Serial Vini Vidi Vici: Poster Leo

in #fiction7 years ago (edited)

AKU datang, aku lihat, aku menang. Begitu kata Julius Caesar, Kaisar Romawi kuno. Tapi Vini yang ini bukannya “aku datang”. Bukan. Vini yang itu kawan sekelasnya Vici, dan Vidi yang rada budi alias budeg dikit, kakaknya Vici. So, nggak adalah hubungannya dengan slogan Julius Caesar itu.

Jujur aja, sebagian cerita ini pernah dimuat di majalah remaja Anita Cemerlang sejak 1999 sampai 2000. Makanya di bagian pertama ini yang berjudul Poster Leo, yang dimaksud Ronaldo bukanlah Ronaldo penyerang Real Madrid asal Portugal, melainkan Ronaldo Brazil. Tentu aja dengan sedikit revisi di sana sini sesuai perkembangan zaman. Tapi sebagian besar 100 persen masih hangat dan hanya buat kamu, para Steemians muda (meski tetap halal bagi yang sepuh).

Kalo kamu ketawa saat baca kisah ini, itu tandanya kamu masih sehat. Tapi bila senyum aja nggak , itu tandanya saya yang nggak sehat lagi. Makanya buruan baca, biar sama-sama kita buktiin; kamu atau saya yang nggak sehat lagi, hehehe...

Salam sehat;
@ayijufridar



Source

Poster Leo

KENAL dengan Leonardo?

Kalo pertanyaan itu ditanyai ke 10 orang, maka akan lahir beragam jawaban. Tujuh orang pertama mungkin akan balik nanya; Leonardo apa? Soalnya ada Leonardo Da Vinci, pelukis Monalisa yang ngetop itu. Trus ada juga Leornardo DiCaprio, aktop top lagi ganteng. Jadi, pertanyaan Leonardo mana sangat wajar.

Dua orang mungkin akan langsung jawab kenal. Kalo ditanyain ke anak muda kayak kamu, pikirannya langsung ke Leonardo DiCaprio. Tapi kalo ditanyain ke bokap kamu, mungkin pikirannya ke Leonardo Da Vinci. Asal kamu nggak nanya ke si Messi aja. Pikirannya pasti nggak ke mana-mana, karena emang nggak punya. Messi bukan seorang cowok berkulit putih, tapi seekor kucing berbulu putih.

Nah, yang satu orang lagi mungkin dengan pede ngejawab; “Pasti kenal dong. Dia tuh pemain bola Brasil!”

Mudah-mudahan kamu nggak termasuk orang yang ngejawab kayak gitu. Soalnya, pemain bola Brasil namanya Ronaldo, bukan Leonardo.

Yang kita maksud di sini emang Leonardo DiCaprio. Kamu pasti kenal dia, meski dia nggak kenal kamu. Begitu juga dengan Vici. Doi kenal betul dengan Leo sampe ke hal-hal sepele. Ulang tahun, shio, hobi, sampe film-film yang dibintanginya. Semua ia hapal di dalam kepala (kalo di luar kepala sih udah lazim).

Vici seneng banget. Ada sebuah majalah remaja yang ngasih bonus super poster Leo. Poster itu terbit dalam dua edisi. Edisi pertama cuma nampak wajah Leo, dan edisi kedua baru keliatan badannya. Jadi, kebayang kan gimana gedenya poster itu.

Sejak dulu, Vici emang demen sama Leo. Sudah banyak pin up, postcard, dan poster Leo dikoleksi. Saking banyaknya, sampe ada poster yang ditempelin di WC. Katanya sih biar nggak terasa saat ngepup. Tapi poster itu sempat bikin masalah juga. Waktu ada Vici kedatangan Lydia, sepupunya yang juga gila abis sama Leo. Waktu nongkrong di WC, ambaiennya tiba-tiba kumat karena kelamaan jongkok. Rupanya dia keasyikan melototin wajah Leo hingga nggak nyadar sama penyakitnya. Hari itu juga Lydia harus dilariin ke rumah sakit. Vidi yang suka iseng, sempat-sempatnya nulis “korban poster” di bawah nama Lydia yang ada di daftar pasien rumah sakit.

Vici suka dengan poster Leo yang baru ini karena emang nggak pernah dimuat di majalah mana pun. Biasanya, majalah remaja di negeri kita ini kan nge-browsing foto artis luar dari internet. Atau kalo majalah itu berlangganan kantor berita asing kayak Reuters atau Associated Press, syukur bisa dapat foto terbaru. Kali ini, fotografer majalah yang motret langsung. Jadinya eksklusif banget. Nggak ada media lain yang dapat.

