Pengadilan Hingga Majalah Bekas | #ProsesKreatifMI 5

in #indonesia6 years ago


Masa-masa itu sangat menggairahkan. Kami berlomba menulis dan mengirim puisi ke berbagai media. Tak hanya di koran Aceh, seperti Serambi Indonesia, Atjeh Post dan Peristiwa, juga di koran-koran Medan seperti Waspada, Analisa, Persada dan lain-lain, hingga koran Jakarta. Bahkan tanpa berifikir honor, yang penting karya dimuat. Kami seperti sibuk mengejar eksistensi -- meski tentu saja itu tak salah.(html comment removed: more)

Sebuah puisi saya berjudul Puisi muncul di Media Indonesia edisi Minggu, 19 Mei 1991.
Bunyinya: “Aku tak tahu bagaimana harus berbicara kelahirannya/Aku tidak tahu kapan ia lahir tetapi tiba-tiba sudah lahir/Atau barangkali aku lupa tetapi sama sekali tidak lupa/Atau barangkali aku bermimpi tapi sama sekali tidak bermimpi....” dan seterusnya.

Empat puisi saya juga muncul di rubrik sastra Swadesi yang diasuh penyair Diah Hadaning. Ini salah satunya:
Matahari-Matahari

ingin kukunyah dagingmu matahari
saat kamar sunyi. Dan orang-orang sibuk
dalam pelayarannya
di laut. Menjaring tubuhmu matahari
sampai matanya pun buta
pada bocah-bocah telanjang di tepi pantai
Menangisi cahayamu matahari.

Pemuatan itu membuat saya makin bersemangat dan merasa makin diakui sebagai penulis puisi. Saya sangat giat belajar dan membaca. Membaca buku-buku, mulai dari buku sosial, budaya, filsafat, hingga politik. Mulai dari cara nulis puisi, cerpen, novel hingga teori sastra. “Seniman itu harus banyak baca, termasuk filsafat,” kira-kira begitu kata Penyair Din Saja.

Saya calon mahasiswa sastra yang gagal. Setelah tamat SMEA, saya ingin kuliah di fakultas sastra di sebuah universitas negeri di luar Aceh, tapi tidak bisa mendaftar karena saya dari SMEA dan hanya bisa mendaftar ke fakultas ekonomi. Tidak lulus di kampus negeri, saya masuk STIEI di Jurusan Manajemen Keuangan dan Perbankan.

Saking gilanya pada bacaan, saat-saat tidak kuliah atau seusai kuliah saya menenggelamkan diri di Perpustakaan Daerah di kawasan Lamnyong, Banda Aceh. Berjam-jam hingga perpustakaan tutup, lalu saya meminjam beberapa buku untuk saya baca di rumah. Saya dan teman-teman juga membaca majalah Tempo yang kami beli seminggu setelah masa edarnya habis dengan harga majalah bekas.

Untuk koran Jakarta seperti Kompas dan Media Indonesia kami berlangganan secara patungan di kos-kosan. Adapun Republika, yang rubrik sastra dipegang Ahmadun Yosi Herfanda, kami beli tiap terbitan hari Minggu. Kami membaca dan mengikuti dengan seksama puisi-puisi dan cerpen yang muncul di koran-koran Jakarta.

Acara-acara baca puisi dan pengadilan puisi juga marak. Saya pernah membaca puisi secara khusus bersama J Kamal Farza dalam tajuk “Dua Warna” di Taman Budaya Aceh yang kala itu dikepalai Sudjiman A Musa. Puisi-puisi kami dibahas penyair M. Nurgani Asyik. Saya membaca puisi seperti kesetanan alias kesurupan, sampai jatuh dan jungkir balik di lantai. Adapun Kamal membaca puisi dengan kalem dan santai.

Suatu kali, sore-sore pada 1995, saat duduk-duduk di sekitar Kantin Seniman di Taman Budaya, Din Saja datang membawa koran Republika yang baru dibelinya di pusat kota Banda Aceh. Kami menemukan sajak-sajak seorang penyair perempuan yang baru lulus SMA. Din “meledek” saya kalah dengan penyair itu. Tapi hanya menanggapi santai.

Puisi penyair muda itu memang bagus. Beberapa sastrawan nasional memuji puisinya. Ingin juga bertemu dengannya. Dari nama belakangnya saya menduga ia anak atau kerabat dari seorang penyair nasional. Namun saya sadar bahwa tidak mudah untuk menembus media-media Jakarta. Tapi ledekan Din cukup membuat saya terlecut.

Saya terus mengirim cerpen ke Kompas dan puisi serta cerpen ke Republika. Saat itu, Kompas tidak memiliki rubrik puisi, hanya ada cerpen. Tidak pernah putus ada. Saya selalu meniatkan membikin cerpen untuk media Jakarta. Kalau tidak dimuat di sana baru saya kirimkan ke media lain.

Buat saya, media adalah ruang untuk pertarungan. Arena kompetisi. Dengan tidak dimuat, berarti karya saya belum la-yak tampil di sana. Karena itu, saya masih harus banyak belajar dan membaca. Saya membaca cerpen-cerpen dan puisi-puisi yang muncul di media itu dan mempelajari bagaimana sang penulis menuliskannya.

Banyaknya bacaan itu membuat saya tak hanya menulis puisi, juga cerpen, hingga esai, kritik sastra, kritik seni, dan opini sosial-politik. Jadi penulis gado-gado. Saya juga aktif di LSM. Bersama penyair J Kamal Farza, kami mengelola Forum Kajian Sosial dan Demokrasi (FKSD) hingga Yayasan Anak Bangsa. Juga Yayasan Kipas Angin, sebuah lembaga “imajinatif” untuk kami tabalkan di belakang nama kami saat menulis di koran. ***


Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/pengadilan-hingga-majalah-bekas-proseskreatifmi-5/

Sort:  

Kita memiliki pengalaman yang hampir mirip Bg, soal bagaimana mengisi waktu untuk ke Puswil, Lamyong.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63103.76
ETH 2556.80
USDT 1.00
SBD 2.82