SEJARAH RINGKAS MESJID RAYA BAITURRAHMAN BANDA ACEH
Menurut ensiklopedi islam Indonesia (1992: 162-163), mesjid raya baiturrahaman didirikan pada tahun 691 H/1292 M, Di masa sultan alaidin Mahmud syah I. Namun sayangnya pendapat ini tidak memiliki rujukan kepada data primer, jadi tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar pegangan.
Dengan tidak adanya informasi tentang mesjid ini dalam catatan sejarah masa itu, maka kita hanya bisa berasumsi bahwa raja di aceh telah mengadopsi system pemerintah islam yang berkembang kala itu sehingga memakai gelar sultan. Tentunya fakta ini mengantar pemikiran kita untuk membenarkan,bahwa di masa itu telah didirikan sebuah mesjid induk.Namun tidak dapat di pastikan bahwa masjid itu di bangun di lokasi masjid raya baiturrahman sekarang,dan tidak pula dapat di pastikan,bahwa masjid itu di beri nama masjid raya baiturrahman.
Catatan tentang mesjid juga tidak ditemukan di masa berkuasanya sultan ali mughayat syah (1514-1529 M).Padahal kala itu telah terjadi penyatuan kerajaan daruddunia dengan meukuta alam. (amirul hadi, 2004:13). Tentunya islam telah lebih luas dianut oleh masyarakatnya.dari sisi lain,catatan sejarah aceh sejak masa ini telah dapat dirujuk dan dirunut dengan jelas,namun tetap saja catatan mengenai keberadaan mesjid raya baiturrahman tidak ditemukan.maka sejarah mesjid ini sebelum iskandar muda,tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan.
Satu-satunya keterangan yang dapat dipertanggung jawabkan adalah informasi yang menyatakan bahwa pembangunan mesjid baitrrahman dilaksanakan oleh sultan iskandar muda (1607-1636 M).informasi ini dapat kita peroleh,antara lain dari BUSTANUSSALATIN (T. Iskandar, 1966: 35-36) dan hikayat aceh (T. Iskandar, 1986: 176). Dari informasi ini di peroleh jawaban, bahwa mesjid baiturrahman didirikan pada tahun 1614 oleh sultan iskandar muda,bersama beberapa mesjid lainnya.
Bustanus salati menginformasikan: “Tatkala hijrah seribu empat puluh lima tahun….,ialah yang berbuat mesjid baiturrahman dan beberapa mesjid pada tiap-tiap manzil. Dan ialah yang meneraskan agama islam danmenyuruh segala rakyat shalat lima waktu, dan puasa ramadhan, dan puasa sunnah, dan menegahkan sekalian mereka itu minum arak,dan berjudi. Dan ialah yang membiatkan bayt al-mal, dan ‘ushur (perangkat pemerintah)negri aceh Darussalam, dan cukai pecan dan ialah yang sangat murah kurnianya akan segala rakyat nya, dan mengaruniai sedekah akan segala fakir dan miskin pada tiap-tiap berangkat shalat jumat (T. Iskandar, 1996: 387).
Mesjid lain yang di kabarkan dibangun oleh sultan iskandar muda terdapat di wilayah pidie yang di antaranya dicatat oleh SNOUCK HURGRONJE, Yaitu mesjid labuy di pidie.hal ini menuntut penelusuran lebih jauh, karena beberapa mesjid tua di kabupaten pidie menunjukkan arsitektur yang indentik dengan mesjid masa itu.
Tentang bentuk bangunanya, ada beberapa persepsi yang berkembang. Sebagian pendatang asing ada yang menggambarkan mesjid raya baiturrahman sebagai banguna berkontruksi beton dan berkubah bundar. Namun tamu asing lainnya menampilkan sketsa mesjid raya baiturrahman dalam kontruksi kayu dan beratap lapis tiga (tiga atau empat tingkat).