Itu alasan pertama kenapa Vici suka banget. Yang kedua, poster itu tajam banget. Jangan bilang bisa dipake buat ngupasin mangga saking tajamnya. Tajam di sini maksudnya poster itu jernih, bersih, bebas bintik karena cetakannya berkualitas. Biasanya, poster kan sedikit kabur karena kapasitas fotonya kecil tapi dipaksain jadi besar. Kalo poster yang ini tajam. Bahkan bulu-bulu halus di wajah Leo keliatan saking tajamnya. Apalagi satu titik tanda di tengah-tengah dahi Leo, kentara banget.

Makanya Vici lebih suka dengan poster itu dibandingin poster-poster Leo yang udah ia miliki. Tuh poster dipelototin siang malam. Bahkan dibawa ke sekolah buat nambah semangat belajar. Tapi karena poster itu, Vici malah nggak konsen belajar karena sebentar-bentar pengin liat si Leo. Vini yang duduk di sebelahnya sampe curiga.

“Ada apa sih dalam tas kamu?” tanya Vini setengah berbisik. Saat itu Pak Solihin sedang jelasin tentang gaya gravitasi bumi.

“Nggak pa-pa.”

“Masak sih? Jadi kenapa ngintip-ngintip ke dalam tas?”

“Iseng aja.”

“Bohong. Sini aku liatin…” Vini berusaha meraih tas Vici.

“Jangan!”

Teriakan Vici itu lumayan keras. Pak Solihin aja sampe kaget.

“Viciana Sangadji! Luvinia! Kerjakan nomor satu dan dua!!”

Itulah ujungnya. Mereka ditugasin ngerjain dua soal tentang hukum gravitasi bumi. Sialnya, mereka nggak ngerti sama sekali karena asyik berdebat. Dua kata yang masih lengket di kepala Vici cuma Newton dan apel doang. Andai Newton dan buah apel ada di sini, ia udah nyuruh si Newton itu makan apel, dan soalnya selesai.

Alhasil, mereka harus berdiri di depan kelas sampe ada anak lain yang bisa ngerjain soal tersebut. Emang sih, akhirnya ada Mario yang berkacamata tebal yang jadi pahlawan mereka. Tapi malunya itu, bo! Vici yang sejak kemaren melototin poster Leo, siang itu harus rela melototin papan tulis sampe Mario kelar ngerjain kedua soal itu. Kalo bisa, ia pengin masukin kepalanya ke dalam tubuh kayak kura-kura.

Kejadian itu bikin Vici jera. Poster Leo nggak dibawa lagi ke sekolah. Ia pengin diberi bingkai dan kaca agar keliatan lebih oke. Trus dipajang di kamar agar bisa dipelototin setiap saat tanpa harus ngerjain soal fisika.



Source

Rencana Vici udah mantap. Dia udah ngumpulin duit buat ngebingkai poster. Karena posternya gede, pasti harganya mahal. Rencananya, poster itu akan dibawa ke toko kaca sepulang dari sekolah.

Tapi, what’s going on?

Sepulang sekolah, poster itu raib entah ke mana. Vici udah obrak-abrik seluruh kamarnya. Meja belajar, laci, lemari, tumpukan majalah dan buku, sampe di kolong tempat tidur. Semua tempat itu disusuri dengan teliti dan berulang-ulang.

Hasilnya nihil.

Saat ke luar kamar, Vici yang masih pake seragam sekolah nyaris tubrukan dengan Vidi kakaknya.

“Mukamu kok belipat gitu? Kayak nenas belon dikupas!” ujar Vidi.

“Pasti kamu!” tuding Vici. “Hayo, di mana kamu sembunyiin posterku?”

“Mukamu tuh yang kayak monster!” balas Vidi.

Kalo dalam keadaan biasa, Vici pasti ketawa dengar jawaban Vidi yang nggak matching karena telinganya yang nggak oke lagi setelah ketabrak mobil. Tapi berhubung lagi kesel, terpaksa senyumnya ditunda dulu.

“Poster! Bukan monster!” teriak Vici di telinga Vidi. Kalo ngomong dengan Vidi, mulut emang harus dekat ke kupingnya. Kalo nggak, dia nggak bakalan bisa dengar dengan jelas.

“Poster apaan?”

“Leonardo.”

“Sejak kapan kamu demen sama Ronaldo?”

“Bukan Ronaldo, tapi Leonardo DiCaprio!”

“Sejak kapan Ronaldo pindah ke Caprio? Setahuku, dia di Brasil. Cuma main bolanya di Italia. By the way, sekarang kamu kok hobi bola sih?”

