Antara Langit dan Bumi |5
Sebagai anak rantau, hidup dengan cara makan di warung, membayar ongkos cuci pakaian dan setrika, seluruh gaji nyaris tandas bahkan sebelum awal bulan berikutnya.
Ah, pengabdian harus dilakukan sesegera mungkin. “Besar pun gajiku, kalau ibu tak bisa menikmatinya, sama saja. Itu hampa. Pengabdian ini harus segera dimulai.”
Sebelum makan siang, Apridar singgah ke warung telekomunikasi. Wartel, nama populer penyedia jasa telepon swasta dan berbayar itu. Irwandar sudah memasang sambungan telepon ke rumah mereka di Lhokseumawe.
Meski keputusannya telah bulat, berbulan-bulan dia memikirkan untung-ruginya mengundurkan diri dari Panamas, namun sebelum mendapatkan “fatwa” dari sang ibu, rasanya keputusannya itu belum sahih.
Di seberang telepon terdengar suara wanita yang ceria, namun sedikit berat, seperti orang terkena flu. Sedikit sengau. Apridar tahu pasti Emaknya sedang kurang enak badan. Tak perlu ditanya, pasti sang ibu akan menjawab dia baik-baik saja, sehat wal afiat.
Begitulah Emaknya selalu berusaha menyembunyikan kondisi kesehatannya pada seluruh putranya.
“Apa yakin kamu ingin mundur Nak? Bukankah pekerjaanmu di sana gajinya lumayan?” terdengar suara di ujung telepon.
“Yakin Mak. Tapi, tergantung bagaimana kata Mamak juga. Saya ikut saja. Menurut Mamak bagaimana?”
“Yakin itu jangan ragu-ragu. Kamu masih agak ragu Nak. Pastikan apa pun yang kamu putuskan lakukan. Jangan ragu sedikit pun dibenakmu. Apa pun kejadiannya jangan sesali, janganlah menjadi penyesal sepanjang umurmu.”
Kalimat tegas itu menandakan sang ibu mendukung langkahnya. “Satu lagi, yakinlah rezeki tak hanya di Banda Aceh. Atas izin Allah kau akan mendapatkan pekerjaan mu juga di Lhokseumawe,” tegasnya.
I have never seen such a great post. Made a lot of great posts. Thank you
I have never seen
Such a great post. Made a lot
Of great posts. Thank you
- akikur100
I'm a bot. I detect haiku.