Mengajar di Kampung Pedalaman
Kalau dihitung-hitung sudah hampir 18 tahun saya menjadi tenaga pengajar di sekolah rendah. Selama itu saya pun sudah tiga kali dimutasikan oleh pimpinan dengan berbagai alasan.
Sejak 2012 saya "dilempar" ke lokasi yang lumayan jauh dari rumah. Saat itu sampai sekarang, mendekati 6 tahun, saya ditugaskan mengajar di sebuah sekolah rendah di wilayah desa pedalaman.
Suasana desa itu lumayan damai dan terletak di kawasan perbukitan. Saat menempuh perjalanan kita akan disodorkan pemandangan bukit dan lembah di kiri kanan jalan.
Waktu pertama kali saya ditugaskan di sana, kondisi jalan masih hancur lebur dan penuh lubang. Terkadang saya harus menghabiskan waktu hampir 30 menit hanya karena kondisi jalan yang buruk. Apalagi kalau sedang hujan, akan banyak bermunculan "kolam ikan" di jalan.
Namun kondisi itu tidak berlangsung lama. Memasuki tahun kedua saya bertugas di sana, jalan sudah mulai diaspal dan lubang-lubang sudah tidak ada lagi. Mulus sudah.
Meskipun persoalan jalan sudah beres, namun masih ada masalah lain, soal jaringan komunikasi. Di desa itu, dan beberapa daerah sekitar masih kewalahan dalam soal peralatan komunikasi. Di desa itu tidak ada sinyal HP. Kondisi ini lumayan sial dan menyebalkan.
Untuk kebutuhan menelepon saya harus menuju area persawahan untuk bisa mendapatkan sinyal. Itu pun hanya bisa untuk mengirim SMS, sedangkan untuk menelepon lumayan mustahil, sebab sinyal hanya satu garis, itu pun muncul tenggelam sesuka hati. Kacau.
Kalau sinyal hp saja tidak ada, jangan tanya: bagaimana dengan internet? Tentu lebih parah dan phak luyak. Jangan bermimpi bisa update status facebook, twitter, apalagi mau update tulisan di blog, sama sekali tidak bisa. Singkatnya, Android sama sekali tidak berfungsi di sana, paling-paling cuma untuk alat foto atau sekadar gaya-gayaan.
Begitu kondisinya di awal-awal saya bertugas di sana. Tapi, baru-baru ini di beberapa kios kampung sudah ada layanan wifi. Sudah memungkinkan untuk sesekali update status, dan menerima telepon. Tapi kualitas internet tidak segagah di pinggiran kota. Kadang cuma bisa login tapi tak bisa loading.
Satu lagi yang menjengkelkan adalah soal listrik. Sampai saat ini, dalam sehari pasti ada insiden mati lampu, minimal satu jam. Setiap hari. Saya tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Dan sebenarnya pengguna listrik di sana juga tidak terlalu ramai, mungkin hanya 50 persen penduduk yang menggunakan jasa listrik, selebihnya masih sangat tradisional.
Mungkin ini sudah menjadi nasib bagi mereka yang berdomisili di wilayah pedalaman. Kerap terpinggirkan oleh penguasa yang asyik haha hihi dan hanya mengumbar janji di musim kampanye.
Di desa ini, di tempat saya bertugas, mayoritas penduduknya juga hidup dalam keadaan kurang mampu. Selain sebagai petani dengan kondisi sawah tanpa irigasi, sebagian mereka juga menjadi buruh di kebun-kebun sawit milik orang kaya. Mereka berangkat kerja setelah Subuh dan pulang ke rumah menjelang Magrib.
Selain itu, tak jarang anak-anak di sekolah berangkat ke sekolah dengan sepatu yang sudah rusak, belum makan, tidak memiliki uang jajan dan juga sebagian mereka terpaksa harus libur bergantian untuk menjaga adik kecilnya di rumah karena ayah ibunya bekerja di kebun sawit.
Demikian kira-kira gambaran kondisi di tempat saya mengajar. Tentu saya juga harus banyak bersabar karena mayoritas anak didik cukup bandel, karena perhatian orangtua mereka lumayan kurang sebab kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Semangat pak