Masa Depan Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia - The Prospect of Public Broadcasting Station
Lembaga Penyiaran Publik (Public Service Broadcasting) atau LPP di Indonesia secara formal sudah berusia 15 tahun, terhitung sejak lahirnya UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. UU ini mengatur tiga aspek penting LPP.
Pertama, penegasan LPP sebagai badan hukum penyiaran yang dibentuk oleh negara, dengan mengadopsi prinsip independensi, netralitas, dan nirlaba.
Kedua, pemberian mandat kepada Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai pengemban amanat LPP yang secara otomatis mengubah model kepemilikan kedua institusi dari penyiaran pemerintah ke penyiaran publik.
Ketiga, adopsi dua model struktur organisasi tertinggi berupa Dewan Pengawas sebagai lembaga perencana dan Dewan Direksi sebagai institusi pelaksana. Lebih jauh UU ini juga membuka peluang model LPP lapis kedua yang bersifat lokal atau dikenal dengan sebutan LPP lokal, didirikan oleh pemerintah daerah atas usulan publik.
Adopsi konsepsi LPP sebagaimana diuraikan di atas secara gradual diwarnai beberapa perubahan yang cukup signifikan pada ranah tata kelola RRI dan TVRI: orientasi siaran yang lebih kritis dan uji coba frekuensi digital. Namun secara umum dinamika ini ternyata belum memenuhi harapan pembuat kebijakan tahun 2002 dan publik.
Optimisme atas kemampuan RRI dan TVRI bertransformasi menjadi LPP sesuai UU tidak mampu diterjemahkan dalam praktek, disebabkan berbagai faktor sistemik, baik pada aras internal maupun eksternal. Sejumlah studi yang dilakukan baik oleh internal RRI, TVRI, maupun Rumah Perubahan LPP sebagai representasi masyarakat sipil menunjukkan terdapat sejumlah persoalan krusial, baik bersumber dari UU Penyiaran itu sendiri maupun aplikasinya.
Dari perspektif regulasi, ketentuan dalam UU Penyiaran No. 32/2002 terkait LPP sangat minimalis (hanya 3 pasal), jauh lebih sedikit ketimbang ketentuan terkait penyiaran swasta. UU juga belum mengatur tata kelola sumber daya manusia dari hulu ke hilir sebagai pilar organisasi, dan mengabaikan perlunya mekanisme proses transisi, dari status RRI dan TVRI sebagai lembaga birokrasi menjadi lembaga penyiaran profesional.
Secara historis, penunjukan RRI dan TVRI sebagai pemegang mandat pelaksana LPP problematik, karena lebih dimotivasi alasan penyelamatan kedua institusi sebagai asset strategis, bukan untuk alasan normatif penguatan layanan publik. Peraturan Pemerintah No. 12 dan 13/2005 sebagai translasi UU Penyiaran justru mengandung kontradiksi.
Antara lain, penyebutan dua model SDM: PNS dan pegawai bukan PNS, dan penentuan alokasi 20 persen frekuensi untuk LPP. Kedua ketentuan ini tidak ada dalam UU Penyiaran No. 32/2002.
Alih alih mengintrodusir bentuk kelembagaan LPP yang independen dan profesional sebagaimana di negara-negara maju, pemerintah dan parlemen (DPR) dalam 15 tahun justru sibuk mencari celah melakukan intervensi terhadap kedua lembaga, baik untuk tujuan politik praktis maupun untuk kehumasan pemerintah. Tendensi ini diperparah oleh budaya birokratik yang masih melekat kuat di mayoritas broadcaster RRI dan TVRI, khususnya loyalitas dan romantisme sebagai pegawai negeri yang mengabdi kepada atasan, bukan berlomba untuk memberi layanan siaran terbaik kepada publik.
Pada saat yang bersamaan, atensi publik atas kedua institusi strategis ini tidak sebesar terhadap lembaga penyiaran swasta dan komunitas. RRI dan TVRI seakan dibiarkan berjalan sendiri melakukan transformasi menjadi LPP, tanpa supervisi dan kontrol yang signifikan dari publik.
Bersamaan dengan tergerusnya popularitas RRI dan TVRI sebagai saluran informasi utama di perkotaan oleh gempuran
media sosial dan fokus kesibukan pengelola kedua institusi untuk melakukan ekspansi ke layanan siaran perbatasan, peran LPP sebagai media pembentuk opini publik di perkotaan makin minimalis.
Padahal, jika dikelola secara baik dan transparan dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen publik, peluang kedua institusi untuk kembali menjadi media utama sangat besar, apalagi terdapat krisis kepercayaan atas saluran penyiaran komersial akibat intervensi politik praktis pemiliknya.
Untuk mengidentifikasi lebih jauh berbagai persoalan di atas dan mencari formula sinergi antara pengelola RRI dan TVRI sekarang dengan masyarakat sipil dalam mengawal transformasi menjadi LPP, maka sebuah diskusi publik perlu dilakukan. Diskusi ini dapat menjadi ajang refleksi terhadap perjalanan formalisasi adopsi LPP di Indonesia sejak tahun 2002 sekaligus membangun aliansi strategis menata masa depan LPP, mengingat saat ini DPR sedang menggodok undang-undang khusus bernama RTRI.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.scribd.com/document/367042901/123dok-Management-of-Change-Pada-Radio-Republik-Indonesia-Sejak-Berubah-Menjadi-Lembaga-Penyiaran-Publik