Kapan Bully Di Sekolah Mampu Dihentikan?
Kemarin dua anak saya yang terkecil menangis karena mereka dibully oleh teman-teman mereka di sekolah. Ini bukan yang pertama kalinya terjadi terhadap mereka yang bersekolah di SD Sukarasa 196, KPAD Gegerkalong, Bandung. Sudah sering mereka harus menghadapi bully dan kata-kata kasar yang tidak pantas dilakukan oleh siswa sekolah, apalagi mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun, tentunya sulit untuk diatasi oleh guru dan pihak sekolah, sebab apa yang terjadi sudah merupakan rantai dari pendidikan yang salah di rumah dan lingkungan, termasuk yang dilakukan lewat media dan oleh banyak orang. Jika hal ini terus dianggap sepele dan diabaikan, terutama oleh para orang tua serta seluruh masyarakat Indonesia, maka jangan harap kita menjadi negara maju dan berkembang, tetapi akan terus jatuh terperosok dan hancur.

Sebelumnya, mereka bersekolah di SD Isola, juga di Gegerkalong dan saya sengaja memasukkan mereka ke sekolah “rakyat” karena saya ingin mereka benar-benar bisa merakyat. Soal mutu dan kualitas pendidikan, bagi saya sama saja di mana-mana, sangat tergantung kepada cara orang tua mendidik anaknya masing-masing saja. Sekolah mahal dan terkenal pun sudah terbukti tidak mampu menghasilkan manusia-manusia yang bisa memberikan banyak guna dan manfaat serta perubahan yang lebih baik bagi bangsa, negara, dan dunia. Jika hanya soal kemudahan mendapatkan pekerjaan, makan, kedudukan, jabatan, dan kekayaan, itu hanyalah urusan survival dalam kehidupan yang dilakukan oleh seluruh makhluk hidup. Manusia pun sama bisa demikian, karena manusia juga adalah mamalia, namun manusia memiliki kelebihan lain yang membuat manusia bisa berpikir dan memiliki ilmu pengetahuan, lebih dari hanya sekedar untuk menjadi mamalia.
Di sekolah tersebut anak saya justru dibully, karena dianggap tidak pantas bersekolah di sana baik oleh teman-teman maupun guru dan orang tua murid. Mereka hanya melihat tempat kami tinggal, yang dianggap sebagai daerah elite, sehingga menjadi tidak pantas bila bersekolah di sekolah “rakyat biasa” yang kebanyakan adalah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Ini sangat aneh bagi saya, sampai sedemikian rupa kesenjangan ekonomi dan pemisahan jurang yang terjadi, bahkan ketika untuk mencoba belajar berbaur dan hidup bersama pun ditolak sedemikian rupa. Sementara bila kemudian benar-benar dianggap berbeda, pasti marah dan tidak terima, sehingga tidak jelas apa maunya. Menyedihkan, ya?!
Saya pun mengalah, dan anak-anak dipindahkan ke sekolah negeri yang tidak jauh dari tempat mereka sekolah sebelumnya. Sama-sama sekolah negeri tetapi barangkali keadaan ekonomi orang tua di sekolah yang baru ini sedikit lebih di atas dari yang sebelumnya, dan ini terlihat dari besarnya pengeluaran untuk sekolah sehari-hari. Bila biaya-biaya seperti ini, seperti untuk beli kaos karena mau pentas, bayar kursus keyboard plus bukunya yang diwajibkan untuk anak kelas 2SD, biaya untuk ikut pertandingan drumband karena sekolah tidak ada dana, pasti akan sangat berat bagi orang tua di sekolah sebelumnya.
Meskipun sekolah yang mendapatkan "nama harum" dan untuk kepentingan sekolah juga, tapi tetap beban ada di anak didik. Sekolah pun seolah "cuci tangan" tidak mau tahu urusan ini karena berbagai kepentingan. Orang tua murid yang sibuk mengurus semuanya, yang walaupun dianggap "di luar kepentingan sekolah", tetap saja harus ada. Belum lagi termasuk seragam yang jumlahnya melebihi hari sekolah : seragam putih-putih plus rompi, seragam merah putih plus rompi, seragam kebaya dan rok batik, seragam batik dan rok merah, seragam tangan panjang plus kerudung, seragam olahraga, dan seragam pramuka. Coba hitung berapa biaya untuk beli seragam wajib ini?!
Seorang ibu yang anaknya adalah teman sekelas anak saya pernah bercerita, bagaimana dia sedih karena anaknya dibully di sekolah hanya karena dia adalah seorang janda. Anaknya di sekolah dibully “anak janda”, dan itu sama sekali tidak pantas dilakukan. Lagipula, siapa yang mengajarkan anak-anak ini hingga sanggup berkata buruk seperti itu? Lucu sekali bila semua orang tua mengakui betapa pentingnya mendidik akhlak dan iman anak mereka, tetapi fakta dan kenyataan apa yang terjadi justru kebalikannya. Kasihan anak itu sampai tidak berani sekolah jika tidak ditemani oleh anak saya. Untung sekarang anak itu sudah bisa lebih percaya diri dan kenaikan kelas membuatnya lebih nyaman berada di sekolah.
