PANG TIBANG -steemCreated with Sketch.

in #esteem7 years ago

Pang Tibang
FB_IMG_1507386088136.jpg
Ia datang sebagai pesulap yang mampu menarik simpati kalangan istana kerajaan Aceh. Karena kepiawannya Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.

Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.

Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.

Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.

Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.

Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.

Tindak lanjut dari maklumat perang tersebut, pada Senin 6 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler, dengan kekuatan enam kapal perang, dua kapal angkutan laut, lima barkas, delapan kapal peronda, satu kapal komado, dan lima kapal layar, melakukan pendaratan di Pante Ceureumen, yang disambut dengan perlawanan rakyat Aceh. Maka perang pun berkecamuk.

Tak tanggung-tanggung, dalam agresi pertama itu, Belanda mengerahkan 168 perwira, 3.198 pasukan, 31 ekor perwira berkuda, 149 pasukan berkuda, 1.000 orang pekerja paksa, 50 orang mandor, 220 orang wanita, 300 orang pelayan. Perang dengan Belanda pun terus berlanjut.

Namun di tengah usaha Aceh melawan agresi Belanda tersebut, pada tahun 1879, Panglima Tibang yang dipercayakan sultan untuk menggalang diplomasi di luar negeri, berbalik arah. Ia meninggalkan rekan seperjuangannya, bergabung dengan Belanda untuk kemudian menyerang Aceh. Kepercayaan yang diberikan raja Aceh kepadanya pun dibalas dengan pengkhianatan. Tak pelak, nama Panglima Tibang sampai kini tertoreh di sanubari rakyat Aceh sebagai pengkhianat yang tak terampuni.

Pelabelan nama Panglima Tibang sebagai pengkhianat nomor wahid pun terus berlanjut sampai kini. Dalam sejarah konflik Aceh, tak terkecuali ditubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nama Panglima Tibang selalu diberikan kepada orang-orang yang berkhianat atau menyerah kepada pemerintah. Sebuah label yang nilai kebenciannya melebihi cap cuak, sipil yang menjadi informan terhadap tentara. Kisah pengkhianatan Panglima Tibang itu, kini menjadi catatan kelam sejarah Aceh.

Pang Tibang

He came as a magician who is able to attract the sympathy of the royal palace of Aceh. Because of his kepiawannya also steadily drove his influence in the palace, after Sultan Mahmud Alauddin Shah (1871-1874) appointed him as syahbandar in the port of Aceh. Because of that position, he was also given an honorary degree, like a nobleman, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, who all the time remembered by the Acehnese as a traitor, who cut in the crease.

The betrayal of the Tibang Commander, began when he was appointed by the Sultan of Aceh, to lead the royal envoy of Aceh who would negotiate with the Dutch in Riau, so that the Dutch should come to Aceh in December 1872. It was an attempt by the Acehnese kingdom to stall, cooperation with America and Italy in the face of the Netherlands.

After the sultan's envoy returned from Turkey under the leadership of the Prime Minister of the Kingdom of Aceh concurrently Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Political rivalry took place. Tibang commander intends to put his influence on the sultan to defeat Habib. For that he headed to Singapore. On his way home, he contacted the American and Italian envoys, to get help against the war against the Dutch. The American fleet in Hong Kong, under the leadership of Laksamana Jenkis, agreed to help Aceh fight with the Dutch.

But the information was finally known by the Dutch. Understanding the further consequences if the agreement between Aceh and America and Italy materialized, then the Dutch also preceded it. The Governor General of the Dutch East Indies, James Loudon, in mid February 1873 also sent his fleet to Aceh. Especially after the Dutch were informed that the American fleet under the leadership of Admiral Jenkins would depart from Hong Kong to Aceh in March 1873.

Faced with such situation, Aceh's diplomats in Pulau Penang, Malaysia formed a Council of Eight, consisting of four Acehnese aristocrats, two Arabs and two Pinang-born ships. The Council of Eight acts on behalf of Aceh's interests abroad. Among other things, to establish diplomacy with foreign countries, looking for supplies of war and transport it to Aceh by penetrating the Dutch naval blockade that has mastered the Strait of Malacca.

Finally on Wednesday 26 March 1873, coinciding with 26 Muharam 1290 Hijri, from the deck of the warship Citadel van Antwerpen, anchored between Sabang Island and the mainland of Aceh, the Netherlands declared its war with Aceh, because Aceh refused to recognize Dutch sovereignty. The announcement of the war was announced by the Government Commissioner, concurrently the Vice President of the Council of Dutch East Indies, F.N Nieuwenhuijzen.

Following the war on Monday, April 6, 1873, the Dutch troops under the command of Major General JHR Kohler, with six warships, two sea transport ships, five barkas, eight patrol vessels, one combo ship and five sailboats, made a landing at Pante Ceureumen, which was greeted with the resistance of the Acehnese people. So the war raged.

Unmitigated, in the first aggression, the Dutch deployed 168 officers, 3,198 troops, 31 horsemen, 149 horsemen, 1,000 forced laborers, 50 foremen, 220 women, 300 servants. The war with the Dutch continued.

But in the midst of Aceh's efforts against the Dutch aggression, in 1879, Panglima Tibang who was entrusted by the sultan to raise diplomacy abroad, reversed course. He left his comrades, joined the Dutch to attack Aceh. The trust given by the king of Aceh to him was avenged with betrayal. Inevitably, the name of Panglima Tibang until now tertoreh in the heart of the people of Aceh as an unforgivable traitor.

Labeling the name of the commander of Tibang as a traitorous traitor continues to this day. In the history of the Aceh conflict, no exception was the Free Aceh Movement (GAM) of the Panglima Tibang name always given to people who betrayed or surrendered to the government. A label whose value of hatred exceeded the seal of cuak, the civilian who became the informant of the army. The story of the betrayal of the Tibang Commander, is now a dark record of Aceh's history.

Sort:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://firdyatjeh.blogspot.com/2011/01/sejarah-pengkhianatan-panglima-tibang.html

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 61986.52
ETH 2406.81
USDT 1.00
SBD 2.65