Cinta yang Hilang | The Lost in Love =14=
MALAM semakin larut. Jarum menujukkan angka satu dini hari. Suara jangkrik terdengar semakin nyaring. Memekakkan telinga. Aku terbaring di kasur yang seolah-olah terasa lebih luas dibanding biasanya. Biasa, Madewa tidur di tengah-tengah kami, menggeliat, kaki dan tangannya sesekali diletakkan di perut atau wajahku.
Malam ini, aku tak merasakan kaki Madewa. Tak mendengar jerit tangis saat Madewa terjaga karena haus. Malam ini begitu sunyi. Kucoba memejamkan mata. Namun kantuk tak kunjung tiba.
Banyangan Madewa, Anita dan Rosi melintas silih berganti. Bayang-bayang masa lalu, ketika aku menunggu kelahiran Madewa melintas di ingatan. Senyumnya dan tawanya selalu membahagiakan aku. Aku ingin Madewa nyaman dan bahagia hidup bersamaku dan Anita. Aku ingin dia menjadi dokter yang hebat kelak. Membantu mengobati pasien miskin dengan biaya super murah. Seluruh keperluannya telah kupersiapkan sejak dini. Aku telah mendaftarkannya ke asuransi jiwa dan pendidikan.
Aku sadar jika dia masuk fakultas kedokteran tentu butuh biaya besar. Sejak dini aku mempersiapkan biaya pendidikannya. Aku rela tak membeli baju baru. Terpenting seluruh kebutuhan Madewa dan ibunya terpenuhi.
Suara handphone berdering nyaring memecah kesunyian malam. Aku agak malas bangun dari tempat tidur. Namun, suara handphone itu menjerit sekeras-kerasnya.
Kubergegas, bagun dari tempat tidur dan mengambil handphone yang kuletakkan di depan televisi. Ah, mana tahu ada telepon penting.
Kulihat nama Rosi tertera di layar handphone. Ah buat apa dia menelpon semalam ini. Apakah dia tidak takut yang mengangkat telepon istriku. Atau jangan-jangan dia sengaja menelpon dinihari untuk berbicara dengan Anita. Dia tahu, jika aku sudah tidur, aku terbangun. Jika sudah tidur, walau ada gempa 6,7 skala richter pun aku tetap tidak bangun. Aku selalu tidur dengan pulas, menikmati mimpi yang menyapa hingga pagi tiba.
“Halo...Ada apa, kok telepon malam-malam?”
“ Hai, kamu belum tidur. Suaramu terdengar serak. Kenapa, kamu sakit?”
“Ah...itulah orang Indonesia. Ditanya malah balik nanya. Aku sehat, kenapa telepon malam-malam begini. Ini sudah jam 01.00 WIB tahu?”
“ Ah...tenang. Kamu takut ya kalau yang angkat telepon istrimu dan dia tahu hubungan kita hahahah.”
“Sialan. Dia pulang ke rumah mertua setelah membaca SMS darimu.”
“Iya, aku tadi ketemu Zaki. Dia cerita kalau istrimu pergi dari rumah. Dia bilang kalian ribut. Tapi, Zaki ndak cerita penyebabnya. Makanya aku berani menelpon kamu malam-malam begini. Maaf, aku telah merusak keluargamu.”
“Ah, sudahlah. Sudah kejadian, tak perlu disesali. Sekarang bagaimana caranya aku membujuk Anita pulang ke rumah secepat mungkin.”
“Apa perlu aku menelponnya. Menjelaskan bahwa kita tak ada hubungan apa pun. Ya, meski pun kita sudah pernah mereguk nikmat dunia, tidur bersama dan melakukan hal-hal yang diinginkan bersama hahaha.”
“Tak usahlah. Biar aku selesaikan masalahku.”
“Oya satu lagi, jangan lupa datang ke pernikahanku. Kau udah terima undangannya kan?”
“Sudah tadi siang. Kok tak pernah cerita?”
