Stunting dan Masa Depan Sosial Media
Foto sebagai pemanis. Sumber.
Pertumbuhan terhambat hingga ketidakkonsistenan pada pemusatan perhatian dan performa memori buruk. Hal tersebut mungkin menjadi masalah tersendiri bagi anak-anak di Indonesia. Kurangnya akses makanan bergizi layak di 1000 hari pertama kehidupan membuat anak-anak di negeri kita berhasil membawa nama Indonesia sebagai negara dengan prevalensi penderita stunting hingga 20% lebih!
Katanya, sih, Studi Status GIzi Indonesia (SSGI) mencatat penurunan prevalensi stunting sebesar 3,3% dari 27,7% pada tahun 2019 menjadi 24,4% di tahun 2021. Penurunan angka yang sudah sedemikian besar ini merupakan buah dari concern-nya banyak pihak, terutama pemerintah dengan program-program penanggulangan stunting, sebut saja pemberian makanan tambahan (PMT) kepada ibu hamil dan balita, serta imunisasi dasar lengkap.
Bagaimanapun juga, 20 persenan sisanya masih menjadi PR besar kita bersama sebagai orang tua, saudara, atau tetangga adik-adik kita yang masih terjebak dengan masalah kurang gizi kronis. Stunting bukan hanya dipersepsikan sebagai akibat, namun juga sebuah masalah yang menghasilkan output baru. Sebab, pengaruh yang dibawanya tak cuma berpaku pada ranah fisik, namun hingga masalah mental, moral dan intelektual.
Telah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa kekurangan gizi kronis hampir pasti terafiliasi dengan tingkat kecerdasan intelektual (IQ) hingga kecerdasan emosional (EQ) yang rendah. Sebab, kurangnya asupan gizi yang cukup ke otak dapat menyebabkan ketidakstabilan metabolisme neurotransmiter hingga perubahan anatomi otak. Terlebih jika "tragedi" tersebut terjadi di periode awal kehidupan, misal 1000 hari pertama atau juga golden age (0-3 tahun). Padahal, periode golden age digadang-gadang menjadi salah satu penentu cerah tidaknya masa depan seorang anak.
Lalu, mari kita tengok dampak stunting yang paling dekat yang bisa kita jangkau. Tidak ada yang lebih dekat dengan kita daripada gawai, termasuk di dalamnya sosial media. Kini sosial media dipenuhi (maaf) mantan penderita stunting, sehingga fungsinya sebagai platform komunikasi dialogis telah berganti sebagai wadah untuk menyebarkan ketakutan dan kebodohan. Tidak bisa dinafikan ada beberapa variabel lain yang membentuk pola perilaku absurd para netijen, stunting adalah salah satunya.
Orang-orang yang sekarang ini bersekutu dengan golongannya, sebagaimana kecenderungan manusia untuk berkelompok (gregariousness), adalah produk dari masa lampau. Di dalam kehidupan bersosial media saat ini, tidak menutup kemungkinan akan eksisnya para penyintas stunting. Jadi, ya, jangan heran jika sewaktu-waktu kita temukan ocehan netijen yang chuakzzz. Tugas kita bukan mendebat apalagi menghakimi, tapi memutus rantai tersebut agar tidak mengulang pola kesalahan yang sama.
Jangan lupa share payout kita untuk mereka yang membutuhkan, ya! Salam literasi!
Jadi, maksud loe orang-orang yang menebar berita negatif atau menebar kebodohan adalah mantan penderita stunting dimasa lalu? Hahaha...
Persekutuan terjadi karena adanya kesamaan mereka dalam menangkap frekuensi informasi yg beredar.. Bisa jadi karena sama-sama dengan frekuensi FM, disaat orang lain udah memakai frekuensi 5G.. Hahaha
Keren juga atuh...
Wakakaka. Kalau merujuk ke statistik, memang begitu adanya, kan? Nah, frekuensi FM ini kan gak terbentuk gitu aja, ada proses yang menyebabkan daya tangkapnya cuma stuck di situ. Stunting salah satunya.
Thank you sudah menyempatkan diri untuk membaca tulisan saya, om @aafadjar.
Meskipun aku tak sepenuhnya setuju dengan celotehan dedek @firyfaiz yang sepertinya ingin mengatakan gizi buruklah adalah penyebab "buramnya" wajah media sosial kita, tetapi dibalik itu, aku suka caramu membangun logika dengan cara mengutip satu fakta yang ada (hubungan IQ dan Gizi Buruk) untuk meyakinkan atas pendapatmu atas fakta dimana banyak orang di indonesia yang "taken for granded" ketika menerima suatu berita dari media-media termasuk media sosial.
Menurutku, banyak orang menjadi "taken for granded" alias menerima berita tanpa mencerna dan mengolah dulu, karena tradisi budaya kita yang kurang memerdekakan "siswa; atau santri" untuk berpendapat berlawanan dgn pendapat umum..
🤣🤣🤣🤣
Bukai hai, om @aafadjar, saya gak menggeneralisir semua yang wadidaw di sosmed itu adalah penyintas stunting, tapi cuma sebagiannya aja. Cuma sengaja saya tulis seakan2 begitu untuk memberikan kesan satire heheh.
Soal kurang memerdekakan siswa, tulll banget tuch. Mungkin itu alasan mengapa logical fallacy masih tumbuh subur di institusi pendidikan kita. Karena kebanyakan orang menganut sesat pikir argumentum ad populum, dimana mereka beranggapan bahwa sesuatu dianggap benar karena banyak yang percaya. Padahal, kepercayaan dan kebenaran itu kan dua hal yang berbeda, bahkan sering mendustakan satu sama lain.
Yee.. Saya gak mengatakan menggeneralisir lho.. Pokoknya Cara loe membuat Satire itu, wokee punya.
Menurutku, logical fallacy bisa terjadi karena sedikit sekali pelajaran logika (mantiq), dialektika dan filsafat di institusi pendidikan. Saya sendiri, selama berproses di institusi pendidikan, merasakan banyak disuguhi dogma, yang benar-salahnya tidak boleh dipertanyakan.
Haha... Kebenaran akan tetap benar meski tidak diyakini.
Ngangkat stunting juga ya...? 😁
Ngangkat isunya, kalau angkat stunting gak sanggup, keberatan:D
Latihan dulu di Gym biar kuat....🤭