Ada lagi anak yang sampai stress dan takut sekali ke sekolah, karena dianggap bodoh justru oleh wali muridnya sendiri. Agak sulit untuk melawan karena orang tua murid yang lain pun tentunya lebih memilih tidak mengambil tindakan dan mencari selamat untuk anaknya sendiri. Sudah bukan juga sekali dua kali guru tersebut bermasalah dengan anak didik dan orang tua murid, sebelumnya sudah ada dua murid lain yang memilih pindah sekolah karena tidak tahan dengan bully yang dilakukan oleh wali kelasnya sendiri. Lucunya, pihak sekolah tutup mata telinga, dan seolah semua itu tidak terjadi. Mereka yang melaporkan adalah yang salah.
Sementara anak saya pun sudah sering dibully, hanya karena mereka memilih untuk menjadi diri mereka sendiri, bukan ikut-ikutan. Saya memang mengajarkan mereka untuk terus berani menjadi diri mereka sendiri, memiliki kepribadian jauh lebih penting daripada ikut-ikutan orang lain, saya tidak ingin mereka mudah terseret pergaulan yang pada akhirnya akan merusak mereka. Mau orang lain punya uang saku besar dan bawa HP mahal ke sekolah pun, saya tidak peduli, anak saya tetap harus bawa bekal dan HP yang diberikan hanya HP bekas saja, itupun tidak boleh dipakai setiap hari. Tidak ada yang saya berikan karena mereka hanya “minta” tetapi saya akan berikan apa yang mereka butuhkan, karena Allah pun mengajarkan saya demikian. Allah memberikan sesuai apa yang kita butuhkan, bukan selalu yang kita minta.

Saya menjelaskan kepada mereka bahwa mereka tidak perlu takut, tidak perlu keluar sekolah hanya karena orang-orang seperti itu. Justru mereka yang sudah membully dan kasar itu adalah anak-anak yang sesungguhnya lemah dan tidak tahu bagaimana berbuat baik. Saya tidak menyalahkan mereka, tetapi justru kepada siapapun yang sudah membuat mereka menjadi seperti itu. Namun, tidak ada gunanya untuk marah karena akan menjadi sama saja dengan mereka, ada banyak yang lebih penting untuk dilakukan dan dipikirkan dari mereka, lagipula kita harus bisa menjadi lebih baik dan terhormat. Jika pun dijauhi tidak perlu takut, biarkan mereka dengan kaum mereka, sedangkan kita cukup dengan diri kita sendiri dan Allah. Entah mereka sadar atau tidak, berani mengakui atau tidak, mereka sesungguhnya sudah merusak diri mereka sendiri. Mereka hanya mau melihat dan mendengar apa yang mereka mampu, mereka tidak mampu melihat dunia dari segala sisi dan mendengar bahkan ucapan mereka sendiri. Coba rekam ucapan mereka dan minta mereka mendengarkannya, apakah sanggup?! Bukan hanya mereka yang tidak sanggup, bahkan orang tua mereka pun pasti akan menangis. Jadi, biarkan saja, tidak perlu ada yang ditakutkan.
Sengaja saya menuliskan ini semua, saya ingin agar pihak sekolah dan seluruh orang tua murid, juga pemerintah dan masyarakat memperhatikan apa yang sedang terjadi pada anak-anak di sekolah. Ini bukan soal karena terjadi pada anak saya, tetapi juga terjadi di mana-mana dan pada banyak anak di sekolah. Jika kita terus mengingkari, menghindar, dan juga tidak mau mengakui kesalahan itu sudah dibuat dan terjadi, maka kita tidak akan pernah bisa memperbaikinya. Masih jelas dalam ingatan saya ketika kejadian terjadinya pelecehan seksual oleh guru agama di sekolah tersebut, yang juga ditutupi dengan sangat rapat hingga harus meledak dulu baru guru tersebut dipindahkan. Entah juga bagaimana nasib anak-anak di sekolah baru tempat guru tersebut mengajar kembali, apakah harus ada pelecehan seksual baru?! Kasihan nasib anak-anak bangsa ini, lapor ke sekolah pun tak ada tindakan berarti. Harus dipublikasikan dan heboh dulu baru diambil tindakan yang tepat, ya?!
