Travelogica #2 -- Di Patani: Sepanjang Jalan Menuju Kota Patani

in #travel7 years ago

Wha Pos Tentara 2018-03-23 at 21.35.30.jpeg

Patani menyambut kami dengan gamang. Perjalanan dari bandara Hat Yai menembus Patani dengan menyusuri jalan dua jalur yang lebarnya kira-kira dua kali jalan lintas Lhok Nga - Meulaboh, yang di tengah-tengahnya terdapat gorong-gorong yang tak kalah lebar, sedikit terkesan kaku begitu memasuki gerbang pembatas wilayah antara Hat Yai dan Patani. Laju mobil van yang menjemput kami sudah agak sedikit melambat dari sebelumnya.


LALU. INILAH PATANI. Check point (baca: pos serdadu) terpacak di sebelah kiri badan jalan dengan susunan pasir dalam karung yang telah dicat hijau pahit sebagai benteng. Ada juga susunan ban-ban bekas di sisi yang lain, sementara lilitan kawat, perangkat marka lalu lintas di tata sedemikian rupa hingga lebar jalan menyempit sebatas satu laluan mobil saja. Dua serdadu berdiri dengan senjata siap sedia. Jari telunjuknya keduanya melekat di pelatuk, memakai helm tempur, sepatu lars, muka bengis, dan itu cukuplah menjadi pertanda bagi sopir mobil kami untuk menurunkan kaca mobilnya.

Tepat di depan bangunan pos, moncong senjata otomatis (mungkin sejenis FN Minimi) menyembul di atas tumpukan karung pasir yang susunannya agak sedikit rendah. Tak jauh dari moncong senjata, moncong kamera saling menuding ruas jalan yang menyempit ini di sisi kiri-kanannya. Tak ada susunan palang yang mengharuskan semua kendaraan melaju zig-zag memang. Dibanding pos-pos serdadu pada masa Darurat Militer di Aceh, pos serdadu yang baru pertama tampak ini lebih terkesan mewah, tak tampak kampungan. Hal ini bisa terlihat dengan karung-karung yang sengaja dicat sewarna seragam mereka. Beda halnya dengan pos-pos serdadu di Aceh dulu yang karung-karung pasir sebagai bentengnya dibiarkan tampak aslinya hingga kadang terbaca, Pupuk Urea, Beras Bulog, dan lain sebagainya.

Untuk dua perbedaan karung pasir sebagai benteng pos serdadu di Patani dan di Aceh dulu, bolehlah kita curigai serdadu Thailand punya pemahaman artistik setingkat di atas serdadu Indonesia. Atau dalam perkara lain, sudah barang tentu pos serdadu tetaplah pos serdadu dan akan lucu jika punya embel-embel pupuk atau beras bulog di sekitarannya. Tapi selucu-lucu atau seseram-seseramnya pos serdadu, tetap saja ia sama-sama meminta tumbal nyawa untuk mengukuhkan keberadaannya.

WhatsApp Image 2018-03-23 at 21.35.31.jpeg

WhatsApp Image 2018-03-23 at 21.35.30.jpeg

Angin menyeruak masuk ke mobil van yang kami tumpangi tepat ketika sopir menurunkan kaca mobilnya. Seorang tentara, melongok dan memperhatikan wajah seisi mobil lekat-lekat dengan tatapan tajam sekaligus bisu. Ketika aku bertemu pandang dengannya aku mendapati diri seperti sedang berpapasan mata dengan sebuah manekin yang lekuk mukanya ditatah sedemikian menyeramkan. Aku bernapas lega ketika mobil terus melaju meski dengan kecepatan yang dimiliki seekor kura-kura bunting. Kupikir seisi mobil kembali menghela napas lega ketika mobil membebaskan diri dari ruas jalan yang menyempit itu.

Tak ada pemberhentian atau pemeriksaan memang. Tapi melihat warna hijau pekat nan pahit dari segala atribut pos serdadu, ditambah penampakan muka serdadu yang berdiri di pinggir jalan, ditambah moncong senjata yang tepat mengarah ke badan mobil, cukuplah membuat ingatan seisi rombongan kembali ke nostalgi paling kelam yang pernah dialami Aceh sebagai satu daerah konflik bersenjata.

"Kalau sudah bertemu check point, itu tandanya kita sudah benar berada di Patani," begitu kira-kira kata sopir setelah beberapa menit melewati pos serdadu itu dalam bahasa Melayu dengan logatnya yang khas. Kami semua tertawa.

Mobil melaju dengan kecepatan standar seperti semula. Jalanan tetap lebar dan tampak masih baru. Kenderaan lalu lalang sebagaimana biasa, bus-bus model double decker, truk peti kemas, mobil-mobil pribadi (kebanyakan jenis pick up double cabin lintas merek), dan sedikit sepeda motor lalu lalang dalam ketenangan yang agak misterius. Di sana-sini hamparan padang menghampar di kiri kanan jalan. Deretan pohon karet tumbuh dalam formasi kapling-kapling tertentu, gugusan pohon lontar menjulang di sebaliknya. Sementara pemukiman penduduk, dengan rumah-rumah panggung khas arsitektur Melayu. Begitu pula pertokoan yang nama tokonya ditulis besar-besar dengan huruf palawa yang serupa cacing itu. Terminal pit stop bahan bakar minyak. Juga baliho-baliho yang hampir semuanya memuat foto Raja Thailand dengan pose dan seragam yang sama, berkelebat begitu saja dari pandangan.

Tak lama kemudian, check point lagi. Suasananya sama seperti yang pertama. Di sini tetap tak ada pemberhentian atau pemeriksaan, dan selepas pelan-pelan di titik ini, mobil melaju standar lagi. Pemandangan pinggir kiri jalan sudah agak-agak berbau pantai yang di sebelah kanannya hamparan padang berpohon karet dan lontar atau pemukiman mengingatkan kontur daerahnya dengan kampung di Calang hingga Meulaboh. Sedikit yang agak berbeda, di sini tak ada gugusan perbukitan tinggi. Lalu, lagi-lagi check point, hingga setidaknya, kami harus melewati sekitar lima atau tujuh titik menyeramkan ini untuk bisa sampai di satu hotel di Kota Patani.

Sort:  

pengalaman yang seeru @bookrak

Seru-seruan @ridah
:D

Mobil-mobil pribadi orang Thailand umumnya double cabin, apalagi petani mereka, hampir semua punya mobil double cabin. Kalau yang pekerja kantor, mungkin mobil sejenis sedan. Jangan harap bisa dengan mudah menemukan mobil sejenis Avanza atau Kijang di sini.

Benar sekali kak @fardelynhacky. Pernah kuitung-itung iseng, jalan dari patani ke yala cuma ketemu dua mobil avanza. Hehe

Thank you for that glimpse of life. One day maybe your country can live without the roadblocks, and the guns pointing at you.

lage bireuen cit, angkutan mantong lee pickup, man lebeh jih, tanyo harus pakek helm.

le yang sama lagee bak tanyoe aduen. hehe

Jadeh na komunitas kanet bu di Pattani. Bereh adoe, saleum ke Bang Otto, kayue maen steemit gobnyan.

Komunitas sideh leubeh bereh-bereh cit bang. Hehehe...