Dilema Melegalkan Pertambangan Ilegal di Aceh

in #esteem7 years ago

image
*M. Nasir Kadiv Advokasi & Kampanye WALHI Aceh

"Legalkan sumur minyak jadi tambang rakyat” judul salah satu kolom berita harian cetak di Aceh tanggal 28/4/2018, menarik untuk didiskusikan. Berita tersebut merupakan respon DPRA terkait terbakar sumur minyak di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Rantau Peureulak, Aceh Timur, pada 25/4/2018 lalu yang mengakibatkan 22 orang meninggal dan puluhan lainnya luka berat. Dalam berita itu disampaikan bahwa Ketua Komisi II DPRA, Nuruzahri, ST, telah mengusulkan kepada Gubernur Aceh dalam sebuah sidang paripurna di DPRA agar kawasan Ranto Peureulak dijadikan kawasan pertambangan rakyat. Nuruzahri juga menyampaikan bahwa dalam waktu dekat akan memanggil BP-Migas Aceh, Dinas ESDM Aceh dan Pemkab Aceh Timur untuk mencari solusi.

Tentu ini menjadi kabar gembira bagi sebagian masyarakat di Aceh Timur yang selama ini mengelola sumur minyak di Rantau Pereulak. Jika keinginan di atas dikabulkan oleh Gubernur Aceh dan berhasil dilaksanakan, tentu tidak terlepas dari jasa para korban yang musibah dalam bencana kebakaran sumur minyak di Gampong Pasir Putih, innalillahiwainnailaihirajiun

Pertambangan Ilegal di Aceh

Berdasarkan telusuran WALHI Aceh, setidaknya pertambangan ilegal di Aceh ada ditiga sektor, yaitu pertambangan pasir dan batuan (galian C), pertambangan emas, serta pertambangan minyak mentah. Pertambangan ilegal galian C lokasinya ada dihampir seluruh kabupaten/kota di Aceh, lokasinya ada di wilayah aliran sungai dan pegunungan. Pertambangan emas ilegal ada di delapan daerah, seperti Kabupaten Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, Gayo Lues, dan Aceh Tengah. Sedangkan pertambangan minyak mentah ada di Kabupaten Bireuen dan Aceh Timur.

Pertambangan emas ilegal dari delapan daerah di atas, empat daerah diantaranya memiliki intensitas tinggi baik dari sisi penggunaan ruang, tenaga kerja, atau dampak yang dihasilkan. Empat daerah tersebut yaitu pertambangan emas ilegal di Kabupaten Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan. Secara umum keempat lokasi pertambangan emas ilegal tersebut berada di kawasan Hutan Lindung, aliran sungai, lahan perkebunan, serta pemukiman penduduk.

Pola Pertambangan emas

Hasil temuan lapangan, kegiatan pertambangan emas ilegal di Aceh menggunakan tiga pola. Pertama menggali lobang secara vertikal dengan kedalaman tertentu kemudian dibuat lobang secara horinzontal dibawahnya. Proses penggalian lobang ini dilakukan secara manual, instalasi kabel listrik dimasukan dalam lobang sebagai alat penerangan, serta para pekerja tambang menggunakan selang pernafasan yang dihasilkan oleh mesin oksigen. Pola penambangan seperti ini pada umumnya menggunakan zat merkuri dalam proses pengolahan bahan tambang dengan mesin gelondongan untuk mendapatkan emas.

Kedua menggunakan alat berat jenis excavator. Pola penambangan menggunakan alat berat umumnya berada di aliran sungai dalam kawasan hutan seperti di Pidie dan dalam kawasan pemukiman penduduk seperti di Beutong, Nagan Raya. Hasil galian tambang kemudian disaring menggunakan Asbuk untuk mendapatkan serbuk emas. Ketiga menggunakan mesin sedot pasir dan umumnya pola pertambangan seperti ini berada di aliran sungai, seperti di Aceh Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan.

Selain terjadi kerusakan kawasan hutan yang cukup parah, dampak dari pertambangan emas ilegal juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap terjadinya sejumlah bencana ekologi di Aceh. Pada tahun 2017 WALHI Aceh mencatat telah terjadi 120 kali bencana ekologi di Aceh yang berdampak langsung terhadap 62.487 penduduk, dengan perkiraan kerugian mencapai 1,5 triliun rupiah. Pertambangan emas ilegal menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya bencana di atas.

Dalam sektor pertambangan emas ilegal juga telah memakan korban jiwa akibat tertimbun longsor lobang tambang. Setidaknya dalam kurun waktu 2010 – 2016, WALHI Aceh mencatat sebanyak 38 orang pekerja tambang emas ilegal tertimbun longsor dan meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 27 orang terjadi di pertambangan emas ilegal di Pidie, 11 orang di Aceh Jaya, serta 1 orang di Aceh Selatan.