Dari berbagi deskripsi itu, kiranya dapat di simpulkan bahwa bentu asli dari mesjid baiturrahman adalah sebangun dengan mesjid indra puri.sebuah sumber menyebutkan bahwa mesjid indra puri didirikan pada tahun 1618 M. Dari sini maka gambaran yang paling dekat dengan bentuk sebenarnya adalah sketsa yang di buat oleh peter mundy.(Deny Lombard, 1986: 364).
Informasi lain tentang bentuk fisik mesjid baiturrahman dapat kita peroleh dari bustanussalatin.
“Ada dalam negeri itu sebuah mesjid terlalu besar dan terlalu tinggi memuncaknya daripada perak yang berapit dengan cermin balur.maka ada segala orang yang sembahyang dalamnya terlalu banyak.
Di masa sultan iskandar muda, selain untuk shalat, mesjid ini juga dipakai sebagai tempat pelaksanaan berbagai upacara keagamaan dan peringatan hari besar islam lainnya. Misalnya menyantuni rakyat disaat meugang menyambut puasa, Meugang hari raya (idul fitri dan idul adha).
Bangunan mesjid raya baiturrahman sebagaimana yang digambarkan bustanussalatin telah terbakar di masa sultanah nurul ‘Alam naqiatuddin syah (1675-1678 M). Ketika itu terjadi pergolakan yang di picu oleh kaum wujuddiyah. Mereka menyatakan sikapnya terkait dengan sah-tidaknya kepemimpinan perempuan. Pergolakan ini menimbulkan kepanikan dan berakibat terbakarnya masjid dan istana. Peristiwa ini diperkirakan terjadi dalam tahun 1677 M, lalu Sultanah Nurul ‘Alam mangakat pada tahun 1678, ( M. YUNUS JAMIL, 1968 : 47)
Mengingat keberadaan Mesjid Raya Baiturrahman sebagai mesjid induk, dapat diperkirakan bahwa mesjid ini segera dibangun kembali oleh NURUL ‘ALAMI. Lalu pembangunan diteruskan oleh Sultanah Zakiyyat Al-Din (1678-1688 M). mengenai bentuk fisik mesjid yang dibangun setelah kebakaran besar itu tidak diperoleh keterangan yang jelas. Dari buku Ali Hasjmy diperoleh gambaran sebuah sketsa yang dibuat berdasarkan penuturan Teungku Syekh Ibrahim Lambhuk, (A. Hasjmy 1997: 193).
Sketsa ini memperlihatkan bentuk arsitektur yang berbeda dari mesjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda. Mesjid yang dibangun oleh sultanah inilah yang dibakar dalam masa perang Koronial Belanda di Aceh.
Dalam masa perang Koronial Belanda di Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman menjadi benteng pertahanan para mujahid perang Aceh. Dalam agrasi pertama pihak Belanda sempat menguasai Mesjid Raya Baiturrahman beberapa waktu. Namun mesjid ini berhasil direbut kembali oleh pejuang Aceh dibawah pimpinan Teungku Imum Lueng Bata. Kegagalan Belanda ini diperparahkan oleh tewasnya Jendral Kohler tanggal 14 April 1873 M.
Pihak belanda memandang Mesjid Raya Baiturrahman sebagai symbol kekuatan pihak Aceh. Maka pada agresi kedua mereka memutuskan serangan ke mesjid ini sehingga berhasil merebutnya pada tanggal 6 Januari 1874. Akibat serangan besar-besaran ini, Mesjid Raya Baiturrahman hancur, dan disebabkan karena Belanda menganggap mesjid ini juga pusat pertahanan para pejuang Aceh yang telah meranggut nyawa banyak serdadu Belanda, termasuk Jenderal J.H.R Kohler, maka masjid yang telah hancur ini juga dibakar, (Rusdi Sufi, dalam Azman Ismail, et al., 2004: 24).
Empat tahun setelah Mesjid Raya Baiturrahman terbakar. Pada pertengahan bulan safar 1294 h/awal Maret 1877 M, dengan mengulangi janji Jenderal Van Swieten, Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman. Pernyataan itu diumukan setelah diadakan permusyawarahan dengan kepala-kepala negeri sekitar Kuta Raja.
