Lika-Liku dan Teka-Teki Masa Depan Timnas
"Saya sedih tidak pernah berhasil juara La Liga. Saya juga sedih dua kali di Final Liga Champions namun gagal juara. Tapi semua itu tidak sebanding dengan dengan kesedihan malam ini", begitulah ungkapan lirih keluar dari mulut Luis Milla. Malam itu, sebagaimana kita tahu bahwa tim nasional (timnas) Indonesia gagal melangkah ke babak selanjutnya, usai takluk dari UEA lewat drama adu pinalti.
Membangun sepakbola Indonesia tidak semudah nge-love IG-nya Wulan Guritno. Butuh kesabaran panjang. Ada banyak sekali Pekerjaan Rumah (PR) yang musti diurus sedari awal, bahkan hal remeh temeh pun juga musti diselesaikan. Sebagai seorang mantan persepakbola top Spanyol, mantan pelatih Spanyol U-23 yang pernah membawa Isco, Alcantara dkk menjadi kampiun piala dunia, memilih menukangi timnas Indonesia sesungguhnya (baginya) adalah perjudian. Milla, patut diapresiasi berani mengambil tatangan tersebut.
Jika kita runut lebih jauh, terlalu pelik persoalan persepakbolaan Indonesia, mulai dari regulasi tak tegas, kompetisi sarat intrik, pembinaan usia muda belum begitu massif, hingga urusan politik yang kental, adalah sederetan masalah bak benang kusut yang kehilangan mana ujung dan mana simpulnya. Namun, tanah nusantara tak pernah berhenti melahirkan pesebakbola penuh talenta, dunia tahu, di usia muda pemain Indonesia amat meyakinkan, pontensi mereka (tak berlebihan) bila disebut surplus.
Hanya saja, lagi-lagi kita tahu sama tahu, star sindrom kerap melanda talenta Indonesia. Baru sedikit hebat, langsung disematkan embel-embel The Next si Fulan dan bla bla. Kadang-kadang, media kita terlalu genit mem-blow-up para pemain. Niatnya baik, sebagai apresiasi dan promosi, tetapi yang perlu diingat, ada dua jenis mentalitas yang mendera pemain kita; entertain dan inferior. Satu sisi suka merasa artis, di lain sisi merasa rendah diri.
Kalau boleh jujur, sesungguhnya Indonesia beruntung, dalam beberapa turnamen sepakbola kerap dipercaya sebagai tuan rumah, hal ini berpengaruh terhadap rasa percaya diri para pemain, dukungan suporter Indonesia yang terkenal militan menjadi modal besar untuk meraih kemenangan. Andai Indonesia bukan tuan rumah, tengok dan bukalah setumpuk data yang ada, betapa sering timnas (senior) kita kalah. Persoalannya, selain taktik dan strategi adalah mental.
Kekalahan semalam memang menyesakkan dada semua pihak. Alasan paling klasik tentu kepemimpinan wasit asal negeri Kanguru begitu tak karuan. Sampai-sampai Milla dalam konferensi pers usai pertandingan dengan nada berang berkomentar: "Menurut saya, pemain UEA yang bermain baik adalah wasit. Menurut saya, wasit tidak punya level untuk pertandingan ini".
Menyalahkan kepemimpinan wasit seolah terkesan kalap mencari kambing hitam. Tetapi, bagi yang menonton khusyuk pertandingan tersebut tahu bagaimana kualitas kepemimpinannya. Secara pribadi, saya sepakat untuk pinalti yang pertama, tetapi terlalu sulit menerima pinalti kedua. Tidak cukup disitu, banyak keputusan yang diambil sang wasit kerap merugikan tuan rumah. Beruntung, kali ini, emosi pemain Indonesia terkontrol sangat baik.
Bahasa hiperbolisnya begini, meskipun didhalimi wasit, mendapatkan ragam drama dari pemain UEA, nyatanya fighting spirit para pemain terus membara dengan emosi yang stabil. Pemandangan ini langka bagi kita, selama ini pemain Indonesia dikenal mudah terprovokasi, dan dimanfaatkan lawan sebaik mungkin. Entah itu baku hantam, tindakan tidak terpuji, atau kesulut emosi untuk melakukan pelanggaran berbahaya, eksesnya adalah kerugian bagi timnas. Tapi semalam semua itu tidak ada.