Penambang minyak ilegal

Penambangan minyak tradisional di Aceh berada di Kabupaten Bireuen dan Aceh Timur. Lokasi pertambangan di Bireuen berada di Desa Alue Punoe, Kecamatan Peusangan. Pada tahun 2016, dua lokasi penambangan tradisional di Alue Punoe terjadi kebakaran yang menyemburkan api mencapai sepuluh meter. Tidak hanya dua sumur yang terbakar, juga 40 drum berisi minyak juga ikut terbakar.

Kebakaran sumur minyak di Aceh Timur tidak hanya terjadi pada 25/4/2018 lalu, pada tahun 2015 dan 2017 juga pernah terjadi hal yang sama meskipun tingkat dampak dan jumlah korban tidak separah kejadian beberapa hari yang lalu.

Ketiga sektor pertambangan ilegal di atas memang berdampak positif secara ekonomi. Namun, dampak negatif terhadap kelangsungan lingkungan hidup juga penting dipertimbangkan. Terlebih kesemua sektor itu sama – sama memiliki resiko kesehatan dan keselamatan jiwa bagi para penambang. Sehingga dianggap penting ada upaya penyelesaian permasalahan diatas yang mempertimbangkan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Sehingga tercapai cita – cita negara dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan untuk sektor pengelolaan sumber daya alam di Aceh.

Peluang dan Tantangan Regulasi

Undang – undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dalam Pasal 156 disebutkan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. Meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan dalam hal pengelolaan SDA minyak dan gas bumi dilakukan secara bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 160.

Dalam undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk pertambangan mineral logam, pertambangan mineral bukan logam, pertambangan batuan, dan/atau pertambangan batubara. Namun, dengan keluarnya undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan tersebut dicabut. Sehingga penetapan WPR menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah Aceh hanya memiliki kewenangan terkait penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Sedangkan dalam undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak dikenal dengan nomenklatur penambangan minyak rakyat. Justru sebaliknya, dalam undang-undang tersebut mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan kegiatan usaha hulu tanpa izin. Begitu pula halnya dengan Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh, yang merupakan turunan dari UUPA juga tidak mengatur terkait penambangan minyak rakyat.

Dalam tata ruang nasional tidak mengatur WPR untuk Aceh. Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2013 – 2033, dalam Pasal 43 disebutkan kawasan pertambangan meliputi kawasan yang mengacu kepada Wilayah Pertambangan (WP) yang ditetapkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan tentang minyak dan gas bumi hanya mengatur ruang terkait jaringan transmisi dan distribusi pipa minyak dan gas bumi. Begitu pula halnya dengan Qanun Aceh nomor 15 tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara, perihal pertambangan rakyat hanya disebutkan dalam ketentuan umum saja, tidak ada satu pasalpun mengatur terkait pertambangan rakyat.

Berdasarkan regulasi di atas, Pemerintah Aceh dapat mengusulkan penetapan WPR ke pemerintah pusat untuk sektor pertambangan mineral dan batubara. Dalam kasus pertambangan ilegal di Aceh tentu peluang tersebut dapat diperuntukan bagi kegiatan pertambangan emas ilegal. Sehingga masyarakat, baik secara individu, kelompok, atau koperasi dapat mengusulkan permohonan IPR kepada Pemerintah Aceh. Sedangkan untuk kegiatan penambang minyak, tidak tersedia regulasi dan peluang hukum untuk memenuhi keinginan anggota DPRA di atas, sebagaimana yang telah diusulkan kepada Gubernur Aceh.

Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur tentu arus hati-hati dalam mengambil kebijakan sebagai solusi penambang minyak ilegal, baik di Kabupaten Bireuen maupun Aceh Timur. Jikapun mengamini permohonan pihak legislatif, tentu akan berhadapan dengan hukum. Gubernur harus mencari solusi bijak yang tidak bertentangan dengan hukum akan tetapi persoalan penambang minyak ilegal dapat diatasi. Penindakan hukum tentu bukan solusi tepat dalam permasalahan ini, karena dalam banyak kasus penertiban pertambangan rakyat muncul gerakan perlawanan ditingkat tapak. Disisi lain, jika persoalan penambangan minyak menjadi prioritas dalam mencari solusi, tentu juga akan muncul gerakan protes dari kelompok pertambangan emas ilegal yang jumlahnya mencapai ribuan penambang. Secara waktu, kegiatan pertambangan emas ilegal lebih duluan hadir di Aceh.

Pertanyaan kemudian, kenapa Komisi II DPRA lebih cepat memberikan respon terkait penambangan minyak ilegal di Aceh Timur dengan mengusulkan solusi bijak kepada Gubernur Aceh. Sedangkan persoalan pertambangan emas ilegal terkesan mereka diam, bilapun ada respon lebih pada mengusulkan untuk penertiban melalui upaya penegakan hukum.

Sedangkan secara dampak, baik dampak lingkungan, korban jiwa, dan sosial budaya lebih besar dampak pada sektor pertambangan emas ilegal.

image

Sort:  

Sudah kami upvote ya...!

Kaluh loen vote beh...

Tulesan Meu artikel that, bereh. Nyan kajeut Sambong studi Strata2

sebuah ke untungan bagi masyarakat dan resiko yang besar.ini menjadi PR besar bagi pemimpin daerah.