Kalo nggak ingat kuping abangnya sudah trouble, Vici pasti udah memaki-maki saking kesalnya. Tapi ia hanya bisa menghela napas panjang aja. Mau gimana lagi…

“Vid, aku sedang ngomongin Leonardo yang bintang film. Bukan Ronaldo yang pemain bola!” kalimat itu diucapin Vici dengan suara keras tapi dalam tempo lamban. Cara itu emang terbukti ampuh. Liat aja, Vidi sampe manggut-manggut.

“Kamu liat nggak?”

Vidi mengangguk.

“Di mana?” Vici jadi semangat.

“Di Titanic.”

Vici nyaris menjerit saking kesalnya. Tapi mengingat, menimbang, dan memperhatikan perutnya masih kosong karena belon makan siang, akhirnya diputusin nggak menjerit dulu. Biarlah jeritannya disimpan untuk nanti, sekalian dengan senyumnya yang juga terpaksa ditunda. Kebayang nggak, gimana serunya menjerit sambil senyam-senyum.

“Mama mana?” Vici mengalihkan pertanyaan.

“Ke rumah Tante Mila.”

“Pulangnya kapan?”

“Tauk!”

Vici masuk kembali ke kamarnya. Mengobrak-abrik lagi tumpukan buku dan majalah, meja belajar, laci, dan lemari. Hasilnya tetap nihil. Dia malah nemuin pin Leo di laci yang dulu juga sempat ilang. Huh, akhirnya Vici terkapar di atas ranjang yang kusut masai kayak mukanya.

“Ini dia! Ini diaaaa!” teriak Vidi dari luar.

Sontak Vici bangkit dan berlari nemuin Vidi di ruang tamu.

“Ketemu, ya?”

“Iya. Rupanya dia sembunyi di kolong meja,” sahut Vidi sambil ngegendong kucing putih yang ia beri nama Messi, kayak nama pemain bola Argentina.

Vici udah nggak bisa lagi nahan rasa kesalnya yang udah nyampek ke ubun-ubun. Saking kesalnya, kuping cewek itu hampir ngeluarin asap.

“Vidiiii! Kamu bisa serius nggaaaaaak!!! Atau kusumpahin budeg tujuh turunan!!”

Diancam begitu rupa, Vidi langsung mengkeret. Diam-diam dia nyelinap ke kamarnya sambil menggendong Messi.


Vici pun masuk kembali ke kamarnya. Memorinya diputar ke belakang. Mengingat kembali di mana poster itu ia simpan. Kesimpulannya, poster itu ia simpan di atas meja belajar. Bahkan ia sempat melototin Leo dan cipika-cipiki sebelum berangkat ke sekolah.

Lantas, Vici mengira-ngira siapa yang ngambil poster itu. Vidi bisa ditempatkan di urutan pertama sebagai orang yang pantas dicurigai. Soalnya anak itu emang sering keluar masuk kamarnya yang emang jarang dikunci. Tapi, tuduhan itu masih lemah. Vici kenal betul kakaknya itu orang jujur. Dia nggak pernah berbohong kalo nggak kepepet. Apa sekarang Vidi sedang kepepet, ya?

Rasanya nggak. Vidi emang suka nempelin poster di dinding kamarnya. Tapi dia cuma suka poster pemain bola. Kalo bintang film, apalagi bintang film kartun, nggak deh!

Itu alasan pertama.

Alasan kedua, sejak kecil sampe sekarang Vidi nggak pernah mencuri. Jangankan nyuri poster, nyuri hati cewek aja dia nggak pernah. Nggak pernah berhasil, maksudnya. Malah hatinya yang kini dicuri sama Vini. Sejak pertama kali bertemu, Vidi langsung jatuh hati sama Vini. Lalu Vidi jatuh bangun ngejar Vini dan nggak pernah berhasil. Atau belon?

Analisa di atas membuat Vici harus nyingkirin abangnya dari daftar calon tersangka. Tapi selain dia, nggak ada orang di rumah yang pantas dicurigai. Papa sama Mama jelas nggak mungkin dong. Masak mereka yang lahir zaman kolonial masih suka ngurusin poster. Kalo poster partai politik bisa jadi.

Vici lantas ke meja telepon. Ditekannya sederet angka, mencoba untuk menghubungi Papa. Tapi nggak diangkat. Diredial lagi, nggak diangkat lagi. Itu tandanya bapak sedang nggak bisa diganggu. Paling dia akan telepon balik kalo memang sempat dan dianggap perlu.

Sayangnya, Vici nggak bisa menghubungi Mama karena nggak pernah pake hape. Sementara hape Tante Mila dan suaminya udah dijual kemarin untuk nambah-nambah biaya rumah sakit. Tante Mila emang baru operasi melahirkan anak pertama.

Uaaaah…. Vici menguap. Capek mikirin poster, akhirnya cewek itu tertidur dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuh.



