Antara berkurban, berkorban dan ketulusan
Masih dalam momentum idul Adha. Hari raya yang dianjurkan oleh Allah bagi yang mampu untuk sentiasa berbagi kepada orang lain dengan cara memotong hewan kurban yang berupa ternak, baik itu kambing, unta, sapi, biri-biri dan lainnya.
Peristiwa kurban ini senantiasa tidak lepas dari sejarah kehidupan nabi Ibrahim dan putranya nabi Ismail. Meski Ismail merupakan putra satu-satunya nabi Ibrahim, namun ia harus rela mengurbankan demi janjiNya dan tuhan dalam bentuk nazarnya pada suatu ketika. Ini adalah ujian untuk menguji keikhlasan dan ketulusannya beribadah kepada Allah.
Inti kurban adalah keikhlasan untuk berbagi dengan orang lain dalam bentuk pemotongan hewan. Bukan dilakukan bukan atas dasar pamer agar orang lain tahu bahwa dia adalah orang yang mampu. Tidak, agama tidak menganjurkan atas dasar itu. Agama menganjurkan dengan rasa iklhas dan tulus.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa berkurban adalah sama halnya dengan berkorban. Berkurban merupakan salah satu bukti kecintaan kita kepada Allah SWT. Dari sebuah pengorbanan itu kita dapat menilai seberapa besar ukuran kecintaan dan kebaktian kita.
Cinta tidak hanya cukup di ucapkan hanya dengan janji dan sebuah pengakuan. Kita bisa saja mengaku dengan demi ini dan itu. Namun tanpa melakukan sebuah pengorbanan yang tulus, pernyataan tersebut sangat tidak dapat dipercaya. Itu adalah cinta yang menipu. Atau pura-pura cinta.
Tidak ada istilah untung dan ruginya dalam konteks pengorbanan. Di sana yang ada hanyalah sebuah kata tulus. Pengorbanan senantiasa dilakukan oleh orang-orang yang tulus. Bukan dilakukan oleh sekedar pengakuan dan umbaran janji. Bahkan dalam pengorbanan tidak ada tawar menawar, terkadang nyawa pun ia rela jika itu sebuah pengorbanan yang tulus untuk sebuah pembuktian.
Begitulah yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Keduanya siap dan rela melakukan pengorbanan atas dasar dan bukti kecintaannya kepada Allah. Bahkan bukan hanya soal apa yang dia miliki, untuk berkorban dan berkurban kepada Allah, ia rela kehilangan apapun, bahkan anak semata wayangnya. Jika Allah yang mentakdirkan ia rela kehilangannya. Begitulah sebuah ketulusan cintanya kepada Allah.
Seharusnya begitulah prinsip dari berkorban. Melakukan sesuatu hal dengan tulus dan hanya berharap balasan hanya sama Allah. Bukan untuk sebuah pamer agar terlihat kita melebihi daripada orang lain. Jangan selalu menganggap orang lain yang hanya membutuhkan anda. Akan ada saatnya anda perlu tangan orang lain untuk menolong anda.
Pemimpin yang selalu berkata "cinta" terhadap rakyat dan tanah air. Tetapi tidak pernah menunjukkan pengorbanan untuk berbuat untuk rakyat, pun akan diragukan ketulusannya mengurus rakyat.
Ya, artinya setiap pengorbanan dan kurban sejatinya hanya karena ketulusan ibdah dan kecintaan kepada Allah. Tidak sebagai upaya untuk menonjolkan diri dari kalangan sosial.