Masa Depan Sastra Koran
Oleh: MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIL | @musismail
Tulisan ini adalah pemancing diskusi Seminar Sastra Banjarbaru Rainy Day's Festival 2018 di Banjarbaru, 30 November-2 Desember 2018.
SAYA memulai tulisan singkat ini dengan sebuah pertanyaan klasik dan sudah sering dibicarakan: benarkah sastra koran kini mengalami senjakala? Benar, media cetak terus mengalami penurunan, baik dari sisi oplah (jumlah cetak) maupun dari iklan. Sejumlah media telah gulung tikar, di dalam maupun di luar negeri. Itu terjadi sejak beberapa tahun lalu.
Suratkabar Tribune Co, Amerika Serikat, misalnya sudah gulung tikar sejak Desember 2008. Koran dengan oplah besar di dunia seperti The New York Times ikut turun oplahnya dan mereka terus memperkuat versi online. Adapun majalah Newsweek benar-benar tutup pada akhir 2012. Mereka pun memilih terbit lewat online. Di Indonesia, sejumlah media cetak di Indoneia juga sudah tutup – terbaru adalah Tabloid Bola .
Tutupnya Bola adalah lanjutan dari likuidasi media milik kelompok Kompas-Gramedia. Sebelumnya, mereka telah lebih dulu menutup sejumlah medianya, Kawanku, Sinyal, Chip, Chip Foto Video, What Hi Fi, Auto Expert, Car and Turning Guide, dan Motor. Sejumlah kelompok media juga telah menutup biro-bironya atau kantor cabangnya di daerah – sehingga operasional langsung ditangani kantor pusatnya di Jakarta.
Namun, CEO New York Times Mark Thompson, yakin bahwa media cetak akan tetap bertahan hingga 10 tahun. Ia mengatakan begini: Saya percaya kita akan tetap bisa menemukan produk cetak kami di Amerika Serikat (AS) dalam 10 tahun ke depan. Koran itu pun terus mengembangkan bisnis koran digital. Awal tahun ini, mereka mengumumkan 157.000 pelanggan baru untuk versi digital (online).
Ini sejalan dengan riset AC Nielsen pada kuartal ketiga tahun lalu, 2017. Mereka melakukan survei di 11 kota dengan 17 ribu responden. Hasil riset itu mendapatkan kesimpulan bahwa media cetak hingga kini masih lebih dipercaya sehingga masih tetap dibaca. Jadi umurnya belum tamat. Media cetak masih memiliki penetrasi 8 persen dan dibaca 4,5 juta orang, 83 persen di antaranya pembaca koran.
Jumlah pembaca di atas memang turun drastis. Pada 2013, jumlah pembaca media cetak mencapai 9,5 juta orang. Adapun jumlah pembaca media online (digital) menurut data Nielsen pada tahun lalu adalah 6 juta orang dengan penetrasi 11 persen. Sementara pembaca yang membaca media cetak sekaligus media online cuma 1,1 juta orang. Itu riset pada akhir 2017, kini tentu angka-angka itu telah berubah.
Data-data di atas tentu saja berkorelasi dengan “masa depan” sastra koran. Meskipun tidak ada yang bisa menjamin bahwa meskipun koran tetap hidup namun rubrik sastra akan tetap ada. Sejumlah koran yang tadinya ada rubrik sastra, terbukti kemudian tidak lagi hadir. Salah satunya adalah halaman puisi di Harian Indopos, Jakarta (Jawa Pos Group) yang dikuratori oleh Sutardji Calzoum Bachri, sejak sekitar setahun lalu tidak ada.
Tetapi setidak-tidaknya, sejumlah media lain seperti Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, dan koran-koran yang terbit di daerah hingga kini masih mempertahankan rubrik sastra. Jika benar seperti dikatakan oleh CEO New York Times Mark Thompson bahwa media cetak setidaknya masih akan terbit hingga 10 tahun ke depan, maka selama itu para penulis sastra akan mendapat tempat ruang di koran.
Mungkin sebagian penyair “milenial” mempertanyakan apa pentingnya koran di tengah perayaan teknologi digital. Karya-karya sastra (puisi, cerpen maupun novel) begitu lahir langsung bisa menemui pembaca. Tidak perlu menunggu esok, apalagi seminggu hingga berbulan-bulan untuk bisa muncul di koran – itu pun jika lolos dari tangan editor sastra. Jika tak lolos, artinya karya itu “wassalam”.
Nah, di situlah persoalannya. Pertama, koran punya karakter berbeda dengan media online dan media sosial. Sebuah karya yang terbit di koran harus melalui sebuah saluran “seleksi” atau kurasi. Sebagian online, yang punya rubrik sastra (sebut saja detik.com), maupun media online yang berfokus pada sastra (salah satunya litera.co.id) juga mempunyai sistem kurasi. Bahkan, litera tiap tahun memilih karya terbaik untuk diberi penghargaan.
Namun persoalannya, belum banyak media online yang menyediakan rubrik sastra. Menurut data Dewan Pers, setidaknya ada 43 ribu media online di Indonesia namun sangat sedikit yang mempunyai rubrik sastra (puisi, cerpen maupun cerita bersambung atau novel). Memang belum ditemukan riset yang valid tentang ini. Tapi secara kasat mata, media-media online yang populer tidak mempunyai rubrik sastra.
Dengan demikian, sesungguhnya, masa depan sastra di media massa agak terancam. Jika koran menghilang nanti tidak ada banyak media online yang menggantikan. Meskipun boleh jadi nanti koran-koran yang beralih ke digital tetap mempertahankan rubrik sastra (puisi, cerpen dan novel). Namun, semua itu masih dalam tahap “mungkin”, belum menjadi fakta yang nyata. Sehingga menjadi beralasan kita mencemaskan kondisi ini.