Source

Vici terjaga menjelang Mahgrib. Dengan wajah kusut, rambut kusut, dan pakaian kusut, ia keluar dari kamarnya yang juga kusut. Papa yang sedang membaca koran sore tentang perekonomian Indonesia yang juga kusut, menatap putrinya dengan kening berkerut. Belon sempat ia bertanya, Vici udah buka mulut duluan.

“Papa liat poster Leo nggak?”

“Apa? Lobster?”

“Poster. Papa kok ikutan kayak Vidi, sih?”

“Aku kan bapaknya,” sahut Papa tertawa. “Memangnya kamu simpan di mana poster itu?” tatap Papa serius.

“Di dalam kamar, di atas meja belajar.”

“Udah kamu cariin?”

“Udah capek.”

“Tanyain abangmu.”

“Dia nggak tau.”

“Ya udah. Nanti kamu beliin yang lain.”

Vici pun udah kepikiran begitu kalo posternya nggak ketemu. Tapi itu tetap nggak bisa bikin hatinya puas. Meski harga majalan yang ada posternya itu nggak terlalu mahal, tapi bagi Vici berarti banget. Dia nggak rela ada orang lain ngambil miliknya tanpa izin. Meski yang diambil itu cuma sebutir telor kutu!

Pas menjelang malam Mama pulang. Vici masih ngeloso di atas sofa, masih kepikiran dengan poster. Padahal, Vidi dan Papa nampak semangat nyambut Mama yang bawa macam-macam buah-buahan. Mungkin oleh-oleh buat Tante Mila yang disikat Mama.

Mama rupanya ngeliat perubahan wajah Vici.

“Ada apa dengan bidadari Mama? Kok mukanya berlipat kayak gitu?”

“Biasa, Ma. Lagi nangisin posternya yang ilang,” sahut Vidi dengan mulut penuh jeruk.

“Poster?” tatap Mama. “Poster Leonardo DiCaprio?”

“Iya. Mama liat nggak?” Vici bangkit dari duduknya dengan semangat.

Mama ngangguk. “Tapi…”

“Tapi kenapa?” tanya Vici penasaran. Jangan-jangan poster itu udah dibuang atau dipake bungkus kado oleh-oleh buat anak Tante Mila…

“Poster itu udah Mama tempelin di kamar. Leonardo kan bintang idola Mama juga.”

Vidi langsung tertawa ngakak sampe ampas jeruk yang ada dalam mulutnya muncrat ke luar. Sementara Papa diam-diam tersenyum karena sebenarnya dia udah liat poster itu di kamar tadi sore. Cuma, Papa nggak berani jujur sama Vici. Soalnya (ssst, jangan bilang siapa-siapa), Papa juga demen sama Leonardo.[]

Badge_@ayi.png
DQmNuF3L71zzxAyJB7Lk37yBqjBRo2uafTAudFDLzsoRV5L.gif

Sort:  

hormat Senior. Luar Biasa

Tersenyum dan tertawa saya membacanya..haha

Hello @originalworks I hope you visit this post

The @OriginalWorks bot has determined this post by @ayijufridar to be original material and upvoted it!

ezgif.com-resize.gif

To call @OriginalWorks, simply reply to any post with @originalworks or !originalworks in your message!

To enter this post into the daily RESTEEM contest, upvote this comment! The user with the most upvotes on their @OriginalWorks comment will win!

For more information, Click Here!
Special thanks to @reggaemuffin for being a supporter! Vote him as a witness to help make Steemit a better place!

Kalau tersenyum, apalagi tertawa, berarti masih sehat Abi @nayya24. Tamah sanger lom.... Heehehehehehe....

Boh manok "weng" keunong uronyoe..hehe

Awak nyoe di Taufik Lhokseumawe kabeh ja fitnes dum Abu @nayya24, inong agam jak fitnes. Nyan can jiplung pelanggan bak dikalon badan mandum lage Ade Rai.

Meunyo hana ijak pih bulat2 that dum awak nyan..haha
Salam keu awak nyan

Dum si Nova ka nge-gym. Hehehehe....

Hahahha... berasa masih SMP baca cerpen ini... makasih nih, muda lagi deh saya! Wkwkwk

Orang seperti Sista @mariskalubis akan selalu muda, forever young seperti kata Laura Branigan.

Hush! Ketahuan tuanya kalau dengar lagu itu! Hahaha...

Hahahahaahaha, umur saja yang nambah, semangat masih terus dan akan selalu muda.

Apa khabar. Terkenang masa-masa remaja ketika membacanya. Sukses terus....

Eh, ada Bro @sisaifulbahri lagoe? Saleum meusyen Kanda....

thank you for sharing valuable information.

Ngakak bacanya