saja Hansel mengenalinya.
Dia bersembunyi di sebuah ceruk dinding. Jantungnya berdebar-debar, berkeringat karena ketakutan. Dia menunggu beberapa waktu sebelum menguntitnya ke dalam gedung.
Tangga kayu yang berderit mengantarnya ke selasar suram yang dilapisi karpet merah kotor. Meskipun dia telah ke tempat ini lebih sering daripada yang dia akui, sekarang tampaknya asing dan berbahaya. Telapak tangannya licin karena keringat, dia berhenti di depan sebuah apartemen dan menempelkan telinganya ke pintu, berusaha menahan napas. Terdengar nada gumaman rendah, sesuatu terjatuh di dalam sana.
Dia membayangkan apa yang akan dia lihat jika dia membuka pintu: cemeti dan kekang pelana kulit, sangkar baja berkarat, tulang-tulang ayam berserakan di lantai, kecoak besar-kecil berlarian. Apa yang dia harapkan dari setiap perjalanan malamnya: hukum keinginan dan hasrat terpendam yang menyatakan konvergensi hanya dapat terjadi secara kebetulan.
Namun tetap saja, dengan tangan di pegangan pintu, keragu-raguan semakin menghimpit. Dan meskipun dia berusaha sekuat tenaga, tetap saja dirinya tak mampu bergerak.
Tiba-tiba dia menyadari bahwa semuanya sudah terlambat. Dongeng telah berakhir dan masa lalu tak mungkin menghapus beban masa kini.
Dengan hati hancur, Hensel berbalik dan berjalan menjauh pergi.
Untuk terakhir kalinya, dia menggumamkan kata perpisahan pada titisan Sang Penyihir Jahat.
TAMAT