Rumah Dekat Laut
ilustrasi: pixabay.com
rumah yang kau datangi itu, yang menulis riwayatku,
riwayat kata-kata, pagi itu salah satu dindingnya ambruk juga:
kerlap-kerlip alue dama seperti kunang-kunang beterbangan ke udara
suara ombak mirip ledakan petasan
menyeruak di tubir malam, sebelum matahari terbangun dari lelapnya,
sebelum burung melintas di jendela dan memamerkan kicaunya:
aku adalah perempuan tua yang kesepian
ditinggal anak-anak yang merantau ke kota.
beberapa dinding lain seperti tubuh kita yang makin rapuh
meninggalkan jejak-jejak renta dan rebah pada takdir senja
buku-buku telah tertutup meski belum selesai kita baca
kereta, yang dulu melintas dengan riangnya, relnya telah tiada
ia mati bunuh diri meski mereka ramai-ramai menyelematkannya
ia berganti suara tangis atau jerit sakit dari tepi pantai
dulu, di belakang rumahmu ada jalan membelah laut
tiap sore kita bersepeda ke Malaya – katamu.
Sontak aku membayangkan sepeda kumbang dengan
raga di kiri-kanan, pergi menembus kabut pagi dan pulang
menantang angin malam --- juga bau mesiu yang baru diletuskan.
kau menghabiskan malam menyiangi ikan-ikan basah,
menggarami, lalu menjemurnya di atas bleuet di depan rumah
seperti meninabobokan bocah perempuanmu dengan syair doda-idi
segalanya harus berarti, tak satu pun boleh sia-sia
arah angin bukan nasib, waktu bukan takdir -- katamu.
Aku mengirim sepotong ayat paling sejuk kepadamu, abusyik,
yang lelap di bawah rerimbunan pohon sambil membayangkan
suatu masa: seorang bocah kecil tergila-gila pada senja.
padahal senja adalah ruang kematian, tempat orang-orang
melepaskan birahi malam dan pelatuk senapan
kita terkurung di rumah-rumah dengan jantung berdebar.
tidak ada yang lebih jahanam selain malam-malam
yang meneteskan darah perempuan – entah kata siapa.
abu, sungguh aku sangat ingin punya sepeda sendiri
melintasi jalan berbatu hingga Meureudu dan kembali ketika hari
di ambang petang, dan umi menyambutku dengan tali timba di tangan.
aku juga ingin punya adik meski harus menunda bermain layangan
karena harus mengayunnya sampai ia lelap ketika kau di sumur
melahap baju-baju di ember cucian.
laut akan terus bergolak dan air memerah
ketika orang-orang menyimpan api di ruang kaca – katamu.
Rumah itu menyimpan foto-foto tua abu, umi, abusyik, dan mutia,
di dinding yang sangat samar – setelah amarah laut ikut menggayut
dan derak gempa memagut.
kata-kata, yang huruf-hurufnya makin berantakan,
masih terlihat di dinding, yang diterjang jelaga dan kusam
dari situlah aku berangkat, dan, lalu tersesat.
Jakarta, 2017/2020
MUSTAFA ISMAIL