Bandung, 6 Oktober 2018
Salam hangat selalu,
Mariska Lubis
Posted from my blog with SteemPress : https://mariskalubis.com/2018/10/06/kapan-bully-di-sekolah-mampu-dihentikan/

Mariska saya seorang guru sd juga yang ada diaceh, siswa dibuly tergantung ama situasi kelas, kalau kita guru bisa menyenangkan siswa dikelas insya allah gak akan terjadi, disaat pergantian jam usaha kan guru lain masuk baru kita keluar,begitu juga jam istirahat guru piket selalu mengawasi gerak gerik siswa.
Ya, betul sekali, kalau bisa begitu, pasang juga sisi TV di dalam kelas dan di halaman perkelas. menurut saya Bully itu bagian dari pembelajaran mental bersosialisasi, kalau anak yang sensitif kesinggung dengan ucapan yang sedikit menyakitkan juga anak nangis dan lapor ortunya, buat anak-anak tahan mental, dan tahan bantingan.
Susah emang memutuskan rantai per bully an kk,.. Sepertinya sudah turun temurun. Sepertinya kita yg harus membuat anak kita menjadi orang yang kuat, tegar dan tidak perduli..
Semoga didengar dengan pemerintahan, ornagtua, pihak sekolah ya kk..
Setuju mbak..anak saya juga pernah mengalami. Diancam dibunuh padahal baru kelas 2 SD. Alhasil kakak tidak mau sekolah, saya lapor gurunya eh jawabnya santai anak ibu terlalu sensitif...sudahlah. Saya dampingi sampai kakak masuk kelas. Sekarang kakak sudak kelas 3 SMA, Dia masih ingat waktu dibuly temannya. ..Sedih juga kalau ingat. Di rumah anak diajarkan untuk menghargai dan menghormati di luar dibegitukan..maaf jadi curhat ini. 😊
Bu, saya dulu ketika SD juga suka di Bully oleh teman, dan sekarang Jadi Guru, yang membully saya jadi tukang ojeg, kadang Bully itu bagian dari Pembelajaran mental bersosialisasi, dan bisa juga menjadi Mitivasi untuk tegar menghadapi kehidupan, dan penyemangat hidup agar lebih baik.
Benar juga... semoga bully membully berlalu...
Posted using Partiko Android
Apakah Bully telah membudaya di Negri ini? saya juga heran, baru tadi pagi, di kelas saya juga ada yang nangis, kata temannya di Bully oleh teman sebangkunya, padahal baru di tinggal sebentar ke Kantor, setelah saya menjelaskan Cara membuat "Kalimat Pujian", kata KM nya " Richi memberikan pujian yang kelewat batas, sehingga Trio menangis" Pak.
Kemudian saya pun menjelaskan , pujian yang di ulang-ulang, atau caci-maki adalah Bully, dan Bully itu hukumnya " Tidak boleh atau Haram".
Seharusnya di era seperti sekarang, tradisi bully harus di lenyapkan, karena hal tersebut bisa melumpuhkan mental anak yang menjadi korban bully. Pihak sekolahpun seharusnya mengambil sikap tegas, bagi siswanya yang melakukan aksi bully.
Selamat malam kakak
Sebelumnya saya turut prihatin pada kejadian yang terjadi pada anak kakak @mariska.lubis
Emang tragis negri ini, sulit mencari solusi ataukah kita harus selalu melihat begiru saja.
Saya pikir pemerintah terlalu tak acuh untuk memproses hal ini.
Mereka terlalu lalai tanpa pura-pura tal mengerti.
Dan satu hal lagi, pelaku Bully pasti berawal dari satu didikan,dan orang tua jadi pertanyaan atas didikan yang terjadi teradap anaknya.
Terimakasih kakak
Salam hangat dan sehat selalu amin....
I upvoted your post.
Keep steeming for a better tomorrow.
@Acknowledgement - God Bless
Posted using https://Steeming.com condenser site.
Hal ini banyak terjadi kak, saya sempat 3 tahun mengajar di SD. Cuma, karena mungkin di kampung maka objek bully lebih kepada anak yang penakut dan dari keluarga miskin. Cuma hal ini tentu saja tidak kami biarkan atau tutup telinga seperti yang kakak bilang diatas. Justru kami kerap kualahan menghadapi orang tu anak yang nakal tadi. Ada lucunya juga ternyata si anak sedikitnya ikut peragui orang tua. Ini yang terjadi disini kak :)
Memang sangat di sayangkan, siapakah yang bersalah dalam hal ini? saya sendiri pun bingung.
semoga kedepan bisa lenyap budaya buli ini
Salam @mariska.lubis. saya sangat prihatin membaca postingan anda. Bully yang saya pahami dalam teks diatas cendrung kepada rasisme. Semestinya pihak sekolah tahu masalah yang dihadapi anak-anak anda, dan mencari solusi untuk kenyamanan seluruh warga belajar di sekolah tersebut. Paling kurang bisa mempersempit ruang untuk terjadi hal serupa dikemudian hari. Shabar mba ya