Independensi Media Lokal | Bahasa |
Independensi Media Lokal
Oleh @ayijufridar
• TERMINOLOGI MEDIA LOKAL:
Media cetak atau elektronik yang beredar di daerah atau dapat diakses di tingkat daerah.
Media terbitan Jakarta atau luar Aceh yang menyiarkan informasi tentang daerah. Stasiun radio Jakarta kini sudah banyak yang menyiarkan berita-berita khusus daerah, termasuk Aceh seperti KBR 68H melalui kerjasama dengan stasiun radio lokal.
Media nasional yang mengeluarkan edisi khusus tentang informasi lokal, seperti Kompas yang menerbitakan edisi khusus Jawa Tengah atau Jawa Timur atau Jurnal Nasional yang menerbitkan edisi khusus Bogor (sekarang jurnal Nasional edisi cetak sudah tidak terbit lagi).
• KEPENTINGAN MEDIA:
Menakar independensi media lokal, tak bisa dipisahkan dari kepentingan media tersebut. Secara umum, kepentingan media dapat dibagi dalam tiga klasifikasi:
1. Bisnis
Usaha media baik cetak lebih-lebih elektronik adalah bisnis padat modal. Di tengah melonjaknya harga barang percetakan, banyak perusahaan pers beroperasi secara tidak sehat. Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, mengungkapkan setiap hari ada lima koran atau tabloid yang tutup menyusul tingginya harga kertas dan ongkos produksi. Leo juga menyebutkan, 70 persen dari 829 perusahaan pers di Indonesia, tidak sehat bisnisnya. Akibatnya banyak wartawan yang tidak professional karena gaji yang tidak memadai (SINAR HARAPAN, 24 Mei 2007).
Media cetak dan elektronik tidak bisa dilepaskan dari kepentingan bisnis, sehingga tingkat independensi wartawan sedikit banyak juga dipengaruhi investor. Kalaupun wartawan mampu mempertahakan independensi, tetapi biasanya posisi wartawan sangat lemah di hadapan pemegang saham. Sebab, di media mana pun, berlaku hukum wartawan menulis redaktur menentukan. Jadi, kepentingan pemegang saham biasanya disusupkan melalui redaktur. Kalau redaktur “membandel”, pemegang saham melakukan tawar-menawar melalui pejabat media, mulai dari redaktur pelaksana sampai pemimpin redaksi. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, juga menyebutkan perusahaan media termasuk lembaga ekonomi. Isu kesejahteraan jurnalis dan pekerja pers termasuk yang selalu diperjuangkan organisasi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen.
2. Kekuasaan
Media juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Di zaman Orde Baru, semua media di Indonesia dipengaruhi oleh kekuasaan. Media saat itu bukan sebagai alat kontrol kekuasaan, tetapi sudah berada di bawah kontrol pemerintah. Hal itu terjadi karena masih berlakunya aturan pembreidelan media cetak dan pencabutan SIUPP.
Media patut bersyukur, sejak era Reformasi sudah ada jaminan tidak ada media yang dibreidel. Ancaman kebebasan pers dan kebebasan berpendapat justru ada pada organisasi partai politik yang mendukung pusat kekuasaan.
Kekuasaan juga sering menggunakan media sebagai kendaraan. Bahkan banyak media yang sahamnya dimiliki oleh penguasa, sehingga wartawan sulit mempertahankan independensinya dalam bertugas. Kondisinya agak berbeda jika saham media tersebut dimiliki oleh pengusaha. Majalah TEMPO yang sahamanya juga dimiliki Ciputra, tetap netral dalam memberitakan jaringan bisnis Ciputra. Demikian juga ketika TEMPO bermasalah dengan pengusaha Tommy Winata. Ciputra yang ditelepon orang dekat Tommy menolak mengintervensi redaksi TEMPO.
3. Ideologis
Media juga mempunyai kepentingan ideologis dalam upaya ikut memberikan informasi, hiburan, dan edukasi kepada masyarakat pembaca. Pengelola media harus mempunyai kesadaran adanya tanggungjawab moral dalam setiap informasi yang disampaikan kepada pembaca. Jangan hanya demi kepentingan bisnis dan kekuasaan, media melupakan nilai-nilai ideologis.
