Kisah Militansi Barisan Siap Sedia dan Melemahnya Tentara Jepang
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu menimbulkan dampak dan eforia yang luar biasa di kalangan barisan pejuang kemerdekaan di Aceh. Mereka mempersiapkan diri dengan berbagai senjata rampasan. Malah pemuda pejuang dikonsolidasi dan diberi latihan tempur siang dan malam.
Seperti terjadi di Bireuen pada 31 Agustus 1945, di sekita Kota Bireuen dan Juli dibentuk pasukan khusus yang beranggotakan 500 pemuda. Mereka dipimpin oleh Teuku Machmud dan Ishak Ibrahim.
Sejarawan Aceh, Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan mengungkapkan, pasukan khusus di Bireuen itu diberi nama “Barisan Siap Sedia”. Saat pembentukan mereka hanya memiliki senjata sembilan pucuk meriam kaliber besar dan kecil, beberapa senjata ringan, tiga senjata jenis brenkarir. Barisan ini juga diperkuat oleh 100 orang pasukan berkuda.
Benteng pertahanan Jepang di Anoe Itam, Sabang sumber
Teuku Machmud dan Ishak Ibrahim melatih pasukan ini siang dan malam dalam berbagai medan dan iklim. Hasilnya, pasukan ini merupakan pasukan yang paling militan dalam setiap pertempuran. Seperti pada pertempuran di Geulanggang Labu, Geulumpang Dua, Krueng Panjoe.
Karena militansinya itulah pasukan “Barisan Siap Sedia” ini menjadi salah satu pasukan dari Aceh yang dikirim ke Medan, Sumatera Utara dalam perang Medan Area untuk menghalau Belanda agar tidak masuk ke Aceh pada agresi militer Belanda kedua ke Indonesia.
Karena melihat eforia rakyat Aceh dan militansinya, maka pemerintah Jepang di Aceh tidak bisa berbuat banyak. Kantor-kantor Jepang di Aceh tidak lagi berfungsi. Para petinggi Jepang hanya duduk-duduk dengan kalangannya sendiri, sementara pejuang Aceh terus berupaya merebut senjata-senjata milik Jepang sebelum dilucuti oleh tentara Sekutu yang sudah bercokol di Sumatera Utara dan Pulau Weh, Sabang.
Bungker pertahanan Jepang di Cot Batee Geuleungku, Bireuen sumber
Di bagian timur Aceh juga dibentuk pasukan pelopor pejuang kemerdekaan. Secara teratur mendapat latihan militer. Mereka bermarkas di Kewedanan Kuala Simpang dan disebarkan di beberapa pos strategis, sebagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan masuknya tentara Belanda ke Aceh melalui Medan, setelah Jepang menyerah pada Sekutu.
Pada 31 Agustus 1945 di kantor redaksi surat kabar Atjeh Simbun. Pagi hari seperti biasa bekas pembesar Hodoka, H Nagamatsu datang untuk mengawasi kegiatan di Atjeh Sinbun. Ketika ia masuk ke kantor itu, pertengkaran terjadi dengan pemuda Aceh yang bekerja di sana. Nagamatsu diminta untuk menyerahkan pistolnya.
Petinggi Jepang itu mencoba mempertahankan senjatanya, tapi ketika didesak secara keras, ia menangis dan menyerahkannya. Redaksi Atjeh Sinbun saat itu dikelola oleh Ali Hasjmy sebagai Pemimpin Redaksi dengan beberapa orang redaktur seperti T Alibasyah Talsya, Azhari Aziz, Ghazali Yunus, dan Ramli.
Bunker pertahanan atau gua Jepang di Blang Panyang, Kota Lhokseumawe suber
Esoknya, pada 1 September 1945 juga terjadi kegaduhan di Jalan Pintu Kecil (kemudian jadi Jalan Perdagangan) Kota Banda Aceh. Saat itu lewat sebuah sado yang ditumpangi T Abdullah Sani. Ia berpapasan dengan serdadu Jepang yang baru pulang dari Pasar Atjeh dengan sepeda. Sado yang ditumpangi T Abdullah Sani menyerempet sepeda tersebut, sehingga sepeda dan barang bawaan tentara Jepang itu jatuh berserakan.
Tentara Jepang bangkit dan mamarahinya. Sais sado yang masih memegang tali kekang dibentak berkali-kali. Tak terima dengan pelakuan seperti itu, T Abdullah Sani kemudian turun dari sado dan balik membentak tentara Jepang tersebut dengan bahasa Jepang. ”Watakusyi’wa Keimubutyo Indonesia - Saya Kepala Polisi Indonesia,” bentaknya dengan suara lantang. Dibentak seperti itu tentara Jepang ciut nyalinya, ia menunduk lalu memberi hormat, kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat tersebut.
Dampak dari kekalahan Jepang itu pula, pada 2 September 1945, perusahaan dagang Jepang di Banda Aceh, Kaisha-kaisha mengobral barang dagangannya. Padahal sebelumnya barang-barang terutama sembako dan logistik lainnya sangat susah didapatkan, karena ditimbun di gudang-gudang oleh Jepang. Gudang-gudang penyimpanan itu kemudian juga dijarah oleh penduduk.
Khusus untuk paragraf terakhir bisa dibuat satu postingan lagi aduen @isnorman.
Seperti sama-sama diketahui, penjarahan sembako pada masa itu merata hampir di tiap tempat. Bahkan sampai pada perampasan senjata.
Saya yakin akan sangat menarik untuk dibaca.
ya aka diusahakan kalau ada referensi tambahan @lamkote