Perbandingan Semangat Salat Tarawih Kalangan Tua dengan yang Muda
Dalam postingan kali ini saya ingin menceritakan bagaimana perbandingan semangat anak muda dibandingkan kalangan tua salat Tarawih. Tulisan sama sekali bukan berniat menggurui, melainkan bahan introspeksi untuk penulis sendiri.
Beberapa kali saya melihat fenomena aktivitas ibadah salat Tarawih. Jemaah di gampong rata-rata merupakan kalangan yang sudah tua. Sementara jumlah jemaah kalangan muda masih bisa dihitung dengan jari.
Fakta tersebut juga saya dapatkan saat melaksanakan salat Tarawih tadi. Rata-rata jemaahnya merupakan kalangan tua. Saya sempat bertanya kepada teman-teman saya di mana mereka usai salat Isya. Hampir seluruhnya menjawab sibuk menghabiskan waktunya di rumah.
Dari kejadian tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa semangat kalangan tua lebih tinggi dibandingkan kalangan muda. Sementara dilihat dari fisiknya, pemuda lebih leluasa pergi beribadah dan tidak bermasalah lama atau tidaknya waktu beribadah. Berbeda dengan kalangan tua yang saya lihat, mereka untuk berdiri melanjutkan tarawih di rakaat berikutnya sulit.
Soal salat Tarawih, yang kutahu orang tua juga memiliki aktivitas yang lumayan padat seharian. Seharusnya malam menjadi waktu yang sangat baik untuk beristirahat. Namun mereka memilih melaksanakan salat Tarawih. Ketika aku memandang ke sekeliling, kepala mereka banyak yang mengangguk-angguk karena kantuk. Mata mereka berat untuk dibuka.
Seharusnya, kita sebagai anak muda malu kalah dalam hal beribadah dengan kalangan tua. Mereka masih mampu menyisakan sedikit tenaganya untuk beribadah di menasah atau masjid. Anak muda masih memiliki fisik yang prima dan waktu yang lapang. Terutama sekali bagi pemuda yang belum berkeluarga.
Aku sangat senang jika melihat banyak pemuda salat Tarawih. Suasana ibadah terasa sangat berbeda. Rasanya semangat beribadah semakin menggebu.
Kita patutnya membiasakan diri beribadah. Jujur, saya tidak percaya bisa itu karena biasa. Saya lebih percaya biasa beribadah karena dipaksa. Kita mesti memaksa diri kita sendiri. Tidak perlu menunggu orang lain mengajak kita beribadah. Seyogianya kita sendiri yang mengajak mereka. Apalagi selama bulan puasa pahala berlipat ganda bagi yang mengerjakan kebajikan.
Mantap @furqanzedef, makin rapi tulisanmu. Saya senang membacanya karena minim kesalahan semantik. Di antara yang minim itu adalah seharusnya tulislah nama salat fardu maupun sunah dengan huruf kapital di awalnya, misal Isya dan Tarawih. Kemudian jangan pakai kata para di depan kata jamaah (seharusnya jemaah), karena jamaah sudah menunjukkan kumpulan orang banyak. Tanpa kata para pun, jemaah memang sudah menunjukkan jumlah yang jamak. Teruslah berkarya.
Alhamdulillah, Pak. Terima kasih banyak atas nasihat. Akan saya edit berdasarkan masukan dari Bapak. Sekali lagi terima kasih atas koreksinya, Pak.
@yarmen-dinamika
Adun kamo yang budiman..boleh kami bertanya? Anggap saja boleh, saya sempat baca juga ada beberapa kalimat Bahasa Arab yang sudah di indonesiakan, seperti Shalat dll sebagainya, apakah salah jika kita ikut huruf shad dengan menulis SH? Atau huruf ain yg tidak ada dalam bahsa indonesia kita buat tanda diakritik sprti Imam Syafi'ie mohon pencerahannya
Sudah banyak perkembangan @furqanzedef selama ikut kelas FAMe
Alhamdulillah. Semoga para senior terus membimbing saya. Hehe. @hayatullahpasee
Terimakasih sudah menggunakan tag #ramadan-tkf
Ditunggu postingan berikutnya, segala yang berkaitan dengan Ramadhan 😊
Salam hangat dari Kanada,
Keren nasehatnya bang @furqanzedef. Semoga tulisan ini juga di baca oleh mereka, dan tentu juga jadi intropeksi untuk saya sendiri. Terima kasih atas postingan menarik ini.
Mudah-mudahan dibaca, Kak. Terima kasih udah berkunjung ke blog saya. @nurhayati
Luar biasa, saluute😎 semoga Allah tanamkan selalu ghirah untuk menyampaikan yang benar