Ramadan Bercerita #5: Menggunjingkan Rihon dengan Penuh Senda Gurau

in Indonesia4 years ago (edited)

Rihon1.jpeg
Para peserta bedah buku Rihon

Aku sudah bungah duluan saat Diyus Hanafi menyatakan kesediaannya sebagai "penggunjing" Rihôn yang dibuat oleh komunitas Perempuan Peduli Leuser pada Jumat, 9 April 2021 lalu. Beberapa hari sebelum memasuki Ramadan. Bang Diyus yang kukenal sebagai orang yang rakus bacaan dan selalu menuliskan sentilan-sentilan menyeleneh, menurutku tepat sekali dihadirkan sebagai pengulas buku Rihon. Bersanding dengan Dian Guci, yang juga seorang pelahap buku, maka akan semakin klop. Begitulah pikirku. Membayangkan alur acara menggunjing itu saja sudah membuatku begitu bersemangat.

Rihon adalah buku solo pertamaku yang berisi antologi cerpen yang sudah kutulis dalam rentang belasan tahun. Sejak setelah tsunami. Buku ini berisikan 28 cerita pendek yang dominan bercerita tentang rasa, rindu, dan cinta. Sesuatu yang bisa dipersepsikan dengan sangat luas. Seluas pikiran kita. Rihon sendiri merupakan judul salah satu cerita yang terselip di dalamnya dan sengaja kupilih sebagai judul sampul karena menurutku kata ini mewakili seluruh cerita yang ada di dalamnya.

Rihon berarti rindu. Kosa kata ini berasal dari bahasa Aceh. Bagi sebagian orang mungkin masih terdengar asing dan lebih familier dengan kata meusyen untuk arti yang sama. Namun, sependek yang saya tahu rihon adalah rindu tiada terperi yang barangkali tidak bisa diobati karena sesuatu (individu) yang dirindui itu sudah tidak bisa ditemui. Ini lazim sekali terjadi di masa konflik: seorang anak dan istri yang rindu pada ayah dan suaminya yang telah tiada, seorang ibu yang rindu pada anaknya yang tak kunjung kembali, dan seterusnya.

Buku ini terbit pada November 2020, kuanggap sebagai kado untuk diriku sendiri menjelang akhir tahun. Sebagai etape pertama perjalananku sebagai seorang penulis cerita. Untuk menuju etape berikutnya aku sadar, perlu banyak latihan dan kerja keras, latihan dan kerja keras, latihan dan kerja keras, untuk hasil yang lebih baik lagi. Sejak terbit memang tidak ada seremoni apa pun untuk Rihon, kecuali selebrasi-selebrasi kecil saja di media sosial. Aku bahkan sama sekali tidak terpikir untuk meluncurkannya secara resmi.

Rihon2.jpeg
Sign book, salah satu aktivitas menandatangani buku

Ya, aku bukanlah orang yang menyukai seremoni. Itu sebabnya sejak awal aku memang tidak memiliki ekspektasi apa pun untuk merayakan lahirnya buku ini. Bagiku sederhana saja, Rihon bisa sampai ke pembacanya. Namun, di awal tahun 2021 terlintas ide kecil di pikiranku untuk membuat semacam bedah buku ini. Semata-mata untuk mengetahui bagaimana persepsi pembaca (yang diwakili pembedah) terhadap buku ini. Aku pun meminta salah satu temanku, Dian, untuk membedahnya. Dia tak menolak. Namun, aku agak kesulitan mencari satu lagi pembedah. Sulit karena aku punya kriteria sendiri. Tentu saja. Aku tidak ingin acara ini berlangsung dengan kaku.

Aku ingin semuanya berlangsung dengan asyik dan ceria. Tidak ada opening ceremony yang formal, jumlah peserta harus terbatas, dan pembicaranya yang kusebut sebagai penggunjing bukanlah orang-orang yang sering tampil di forum buku. Makanya agak sulit bagiku untuk mencari tandeman untuk Dian Guci. Barulah setelah aku mengobrol dengan Diyus Hanafi di suatu malam, muncul ilham di kepalaku: inilah orang yang tepat. Wajar saja kalau aku bungah saat dia bilang bersedia, kan?

Namun, ibarat kata pepatah, malang tak dapat ditolak, pada hari H ternyata Diyus tak bisa datang. Malam menjelang hari H aku mengontaknya untuk memastikan apakah sudah tiba di Banda Aceh. Ternyata beliau masih di Kota Subulussalam. Saat itu juga aku langsung terpikir untuk mencari penggantinya. Aku pun mengontak @fardelynhacky dan meminta kesediaannya. Alhamdulillah, Fardelyn bersedia dan berlangsunglah pergunjingan itu dengan sukses di waktu bakda Jumat itu.

Rihon4.jpeg
Bersama Syarifah Aini sang editor Rihon

Hanya ada belasan peserta dan beberapa panitia saja dari PPL. Diskusi berlangsung di Warung Kopi Albatros di Peulanggahan, yang bersisian dengan Krueng Aceh. Kami duduk lesehan sambil menikmati hidangan alakadar. Dan pergunjingan yang diawali oleh Dian Guci dan dipandu oleh Ketua PPL, Ayu 'Ulya, berlangsung dengan penuh senda gurau. Sebagai penulis saya mendapat kesempatan lebih dulu untuk memaparkan beberapa hal terkait buku ini.

Dengan peserta yang terbatas, diskusi menjadi asyik karena bisa berinteraksi dengan seluruh peserta. Beberapa yang hadir di antaranya Thayeb Loh Angen, Esti Wulansari, Syarifah Aini, Muthmainnah, Mira, Arya, Munawar, Syukri, Syukran, dan Ina. Sedangkan panitia ada Ayu dan Yelli.

Di postingan ini tentu saja aku tidak akan menuliskan tentang pembahasan tentang Rihon, nanti jadinya tidak objektif. Kalau teman-teman penasaran pada isinya bisa pesan langsung ke penulisnya hahaha.[]

Ramadan Bercerita.jpeg

Sort:  

Congratulations... Terbit Sudah hasil karyanya, semoga semakin semangat berkarya yaa... Btw si @sangdiyus nggak mongol dimari yah?

Terima kasih Kak @cicisaja ... Insyaallah, mohon dukungannya selalu. Mungkin Sang Diyus sedang bertapa hahahah.

Suruh dia maen steemit lagi...bilang aku rindu omelannya

lihat beginian aja saya udah amat bangga, apa lagi kalau udah baca bukunya.

Auto dobel bangganya pasti.... hahahaa

Kencang nya jam terbang Rihon . . .
🤣🤣🤣

masih kecepatan normal hehehhe....

Seru kali acaranya. Soalnya udah lama kali kan nggak ada kegiatan bedah buku seperti ini. Lebih setu lagi karena pesertanya terbatas di mana orang-orangnya pun adalah orang-orang yang asik diajak diskusi tentang dunia literasi

Iya, klub-klub kecil itu lebih mengasyikkan dibanding acara yang pesertanya berjibun, ya kan?