Sekali Ke Luar Rumah, Dua Buku Puisi Terengkuh

in #indonesia7 years ago

puisi-nadien1.jpeg
(Na Dhien, paling kiri, bersama budayawan Sosiawan Leak, moderator Jody Judhono, dan pengajar FIB UI Sunu Wasono, saat bedah buku Geguritan Mung Ngabekti. Foto: BDHS)

Kita telah lama mengenal peribahasa “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”, yang artinya melakukan satu pekerjaan, tetapi yang didapat bukan hanya 1 hasil, tetapi bisa 2-3 hasil sekaligus. Peribahasa yang sangat terkenal dan sering dipakai untuk memotivasi orang agar bekerja secara efektif dan efisien, agar hasil yang didapat lebih dari yang direncanakan.

Rabu, 4 April 2018, saya memodifikasi peribahasa tersebut menjadi “sekali ke luar rumah, dua buku puisi terengkuh”. Begitulah yang saya peroleh, ketika menghadiri acara “Kunjungan Pustaka Merawat Kebhinekaan dengan Peluncuran Geguritan Mung Ngabekti karya Na Dhien” yang diadakan di Ruang Presentasi Perpustakaan MPR RI, Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

Di sana, penyair kelahiran Salatiga 23 Oktober 1969 itu meluncurkan kumpulan puisinya dalam Bahasa Jawa. Diiringi pembacaan berbagai geguritan karya Na Dhien, acara tersebut juga dilengkapi dengan bedah buku yang menghadirkan narasumber Dr. Sunu Wasono (staf pengajar di FIB UI) dan Sosiawan Leak (seorang budayawan kelahiran Solo).

Kehadiran saya, karena ingin mendengar langsung dari dekat karya puisi berbahasa Jawa. Paling tidak ada gambaran sedikit – meskipun 95 persen artinya tidak tahu, karena tidak menguasai Bahasa Jawa – mengenai puisi-puisi dengan bahasa daerah tersebut.

puisi-nadien3.jpeg
(Sampul muka kumpulan puisi berbahasa Jawa karya Na Dhien. Foto: BDHS)

Untungnya, begitu menulis nama di bagian pendaftaran, saya mendapat hadiah buku geguritan itu. Malah senangnya, ditambah nasi kotak dan jajanan kecil. Pas, belum makan siang, dapat makan gratis. Makin bersemangat menghadiri acara itu.

Belakangan, saya mendapat satu lagi buku puisi. Kali ini dari Dt. Sunu Warsono., teman satu angkatan di FS UI yang sekarang namanya menjadi FIB UI. Hanya berbeda jurusan saja, Sunu di jurusan Sastra Indonesia, sedangkan saya di Arkeologi. Saya memberikan hadiah berupa kumpulan puisi terbaru saya Tahun Politik dan Uang, tak dinyana Sunu membalasnya dengan menghadiahi saya kumpulan puisi bertajuk Jagat Lelembut. Dibandingkan kumpulan puisi saya yang hanya terdiri dari 44 puisi ditambah satu “Catatan Orang Awam”, kumpulan puisi Sunu jauh lebih tebal.

puisi-nadien4.jpeg
(Sampul muka kumpulan puisi Jagat Lelembut karya Sunu Wasono. Foto: BDHS)

Jagat Lelembut karya Sunu Wasono memuat puisi-puisi yang dikelompokkan dalam tiga bagian. Masing-masing “Jagat Lelembut’ dengan 30 puisi, “Jagat Batu’ dengan 23 puisi, dan “Jagat Transparan & Renungan” dengan 46 puisi. Masih ditambah lagi dengan pembahasan kumpulan puisi itu oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, seorang gurubesar yang menggeluti dunia sastra.

Jadi sekali ke luar rumah, dua buku puisi sekaligus memang terengkuh. Malah sebenarnya ada “plus”-nya. Di acara tersebut saya mendapatkan tandatangan Sosiawan Leak di halaman dalam buku antologi puisi karyanya Sajak Hoax. Benar-benar menyenangkan.

Sort:  

Wah pak. Asik buku itu ga?

Bagus, bagus, bukunya.