The Diary Game Better Life, Jumat, 27 Agustus 2021: Berurusan Dengan Tiga Pengacara Kondang
Dalam sehari saya harus berurusan dengan tiga orang pengacara. Ada kewajiban yang harus diselesaikan. Di ujung hari masih sempat diskusi ringan dengan anak muda kreatif yang menulis di salah satu flatform menulis populer di dunia maya.
Awalnya saya harus menjumpai empat orang pengacara, tapi yang pertama gagal. Jadinya hanya tiga yang berhasil. Pengacara pertama, sehari sebelumnya sudah membuat janji akan berjumpa di salah satu warung kopi di kawasan Pango, Banda Aceh, satu arah jalan dengan kantor hukum sang pengacara. “Kita sarapan pukul 08.00 WIB di Solong Jepang,” katanya saat membuat janji.
Maka, Jumat pagi, 27 Agustus 2021 sebelum pukul delapan saya sudah ke sana. Jepang yang disebut pada nama warung kopi ini, bukanlah Jepang negeri sakura itu, tapi singkatan dari Jembatan Pango, karena warung itu memang berada di sisi timur jalan di ujung turunan jembatan tersebut.
Tapi, sampai pukul 09.00 WIB sang pengacara yang juga mantan anggota DPRK Aceh Besar itu tidak muncul, mungkin ada urusan lain yang lebih mendesak. Dari sana akhirnya saya menuju ke kawasan Lampriek, ke Kantor Hukum Dr Ansharullah Ida SH MH, pakar hukum yang pernah menjadi pengacara Panglima GAM Wilayah Peureulak, Ishak Daud ketika sang panglima ditawan pemerintah Republik Indonesia.
Saya bersama Dr Ansharulah Ida SH, MH [foto: dok pribadi]
Saya dengan Ansharullah Ida sudah kenal lama. Pria asal Matang Geulumpang Dua, Kabupaten Bireuen itu pernah menjadi konsultan hukum di media tempat saya bekerja. Saya sengaja datang lebih awal setengah jam ke kantornya. Meski demikian ternyata sang pengacara yang juga mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kutaraja itu ada di kantor.
Saya segera masuk ke ruang kerjanya. Ia masih sibuk di depan laptop, memberi kuliah untuk mahasiswa pasca sarjana (S2) secara daring. Selain sebagai pengacara ia juga tercatat sebagai dosen di beberapa universitas di Aceh, Medan dan Batam. Melihat saya masuk ia menggeser laptopnya.
Saya segera mengeluarkan dua quisioner dari Kementerian Investasi, satu tentang penyelesaian kepailitan dan satu lagi tentang penyelesaian sengketa kontrak melalui peradilan. ”Ini berkaitan dengan hukum bisnis, butuh pendapat pengacara kondang,” kata saya padanya. “Dua-duanya?” Ansharullah Ida balik bertanya. “Satu saja,” jawab saya.
Ansharullah Ida pilih yang kedua, yakni qusioner tentang penyelesaian sengketa kontrak melalui peradilan. Saya membaca pertanyaan, beliau menjawab dan menjelaskan dengan berbagai argument dan bahasa hukum yang kadang tak saya mengerti. ”Katuleh lagee kei peugah ngat carong keuh, awak di Jakarta hana ditupeu sapeu syit nyan,” bahasa aslinya keluar, saya hanya tersenyum, dari dulu memang bicaranya dengan saya selalu blak-blakan.
Saya bersama Ketua Peradi Banda Aceh Yahya Alinsa [foto: dok pribadi]
Semua pertanyaan di quisioner selesai dijawab tak sampai setengah jam. Setelah itu hanya bicara masa lalu dan masa depan. Ia memberi saya satu tugas, kalau berhasil berapa pun harganya akan dibayar. Tugasnya adalah mencari kliping koran tentang berita ia membantu seorang ibu-ibu di pengadilan. ”Nyan kah tuleh jameun, padum habeh-habeh, meunyoe na kliping korannya kubayeu padum galak kah,” tegasnya.
Ingatan saya pun melayang ke tahun 2004 silam, ketika seorang ibu terjerat kasus narkotika. Kisah bermula ketika perempuan paruh baya itu menerima titipan seseorang di kios kecilnya di kawasan Lamseupeung, Banda Aceh. Titipan itu ternyata satu bungkusan ganja kering. Polisi pun menangkapnya, padahal ia tak tahu apa-apa.
Di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Ansharullah Ida mendampingi perempuan itu, dengan segala argument hukumnya, ia menjadi pembela yang berhasil membebaskan sang terdakwa. Perempuan itu menangis ketika majelis hakim mengetuk palu vonis bebas untuknya.
Usai sidang perempuan itu sambil menggendong anaknya berjalan ke arah Ansharullah Ida, saya melihat Ansharullah Ida mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkan ke anak dalam gendongan itu. “Terimaksih pak, saya tak sanggup membayarnya, jasa bapak akan saya bayar dengan doa dalam setiap shalat tahajut saya,” kata perempuan itu dengan berlinang air mata.