“Ya, buat apa cerita. Toh ndak ngaruh dengan sikapmu. Aku tahu kamu ingin mempertahankan keluargamu. Aku juga tak mungkin hidup begini terus, tanpa ikatan dengan lelaki mana pun dan bercinta denganmu yang tak pernah bisa kumiliki seutuhnya. Ya sudah Andy. Selamat tidur. Kutunggu di pestaku tut tut tut.” Terdengar suara handphone terputus.
Aku merasa berdosa pada Anita. Aku ingat, saat janji nikah kuucapkan di depan penghulu dan orangtuanya, aku berjanji tak akan menyakitinya. Tak akan membuatnya kecewa lebih-lebih membuatnya menangis. Aku bahkan berjanji dialah wanita satu-satunya dalam hidupku.
Kini, dia telah pergi. Aku tak tahu jurus apa yang kugunakan untuk membujuknya kembali ke rumah ini. Entahlah. Tuhan telah menentukan takdir. Aku hanya bisa berusaha, Tuhan yang menentukan segalanya.
Sudah seminggu Anita pergi dari rumah. Setiap hari aku mengirimkan SMS menanyakan kondisi Madewa. Aku merasa tak nyaman. Semalam aku bermimpi Madewa terjatuh dari tempat tidur. Biasanya, jika mimpi begitu, Madewa pasti demam atau kena flu.
Namun, SMS-ku tak pernah dibalas. Kutelepon tak pernah diangkat. Sehari aku mengirimkan SMS tujuh atau delapan kali. Isinya menanyakan Madewa, meminta Anita pulang, minta maaf, mengaku salah, dan berjanji tak mengulangi lagi.
Aku ingin Anita pulang ke rumah secepatnya. Seminggu tak bertemu Madewa hidupku semakin kacau. Aku mendapat surat peringatan pertama dari kantor karena selalu telat selesai menulis berita. Bahkan, berita yang kuhasilkan tak berkualitas.
Semangat kerjaku hilang. Pikiranku kacau. Sudah lima hari aku tak pulang ke rumah. Aku menginap di kantor. Jika pulang ke rumah aku tak bisa tidur. Aku teringat tawa dan tangis Madewa. Jika di kantor, aku bergadang semalaman bersama karyawan yang bertugas mencetak koran. Setelah mengantuk berat aku baru tidur dan bangun pukul 09.00 WIB. Hidupku sangat kacau.
Hari ini, pernikahan Rosi. Kuajak Romi teman kantor untuk menghadiri pernikahannya. Aku tak pede hadir sendiri ke acara pernikahan itu. Pasti teman-teman kuliah dulu hadir ke pernikahan itu. Aku tak siap jadi bahan ledekan mereka.
Pernikahan itu digelar di aula salah satu hotel bintang tiga di kota ini. Halaman hotel penuh papan bunga tertulis nama Rosi dan suaminya. Di bagian depan terlihat dua penerima tamu. Karpet hotel dirubah menjadi warna merah darah. Alas meja, sarung kursi dan seluruh perhiasan gedung juga berwarna merah darah. Warna favorit Rosi.
“Silahkan masuk. Lurus lalu belok ke kiri,” ujar wanita penerima tamu mempersilahkanku dan Romi. Beberapa teman kuliah dulu terlihat gobrol di lobi hotel. Tangan mereka memegang gelas berisi es krem, menu penutup acara pernikahan ini.
“Hai Andy. Kamu datang juga. Kupikir karena Rosi mantan pacarmu kamu tak datang,?” Wilda menyambutku. Mengulurkan tangan dan bersalaman.
Teman-teman lainnya yang hadir ada Abdul, Keysa, Rista dan lainnya.
“ Ya, mantan pacar yang tak dianggap,” timpal Abdul mengecilkan volume suaranya. Lalu, tawa pun pecah diantara kami.
“Ya ya ya. Ya sudahlah. Aku sudah datang. Tak masalah kan. Sekarang aku ucapkan selamat dulu buat Rosi, makan lalu pulang,” jawabku sambil tersenyum.
“Jangan sampai nangis bos. Takdir berkata lain hahaha,” timpal Abdul lagi sembari tertawa.