Raut wajah Zulfiandi, Evan Dimas hingga Hansamu, sekalipun agak kesal tetapi tetap menatap mantap. Dampaknya adalah daya fokus mereka tahan lama. Dengan begitu permainan terstruktur dengan baik yang bermuara pada terciptanya dua gol balasan melalui skema open play. Di sinilah kelebihan Milla, ia berhasil menyelesaikan PR besar dari tubuh timnas yang selama ini kurang diperhatikan banyak orang, termasuk kurang intensnya ulasan media sebagai corong kritik atau alarm pengingat. Saya berharap, mentalitas seperti ini dapat terus dipertahankan oleh siapapun pemain timnas di masa depan, tanpa terkecuali siapapun pelatih lainnya.
Kekalahan kemarin membuat Indonesia gagal merealisasikan targetnya; tembus semifinal. Akibatnya, kabar kurang sedap keras berhembus. Luis Milla akan dievaluasi oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan kemungkinan besar; diberhentikan! Ketua Umum PSSI, Edi Rahmayadi keras mengeluarkan pernyataan, intinya ia tak mau memberikan kepercayaan lagi kepada pelatih yang gagal merealisasikan target.
Sontak reaksi bermunculan, salah satu reaksi yang paling kentara adalah hastag #saveluismilla, tatar tersebut merupakan bentuk keinginan masyarakat agar PSSI mempertahankan sepakbola. Dalam banyak jejak pendapat, netizen menilai kerja Milla dan tim sudah sangat banyak membuahkan hasil. Mereka menolak alasan PSSI memecat Milla hanya karena target tak tercapai. Sejauh yang saya amati, para pencinta bola di tanah air kian hari bertambah cerdas, mereka ingin PSSI sebagai pemangku kepentingan untuk bersabar dan lebih mengedepankan projects jangka panjang. Salah satu suara pro-Milla disampaikan oleh mantan striker timnas, Kurniawan. Baginya, kerangka timnas di bawah Milla sudah terbentuk cukup baik.
Di luar itu semua, persoalan ke-sepakbola-an Indonesia terletak pada kepengurusan. Agaknya, mentalitas kepengurusan kita terkesan instan, serba jangka pendek. Selalu saja target timnas tergantung turnamen yang akan dihadapi, paling banter ya AFF. Di saat negara lain di Asia Tenggara sudah fokus ke level dunia, Thailand misalnya. Indonesia masih mangap-mangap di level ASEAN. Bedanya, Thailand punya target jangka panjang. Contoh yang paling dekat, federasi sepakbola negeri gajah putih itu menolak memecat pelatih mereka kendatipun mereka gagal Loloh di Asian Games.
Jangankan dengan Thailand, Myanmar yang mulanya hanyalah tim gurem, sekarang berkembang pesat di setiap usia. Dan tamparan keras justru datang dari Kamboja yang menunjuk Keisuke Honda sebagai general manager, tugas pertamanya membawa tim Kamboja yang biasanya jadi lumbung gol bagi lawan untuk dapat berbuat banyak. Sedangkan dengan Malaysia, sudahlah kita tahu tim berjuluk Harimau Malaya itu selalu tampil dengan mentalitas paten.
Saya percaya bahwa selalu ada harapan dengan asa tak pernah padam di dada Garuda. Hanya perlu orang-orang kompeten dengan kepentingan yang minim. Saya tidak naif, bahwa sepakbola pasti ada kepentingannya, tentu ada politiknya. Dimana-mana begitu. Celakanya, takaran di Indonesia ini terlampau overdosis. Tengoklah Ketua Umum PSSI sekarang, dengan PD tak mau mengundurkan diri dan biasa saja rangkap jabatan. Padahal, sang jendral baru saja dianugerahi amanah sebagai Gubernur Sumatera Utara (Sumut).
Sesungguhnya mengurusi sepakbola Indonesia tidak cukup dengan kata-kata mutiara, bukan pula modal gertak ala sistem komando. Tetapi diperlukan orang-orang bermentalitas militan, bukan modal seragam, yang visioner dan tak mudah tergoda dengan 'mainan lain', multi jabatan misalnya. Kita juga butuh anak-anak mudah yang kreatif, saintifik dengan begitu pendekatan dan metode terus mutakhir. Di saat banyak negara lain melakukan segala cara, bukan lagi jamannya bermain bola hanya modal patriotisme atau semangat semata. Tetapi, semua aspek peluru diperhatikan hingga yang paling detil sekalipun. Tanpa itu semua, maka bersiaplah garuda disambalado timnas bangsa-bangsa lain. Entahlah!