Ansharullah Ida memang tak menerima bayaran dari kasus prodeo itu. Sehari setelah itu saya menulis di media tempat saya bekerja waktu itu sebuah feature hukum dengan judul Ansharullah Ida Pengacara yang Dibayar dengan Doa Shalat Tahajut.
Ansharullah Ida sempat menyimpang klipingan berita itu, tapi ketika musibah gempa dan tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, kantornya di lantai tiga sebuah Ruko di Simpang Surabaya hancur, banyak dokumennya yang hilang. “Kamita siat beumerumpok ata nyan,” pintanya.
Saya bersama Junaikar SH [foto: dok pribadi]
Setelah dengan Ansharullah Ida, usai Jumatan saya harus menjumpai pengacara lainnya, Yahya Alinsa, yang juga Ketua Perhimpunan Advocat Indonesia (Peradi) Cabang Banda Aceh. Pria asal Meureudu itu membuka kantor hukum di kawasan Simpang Jambo Tape. Ia sudah puluhan tahun berkantor di sana.
Yahya Alinsa juga merupakan salah satu pengacara senior di Aceh. Ansharullah Ida juga pernah sekantor dengannya. Keduanya sudah banyak makan asam garam dalam masalah hukum dan beracara di pengadilan. Setelah selesai mewawancarai Yahya Alinsa, dari Jambo Tape saya kemudian bergerak ke Batoh, di salah satu warung kopi di sana sudah menunggu rekan saya yang juga pengacara, Junaikar.
Sebagai pengacara, Junaikar juga sering bekerja sama dengan Ansharullah Ida dan Yahya Alinsa. Kali ini wawancara lebih santai karena dilakukan di warung kopi. Pria asal Laweung, Pidie ini pernah bekerja di salah satu kantor hukum pengacara kondang di Jakarta, sebelum kemudian memutuskan untuk kembali ke Aceh. Jelang asar kami pisah karena Junaikar ada keperluan lain, sementara saya kembali ke rumah.
Saya bersama Joe dan Richard Mareno [foto: dok pribadi]
Setelah shalat asar, satu pesan singkat masuk ke telepon selular saya. Pengirim pesan itu bernama Joe, seorang penulis muda, ia mengajak jumpa, ada yang ingin didiskusikan. Di ujung pesan ia juga sertakan sharelock dan nama sebuah café di kawasan Pangoe, Uleekareng.
Saya belum pernah berjumpa langsung dengan “Joe” interaksi antar kami hanya terjadi di salah satu platform menulis. Karena itu, sampai di café yang dimaksud, saya kembali menghubungi Joe. Anak muda asal Peureulak itu mengangkat satu tangan sebagai kode. Ternyata Joe baru tamat kuliah, ia ingin mendalami dunia tulis menulis.
Setelah itu datang juga Richard Mareno teman Joe. “Maaf bang saya telat dari Lamdingin. Tadi waktu mau pergi ketinggalan kunci kamar,” katanya. Ini juga merupakan pertemuan pertama saya dengan Richard Mareno, sebelumnya interaksi saya dengan pemuda asal Bireuen itu juga hanya melalui media sosial.
Kami bertiga pun ditemani kacang dan pisang rebus berbicara banyak hal tentang kiat menulis dan membuat postingan di berbagai plaform media. Sayangnya baik Joe maupun Richard Mareno belum punya akun steemit. Kedua penulis muda ini pun tertarik untuk mencobanya. Pertemuan singkat itu berakhir jelang azan magrib.
Kreuh pengacaranya, ka Doto rupajih...
Ka co promotor, tak lama lagi akan profesor nampaknya. Oya, na saleum dari pengacara Laweung Junaikar keu brader @munaa
jroh that, nyoe na meurumpok lon neu krm saleum balek
siaaap
SELAMAT
Postingan anda telah terpilih dalam "Edisi ke #71: 5 Postingan terpilih [29-08-2021]". Kami berharap anda terus konsisten dalam membuat karya yang berkualitas.
Salam Hangat,
Account Manager @steemseacurator
Terimakasih atas dukungannya
Mungkin itu adalah pembayaran terbesar dalam sejarah bagi Bapak Ansharullah Ida.
Sosok yang luar biasa ❤❤
Ya, karena itu beliau meminta saya untuk mencari kliping berita itu lagi.
Mungkin itu sedikit mustahil untuk di temukan, itu terlihat jelas dari kepercayaan beliau untuk memberikan berapapun bayaran jika Bapak @isnorman menemukannya 🙏☺
ya, mustahil. itu bagai mencari jarum di tumpukan jerami.
Tentu saja, bahkan jika bisa dikatakan misi yang mustahil ☺🙏
Bereh, bang. Semoga bisa bertemu kembali dilain kesempatan.
Siap, semoga kita bisa terus berbagai informasi dan pengetahuan di platform ini
Semoga kliping nya dapat pak @isnorman
Amin, pasti pak Anshar sangat senang jika kliping itu ditemukan.