Idealnya, sebuah media mengkombinasikan kepentingan ideologis dengan kepentingan bisnis. Antara dua kepentingan tersebut tidak bisa dipisahkan jika ingin media berumur panjang. Tidak boleh ada yang digadaikan demi kepentingan salah satunya.
• KONDISI DI ACEH
Kondisi media di Aceh juga tidak beda dengan di daerah lain di Indonesia. Bisnis media cetak di Indonesia dikuasai oleh dua kelompok besar; Kompas Gramedia dan Jawa Pos. bahkan, media-media mainstream di Aceh juga bagian dari kedua kelompok tersebut. Baik Serambi Indonesia, _Prohaba, dan dulu ada tabloid Kontras (Kompas Gramedia) maupun Rakyat Aceh (Jawa Pos). Sementara, media cetak lain di luar grup tersebut mempunyai oplah relative kecil.
Selain harus memerhatikan kepentingan bisnis dan ideologis, wartawan di Aceh harus memperhatikan aspek keamanan. Bahkan di tengah situasi damai seperti sekarang, ruang gerak wartawan tidak lepas dari tekanan yang juga membatasi independen jurnalis.
Independensi media baik lokal maupun nasional masih sulit dilepaskan dari ketiga masalah di atas. Kendati sejak menjadi wartawan sudah didoktrin dengan segudang nilai idealisme, tetapi pada prakteknya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan bisnis dan kekuasaan. Bahkan, tak jarang kepentingan ideal pers sebagai perpanjangan lidah masyarakat, sebagai media kontrol, harus mengalah kepada kepentingan bisnis dan kekuasaan. Kondisi ini diperparah dengan masih banyaknya perusahaan pers yang belum sehat sehingga tidak mampu membangun profesionalisme.
• PEMILU 2019
Pemilu 2019 yang tahapannya sudah berlangsung sejak 17 Agustus 2017 seperti yang termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017, bisa menjadi salah satu ukuran untuk melihat independensi media lokal. Dalam Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye, sudah ada batasan yang harus dipatuhi media dalam menyampaikan iklan terhadap peserta Pemilu. Semangatnya adalah agar semua peserta Pemilu, baik parpol maupun perseorangan, mendapat kesempatan yang sama. Kekayaan tidak menjadi ukuran mutlak dengan adanya pembatasan tersebut.
Namun, dapat dipastikan, tidak akan ada media yang mau membatasi iklan peserta Pemilu. Mereka memilih tetap akan memberikan porsi yang sebanyak-banyak bagi pemasang iklan karena itu menyangkut kepentingan bisnis.
Akhirnya, masyarakat pembaca-lah yang bisa menilai sekaligus menghukum media tersebut bila sudah melanggar batasan independensinya. Dengan tidak membeli media tersebut, lama-kelamaan media itu akan tutup. Sebab bagaimana pun juga, tuan dari sebuah media adalah pembaca, bukan pemegang saham, apalagi pemegang kekuasaan.[]
Sebuah tulisan yang bagus dan cukup memberi wawasan, namun masih ada tujuan yang belum tersampaikan. saya rasa melalui kolom komentar ini anda dapat menambahkan ide tulisan kedalam maksud yang lebih mengerucut agar pembaca khususnya dari kalangan jurnalis mampu menyikapi dan mengambil sikap idealnya ia berprofesi.
Terima kasih saudara @ayijufridar sudah berbagi pengetahuannya... Sukses terus dan selalu untuk media lokal dan jurnalisnya... salam pena.
Terima kasih atas responnya @bbjphotographer. Sekadar mengingatkan kembali [ara rekans jurnalis--termasuk saya tentunya-- agar tetap kukuh pada ideologi jurnalistik di tengah berbagai kepentingan yang mengepungnya, seperti kepentingan bisnis dan kekuasaan. Banyak ujian netralitas dan independensi jurnalis seperti dalam hajatan politik dan pilkada yang lalu. Saleum.
Thanks for sharing
Sy punya teman dulu wartawan, skrg produser di net tv. Diapun mengatakan kalo biarpun sdh jd produser, semua yg dibuat hrs mendukung pemilik tv. Jangan coba2 berkhianat hehehe..
Serba salah dong ya..idealisme bisa terkubur.
Idealisme yang tanggung selalu kalah dengan pemilik modal @horazwiwik. Menjelang pemilu presiden tahun 2014 lalu, pemilik Vivanews Grup pun sempat marah karena berita pesaing mereka lebih banyak.