Sejarah Residen Aceh Merawat Toleransi Membangun Keberagaman
Tolerasi dan keberagaman bukanlah barang baru di Aceh, dalam hiruk pikuk perang dengan Sekutu/Belanda pun nilai-nilai itu dibangun. Kelompok minoritas etnis Tionghoa, Pakistasn, India dan Arab bisa hidup berdampingan, malah ikut membantu penggalanga dana untuk kebutuhan perang.
Kisah dan sejarah pertipisapi beragam etnis tersebut dalam kancah perang di Aceh, sudah saya tulis dalam beberapa postingan saya sebelumnya. Postingan ini hanya kelanjutan dari itu, yakni tentang cara Residen Aceh membangun dan melestarikan kerukunan beragama.
Di halaman Masjid Raya Baiturrahman ini pada malam 24 Maret 1948 digelar konferensi antar umat beragama di Aceh. Sumber
Pada 19 November 1947, penduduk etnis Tionghoa di Lhoksukon, Aceh Utara membuat resolusi yang menyatakan bahwa mereka aman hidup di bawah perlindungan Residen Aceh. Resolusi itu diterbitkan oleh perkumpulan etnis Tiongho untuk membantah siaran-siaran Belanda yang melakukan propaganda bahwa etnis Tionghoa di Aceh hidup dalam ancaman.
Sebenarnya organisasi etnis Tionghoa di Aceh sudah dibentuk sejak 12 November 1945 dengan nama The Oversea Chinese Young Man Associations (OCYMA). Organisasi ini diketuai oleh Leo Foek Soen. Menariknya di Aceh, etnis Tionghoa bisa hidup bersama dan berdampingan dengan etnis-etnis lainnya. Pada 24 Mei 1946 di Banda Aceh dibentuk Lembaga Gabungan Indonesia Tionghoa dan Arab (LEGITIA).
Malah, persoalan kerukunan antar etnis dan agama ini menjadi sorotan khusus lembaga legislatif Aceh masa itu. Pada tanggal 23 Maret 1948, berlangsung sidang di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membahas tentang kerukunan umat beragama.
Semua pemuka agama hadir dalam sidang tersebut. Utusan dari kalangan Islam ditempatkan di Bagian Urusan Islam. Sementara utusan dari Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha disatukan di Bagian Urusan Agama Masehi.

Gedung DPRA pada masa awal kemerdekaan, kini jadi Gedung Bank Indonesia Perwakilan Aceh Sumber
Dalam sidang tersebut, Wakil Kepala Jabatan Agama Daerah Aceh, Tgk M Noer el Ibrahimi dalam pidatonya menyampaikan pandangan tentang tugas-tugas Jabatan Agama dalam membangun kerukunan hidup antar pemeluk agama di Aceh.
Sidang itu juga dihadiri, Kepala Urusan Islam Tgk Abdur Rachman, Kepala Mahkamah Syariah Tgk H A Hasballah Indrapuri, Kepala Bagian Urusan Agama Masehi T Zainoel, Kepala Bagian Penyantunan Tgk Di Lam U, serta Kepala Pendidikan Agama Islam. Usai sidang di DPRA juga dilanjutkan dengan temu ramah antara kalangan umat Islam dengan para tokoh lintas agama.
Bukan itu saja, sehari kemudian, yakni pada 24 Maret pertemuan pemuka lintas agama kembali digelar di Banda Aceh. Konferensi antar pemeluk agama di gelar di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Para tokoh masyarakat dan pemua agama berpidato segara bergiliran, mulai dari Tgk Zamzami Yahya mewakili Pengurus-Pengurus Agama (Badan Kerukukan Antar Agama), Tgk Abdussalam dari Mahkamah Syariah, Banta Tjut mewakili ulama, serta Kok Tjuan wakil dari Agama Masehi (Kristen Katolik, Kristen Protestan ditambah Hindu dan Budha).

M Noer el Ibrahimy Kepala Jabatan Agama Daerah Aceh sumber
Konferensi antar pemeluk agama tersebut kemudian melahirkan sebuah resolusi bersama yang disampaika kepada Pemerintah Pusat dan Komisi Tiga Negara selaku Perwakilan PBB untuk perdamaian Indonesia. Resolusi bersama tersebut berisi empat (4) point dan satu usulan kepada Pemrintah, yakni:
- Meminta Komisi Tiga Negara dengan segera mencegah tindakan-tindakan pihak Belanda mengadakan perpecahan diantara umat Islam dan umat agama masehi.
- Mendesak Belanda supaya membuka jalan yang seluas-luasnya kepada Republik Indonesia, untuk memasuki daerah-daerah pendudukan, guna memperbaiki kebatinan rakyat Indonesia yang telah dirusak oleh peperangan.
- Mendesak Belanda untuk segera menghapus blokade terhadap Republik Indonesia.
- Meminta Belanda untuk menghentikan tindakannya tentang pembentukan Negara-negara Pasundan, Madura dan lain-lain negara boneka, sebab bertentangan dengan perjanjian Renville.
Selanjutnya mengusulkan kepada Pemerintah Pusat memotivasi pemasukan barang-barang lux ke daerah Republik dan mencegah hal-hal yang dapat merusak pergaulan. Lebih jelas tentang itu bisa dibaca pada halaman 263 buku Modal Perjuangan Kemerdekaan.
Bereh apa kaoy, that meushuhu artikel nyoe
Bek jipeugah tanyoe hana toleran @bangrully yoh golom ku jih jiteupeu peu nyan toleran, endatu tanyoe kegeupeujak buet nyan. he he he. nyoe meunan brader @munaa ?