Pihak Belanda berhastrat mengambil hati rakyat Aceh yang justru bertambah semangat perangnya akibat penghancuran masjid raya. Mereka menyatakan menghormati sepenuhnya kemerdekaan beragama rakyat Aceh. Janji ini dilaksanakan oleh Jenderal K.Van der Heyden. Maka dilaksanakanlah peletakan batu pertamanya pada tanggal 9 Oktober 1879. Mengenai arsitekturnya, pihak Belanda meminta masukan dari seorang ulama di Garut, agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Mesjid senilai f 203.000 (Dua Ratus Tiga Ribu Gulden) ini dibangun dibawah pengawasan arsitek Meneer BRUINS dari Departement van Burgerlijke openbare werken Batavia, dan selesai pada tahun 1881. Pembangunannya dikerjakan oleh seorang Letnan Cina bernama Lie A Sie.
Menjelang selesainya pembangunan mensjid ini, saat kubah sedang dikerjakan, Kota Banda Aceh dilanda banjir besar yang ikut menggenangi sekitar lokasi masjid. Entahlah peristiwa banjir ini dianggap sebagai pertanda tertentu oleh sebagian masyarakat, yang jelas sebagian mereka menolak kehadiran masjid ini. Mereka tidak mau menerima karena menurut mereka masjid ini dibangun oleh kaphe (non muslim).
Meskipun ada penolakan dari sebagian dari sebagian masyarakat, namun penyerahannya kepad masyarakat tetap direalisir. Maka diadakanlah upacara penyerahterimaan Masjid Raya Baiturrahman pada tanggal 27 Desember 1881. Seremoni ini diawali dengan tembakan meriam, dan akhiri dengan pembacaan doa. Adapun pengelolaan masjid ini, diserahkan kepada seorang ulama dari Pidie bernama Teungku Syekh Murhaban. Ia menjadi imam besar Masjid Raya Baiturrahman kala itu.
Pada tahun 1936, mesjid ini diperluas oleh Gubernur Van Aken dengan biaya sebesar f 35.000 (Tiga Puluh Lima Ribu Gulden). Dalam perluasan ini, masjid Raya Baiturrahman ditambah dua kubah lagi dengan luas 741 m. Berikutnya masjid ini mengalami renovasi yang dapat diringkas sebagai berikut :
• Perluasan dengan penambahan dua kubah serta dua menara utara-selatan (Surat Keputusan Menteri Agama RI tanggal 31 Oktober 1957). Peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada hari Sabtu, 16 Agustus 1958 oleh K. H. M. Ilyas. Hasil renovasi ini, luas Mesjid Raya Baiturrahman menjadi 1.945 m dengan lima kubah.
• Pada tahun 1981, saat diadakan MTQ Nasional ke XII, Mesjid Raya Baiturrahman diperindah dengan tambahan pelataran, pemasangan klimkers diatas jalan-jalan di perkarangan, interior, sound system, penambahan tepat wudhuk, pemasangan pintu kriwang, chondelir dan kaligrafi berbahan kuningan. Selain itu juga dipasang instalasi air mancur di kolam depan.
• Tahun 1986, Masjid Raya Baiturrahman diperluas menjadi 2240 m. Selain ruang shalat, juga ditambah ruang para imam dan muazin, ruang tamu, ruang belajar dan perkantoran serta tempat penitipan kinde-raan.
• Tahun 1992, Mesjid Raya Baiturrahman diperluaslagi menjadi tujuh kubah dan lima menara dengan luas 3.500 m, dan tanah dibagian halaman depan dibebaskan seluas 16.07 m dengan biaya sebesar 1,2 M. Di halaman depan didirikan menara utama dengan ketinggian 53 meter.
Dan inilah bentuk mesid raya baiturrahman banda aceh sekarang