Sistem seleksi pada media-media yang dikelola secara profesional, dengan tak melupakan plus-minusnya, sangat membantu para penulis sastra untuk terus memperkuat kapasitasnya dan mengelola pengetahuan serta keterampilan menulisnya. Sistem seleksi dan kurasi menciptakan kompetisi dan itu sangat positif untuk menciptakan iklim kompetitif dalam dunia sastra. Tanpa kompetisi yang sehat sulit rasanya bagi seseorang untuk berkembang.
Nah, karakter inilah yang tidak dipunyai oleh media sosial – Twitter, Facebook, Instagram, hingga blog pribadi dan grup-grup WhatsApp. Media-media sosial itu tidak mempunyai sistem seleksi, sehingga siapa saja bisa memposting apa saja. Di media sosial tidak ada penjaga standar estetika sebuah karya sebagai dipunyai oleh media yang mempunyai sistem seleksi atau kurasi. Apresiasi yang diberikan oleh para pembaca di media sosial tidak menjamin berangkat dari pengetahuan dan kejujuran.
Kita atau siapa pun bisa dengan mudah mengklik tombol like atau memberi komentar “keren, bagus, cakep, dan sejenisnya” kepada karya-karya teman medsos tanpa perlu membaca dengan seksama. Bahkan tak perlu membaca sama sekali. Sebab, karakter media sosial memang dibikin untuk pergaulan: akrab, renyah, dan asyik-asyikan. Meskipun bukan berarti media sosial tidak digunakan secara lebih serius dan produktif.
Boleh jadi statemen semacam ini akan kembali mengundang debat: apakah dengan begitu tidak ada karya bagus hadir di media sosial? Sebenarnya, persoalannya bukan di situ. Pokok bahasan kita bukan tidak ada karya bagus di media sosial. Siapa pun tidak bisa menghakimi bahwa media sosial hanya memproduksi “sampah estetik”. Sebab, memang ada karya-karya bagus diposting di sana.
Pokok persoalannya adalah media sosial tidak mempunyai sistem kurasi, sehingga tidak mendorong orang untuk berkompetisi secara positif. Apalagi, kita tidak punya orang yang secara serius menempatkan diri sebagai pengamat sastra maupun kritikus. Sebagian pengamat lebih berperan sebagai “kritikus pesanan” --- yang membuat analisis sastra karena dipesan untuk pengantar buku, peluncuran buku, hingga diskusi dan seminar.
Maka itu sekarang peran pengamat dan “kritikus” dalam pengertian yang “agak disederhanakan” diambil alih oleh editor sastra atau kurator sastra di koran (juga majalah) dan penerbit. Merekalah yang menentukan “hitam-putihnya” atau arus estetika sastra Indonesia. Celakanya, tidak semua editor mempunyai kapasitas yang cukup untuk menilai karya sastra. Sehingga kita menemukan anomali-anomali di rubrik sastra.
Saya beberapa kali mendengar “celutukan” benarkah para editor budaya di koran bersikap jujur dan terbuka. Sebagian penulis – terutama penulis pemula – mencurigai ada editor sastra yang kerap hanya memuat orang-orang yang dikenalnya. Saya berkali-kali membantah anggapan seamacam itu dengan mengatakan bahwa ketika menyeleksi karya yang dilihat hanya karya, bukan nama. Namun tentu saja tidak selalu bisa ideal.
Para editor koran menerima ratusan puisi tiap pekan dan puluhan cerpen. Mereka pun membaca satu persatu karya itu dengan seksama untuk menemukan karya yang layak dimuat di koran tersebut. Ternyata, mendapat karya yang sesuai kriteria --- setidaknya yang ditetapkan oleh masing-masing media – tidak mudah. Terkadang, para editor media baru mendapatkan karya yang sesuai kriteria media itu kurang dari 12 jam dari deadline cetak.
Maka itu, tak heran ada karya yang baru dikirim sehari-dua hari sebelumnya langsung dimuat. Itu pun belum menjamin bahwa karya yang dimuat itu benar-benar yang “super”. Sebab, bisa jadi hanya karya itu yang terbaik pada pekan tersebut. Namun, terkadang ada media yang terpaksa tidak memuat karya (puisi misalnya) karena tidak ada yang cocok dengan kriteria yang ditetapkan media itu. Itulah cara koran untuk mengawal mutu karya.
Nah, sekali lagi, ini tidak terjadi di media sosial dan sedikit pula di media online. Jadi, senjakala koran sesungguhnya bisa berarti pula senjakala untuk sastrakoran, bahkan senjakala sastra. Bukan senjakala untuk produksi karya sastra, tapi senjakala bagi terkawalnya standar estetika dan kompetisi yang positif. Sementara karya sastra akan terus diproduksi, bahkan berlimpah, tapi tidak ada yang bisa mengawal standar estetikanya.
Jakarta, November 2018
*) MUSTAFA ISMAIL lahir di Aceh pada 1971. Berlatar pendidikan manajemen (S1) dan seni (S2 –Institut Kesenian Jakarta). Menulis cerpen, puisi, dan esai. Buku puisiya “Tarian Cermin” (2007), “Tuhan, Kunang-kunang & 45 Kesunyian” (2016). Buku cerpen “Cemin” (2009) dan “Lelaki yang Ditelan Gerimis” (2009). Sehari-hari bekerja sebagai editor budaya di Koran Tempo.
Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/masa-depan-sastra-koran/