Merangkum Adha

in #eidmubarak6 years ago

image

Bagi umat muslim, ada dua hari besar setiap tahunnya; idulfitri dan iduladha. Setiap insan turut menyambut dengan penuh sukacita. Dalam perjalanannya, sering, idulfitri lebih semarak ketimbang adha. Padahal, yang diutamakan untuk paling dirayakan adalah adha.

Setiap iduladha, kita kembali mengenang bagaimana asbabun nuzul dari pada wahyu untuk melaksanakan qurban. Maka, tiga ayat pasti dikutip oleh khatib. Pertama surah Al-Kautsar, kedua surah As-Shafat ayat 102 dan ketiga surah Al-Hajj ayat 34. Surah ketiga menjadi landasan disyariatkan qurban kepada manusia, sedangkan di surah kedua mensyarahkan percakapan antara Ibrahim dan Ismail.

Seingat saya, dengan ingatan yang terbatas, dalam setiap bahasan iduladha dengan segala amalannya, ada satu redaksi dari penggalan ayat (Al-Hajj) yang boleh jadi tak begitu terbahas. "fandhur ma taraa" (berpikirlah, bagaimana pendapatmu?), tanya Ibrahim kepada anaknya Ismail. Dari situ ada pelajaran berharga yang dapat dipetik, bahwa sebelum mencapai qurban yang dalam artian sempit bermakna dekat, segenting apapun kewajiban, sepelik apapun psikologi, komunikasi dan musyawarah merupakan keniscayaan.

image

Dengan momentum iduladha, sudah sepantasnya kita tidak hanya memahami qurban (dekat). Tapi juga mengerti arti dari pada pengorbanan, sembari terus membangun maupun memperbaiki komunikasi.

Ibrahim mengajarkan kita bagaimana menjadi insan yang mapan bintang lima. Maksudnya adalah, mapan secara harta -ia dikenal sebagai salah satu nabi yang sangat royal bersedekah- tak terhitung jumlah qibas yang ia sumbangkan di jalan Allah. Mapan secara ilmu, sebagai seorang Nabi, tentulah Ibrahim AS memiliki ilmu yang dalam. Terakhir, mapan dalam ujian.

Tak ada yang lebih berat selain mengqurbankan anak sendiri dengan tangan sendiri pula, terbayang betapa emosi dan keimanan begitu campur aduk manakala Allah menguji Ibrahim AS. Hanya saja, sebagai seorang yang bukan hamba biasa, tiga kemapanan itulah nenjadi bekal.

image

Namun, semapan-mapannya orang tua, bila tidak dianugerahi seorang anak yang shaleh dan cakap akan ilmu agama, juga percuma. Ismail yang notabene saat itu anak semata wajar, putra harapan, dengan pemahaman yang cukup dan cakap ia tahu apa langkah yang diambil. Di saat Ibrahim galau, Ismail lah yang memantapkan hati sang ayah. Dari sini juga tampak, betapa pentingnya pendidikan di rumah agar sebuah keluarga dapat menumbuhkan seorang anak yang akan tidak klo priep (tuli peluait).

Memperingati iduladha sesungguhnya tidak semata-mata melaksanakan ibadah qurban dengan menyembelih lembu, kambing, domb, dll. Meneladani pengorbanan saja (sejatinya) juga tidak cukup, butuh kecermatan dan kejelian untuk melihat sisi-sisi tak begitu terekspos dari kosan Ibrahim-Ismail, dkk. Dan menulis kembali iduladha merupakan salah satu cara memperingati hari raya akbar ini, tanpa terkecuali Steemit.

Selama ini, di Steemitada banyak steemian yang sudah melakukan qurban dalam artian dan dimensi berbeda. Ingatkah kita manakala penggalangan dana untuk seseorang yang sakit, kepada korban bencana alam dan banyak kegiatan sosial lainnya. Steemit, di hari-hari biasa tanpa kita sadari sedikit banyak telah mengimplementasikan ruh daripada kisah qurban.

image

Ketika saya memilih menulis iduladha, bukan berarti sedang menawarkan diri sebagai ustadz Steemit, tidak sama sekali. Tapi, sebandel atau nakal apapun, saya belajar untuk tahu dan berjanji untuk tetap memberikan kepedulian terhadap agama, baik itu yang berkenaan secara hakikat maupun muamalah. Sekurang-kurangnya, untuk urusan amal, pernahlah tersebut kalimat astagfirullah.

Menulis tentang lebaran tidak hanya seberapa piring lontong sudah dihabiskan, bukan pula seberapa banyak percikan darah hewan qurban yang terpercik di baju lalu diabadikan dalam foto. Karena berlebaran, selain menunaikan shalat Ied adalah (juga) merangkum pelajaran beserta esensi yang terkandung. Entah itu terangkum dalam ingatan, atau tertuang dalam bentuk tulisan.