Kutinggalkan mereka dan menuju lokasi pelaminan, berjejer mengantre dengan tamu lainnya untuk menyalami Rosi dan suaminya. Seakan-akan seluruh mata tertuju padaku. Aku merasa semua orang mengetahui hubunganku dengan Rosi. Tanganku dingin. Agak kikuk berada di deretan ini. Perlahan aku semakin dekat dengan Rosi. Kulihat dia tersenyum bahagia, begitu juga dengan suaminya.
Jantungku berdetak kencang. Rasa cemburu menyelinap di jiwa ketika melihat Rosi dan suaminya tersenyum sesekali tertawa sambil menyalami tamu lainnya.
Kini, giliranku tiba. Rosi mengedipkan matanya. Menatap tajam ke arahku.
“Selamat ya, semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah,” kataku sambil menyalaminya.
Rosi tersenyum manis. Lesung pipinya membuat lengkungan di tengah pipi. Sembari salaman, jari tangan kanan tengahnya menggelitik telapak tanganku.
Aku buru-buru melepaskan salaman itu. Khawatir suaminya curiga, dan mengetahui bahwa kami bukan teman biasa. Aku dan Rosi memiliki rasa cinta, ya cinta abu-abu. Tak jelas apakah cinta itu suci bertujuan memiliki selamanya atau tidak.
“Selamat ya kawan. Kamu menemukan istri yang baik. Kamu beruntung jadi suaminya. Dia orang baik, jaga dia dan jangan kecewakan dia,” ujarku sambil menyalami suami Rosi.
“Iya kawan. Terima kasih. Aku pasti menjaga Rosi sebaik-baiknya,” jawab suaminya sambil mengerling ke arah Rosi.
Aku pun berlalu menuju deretan makanan. Mengambil nasi putih, daging sapi rendang, sayur nangka diberi santan, sambal, dan kerupuk. Lalu bergabung dengan teman-teman kuliah lainnya yang turut hadir ke acara itu.
Aku terus melihat Rosi dan suaminya. Sesekali Rosi melihat ke arahku dengan ujung matanya. Mengedipkan mata lalu tersenyum. Ah, apakah dia masih mencintaiku. Tatapan nakalnya selalu menggodaku untuk memeluknya. Mengecup bibirnya dan membela rambutnya.
Ah,tidak. Sekarang kamu sudah milik orang lain Rosi. Aku tak akan menghubungimu lagi. Biarlah kamu menikmati cinta dan hidupmu bersama suamimu.
Aku bergegas meninggalkan ruangan itu. Mengangguk hormat ke arah suami Rosi. Melambaikan tangan tanda pamit pulang.
“Terima kasih ya, aku senang kamu datang.” SMS itu masuk ke handphoneku saat aku berada di tempat parkir hotel itu.
“Sama-sama Rosi. Selamat, semoga menikmati malam pertama dengan indah hehehe,” balasku.
penuh karya, enak pula, palak kita ndak bisa seperti dirimu, ya udahlah daku nikmati karya mu saja hehe.
hahaha, kalau kata kaka @mariskalubis itu mah pura pura palak haha
Hahahaahhahahahaha
Malam makin larut, tapi mata Anita masih sebening mata dewa. Tatapannya menembus dinding kamar, menembus pohon-pohon di halaman, menembus jarak dan rumah tempat Andy yang sedang terlelap tidur.
Anita mengalihkan pandangnya, menatap Madewa, sang bayang ayah yang mengecewakan. Anita menarik nafas dan dengan segenap cinta ia menelusuri setiap lekuk mata, kening, hidung, dan bibir Madewa.
"Kau persis ayahmu, neuk..." bisik Anita seraya membawa segenap kenangan cinta ke dalam jiwanya yang sedang terluka. Ia berharap, perih hatinya sirna, dan berharap bisa membalas sms suaminya.
Bersambung....
Punya kekasih berhati dua... judulnya begitu yah? Hahaha repot!
Tuh kan, tulisannya memang keren... bahu miring nggak apa-apa daripada lurus tapi miring... wkwkwkk....
hahaha repot bagi yang repot, santai bagi yang hobi