Bagian kelima : Fondasi Peradaban Acehnologi Bab : 22 Tentang Kerak Peradaban Aceh

in #indonesia6 years ago

Pada kesempatan kali ini saya akan sedikit menulis dari hasil bacaan buku Acehnologi Volume 3 Karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, PH.D bab 22 tentang Kerak Peradaban Aceh. Bab ini bertujuan untuk membuka kembali kesadaran masyarakat Aceh mengenai peradaban Aceh. Kesadaran yang dimaksudkan adalah proses manusia memulai mengenali apa yang membuat dia berpikir dan bergerak sabagai “saya” di atas muka bumi ini. Proses kesadaran akan peradaban bagi suatu bangsa merupakan hal yang paling penting. Karenanya, tidak mungkin membangun suatu bangsa jika bangsa tersebut tidak memiliki kesadaran akan peradaban mereka sendiri.

Ketika bangsa-bangsa maju mulai bangkit, mereka terlebih dahulu mencari serpihan peradaban mereka, mulai dari benda mati sampai pada benda hidup. Mereka lantas mencari sesuatu kekuatan yang dapat menggerakkan serpihan tersebut menjadi piring peradaban. Banyak sarjana yang menyebutkan proses kesadaran ini dimulai dari spirit, being, dan action.

Manusia memiliki kesadaran diri ketika memperoleh otonomi rasional dalam membedakan alam, masyarakat, tuhan, dan keyakinan/iman. Ketika manusia mampu membedakan keempat hal tersebut, maka dia telah mendapatkan kesadaran diri sebagai manusia dan mampu mengulas atau membahas kebenarannya sebagai manusia di muka bumi ini. Aceh berada di satu pintu peradaban yang amat maju pada abad ke-16 dan 17 M. jadi, ketika Aceh memiliki kejayaan peradaban pada abad ke-17 saat itu ada sesuatu kekuatan spirit kosmik yang mengitari kehidupan rakyat Aceh.

Ketika Aceh bergabung dengan republic Indonesia, Aceh dianugrahi gelar istimewa . saat itu, hanya dua daerah yang mendapatkan gelar tersebut yaitu Aceh dan Yokyakarta. Yokyakarta hingga saat ini masih memiliki gelar ini lengkap dengan peralatan kebudayaan, baik dari aspek mikro-kosmos maupun makro-kosmos. Namun, pemberian gelar ini pun tidak membuat Aceh merasakan jati diri ke acehannya. Bahkan, gelar ini tidak membuat para eksponen ureung tuha Aceh puas berada dibawah payung NKRI. Intinya, Aceh walaupun diberi gelar keistimewaan tetap saja tidak istimewa dibandingkan tetangganya yaitu Yokyakarta.
Demikian pula, ketika Aceh diberi hak untuk mengurusi diri sendiri, diberi gelar Nanggroe Aceh Darussalam. Gelar ini sebenarnya sudah menunjukkan cikal bakal Aceh seperti era Kerajaan Aceh Darussalam. Namun sekali lagi gelar ini tetap juga tidak memberikan jawaban yang cukup signifikan bagi orang Aceh. Bahkan ketika MoU Helsinki tahun 2005 disepakati antara pemerintah Indonesia dan gerakan Aceh merdeka dan pada tahun 2006 Aceh diberi gelar baru yaitu Pemerintah Aceh. Namun sampai sekarang Aceh tetap tidak menampakkan keistimewaannya, apalagi mencapai kegemilangan. Aceh tetap Aceh yang gamang dan galau. Pemimpin muncul, tidak mampu menyelesaikan yang paling hakiki dari pertanyaan rakyat Aceh yaitu menggapai semua gelar yang diberikan, tetapi saja tidak membawa perubahan yang berarti bagi provinsi ini.
Di Aceh tidak ada lagi Sultan yang pusat dari peradaban Aceh. Walaupun secara historis, di Aceh terdapat beberapa kerajaan islam, namun peninggalan kerajaan tersebut hanya terbatas pada situs sejarah dan kronika yang menjadi rujukan generasi berikutnya. Yang menompang kerajaan Aceh adalah spirit keislaman yang menyelinap masuk ke dalam spririt kebudayaan dan spirit ilmu pengetahuan. Kebersatuan tiga spirit inilah yang membentuk jati diri Aceh.

Inilah zaman kesempatan bagi orang Aceh untuk membangkitkan kembali peradaban Aceh. Dalam hal ini, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan. Pertama, menemukan kembali aspek-aspek yang menghidupkan kosmologi Aceh. Kedua, membina jaringan intelektual untuk menyatukan visi dan misi mengenai arah masa depan Aceh dalam tiga bidang yang telah memberikan spirit jati diri orang Aceh yaitu Islam, Budaya, dan Ilmu pengetahuan. Ketiga, menggerakkan alam pikir orang Aceh dari romantisme sejarah ke pencarian spirit-spirit dalam episode sejarah Aceh. Keempat, membuka mata hati dan batin terhadap kemampuan peradaban lain yang sedang menggerakkan kekuatan spiritual mereka ke tanah Aceh.