Turn On Turn Off | It's Hurt
“Lo nggak salah-salah banget sih, Sam. Cuma, ya karena lo sekarang udah sama Pak Rakha, ya lo hargai lha dia. Jangan sampai lo khianati dia meski cuma di dalam hati.”
Nasihat Samuel itu keluar ketika Samara menceritakan apa yang terjadi pada dirinya semalam.
“Itu yang ganggu gue dari kemarin. Gue ngerasa bersalah banget sama Rakha.” Samara menarik napas dalam dan mengeluarkannya seolah ia baru melepaskan beban berat.
“Kayak gimana sih Ritz itu sampe bikin lo nggak bisa move on dari dia.”
Samara membelalak, “ini tuh beda dari ‘belum move on’, soalnya aku sama dia sahabatan. Dia cuma nggak bisa ngelihat gue sebagai orang lain.”
Samuel mengelus dagunya, “friendzone… hhmm,”
Samara mengulas senyum miris, “apa karena gue terlalu kecil ya, jadi dia enggak bisa lihat gue.”
Alih-alih prihatin Samuel malah tertawa lebar. Suaranya bahkan bisa mengusik keseriusan Mamang mi ayam yang sedang meladeni pelanggan lain.
“Alay lu!”
Samara merasa dipuji. “Orang yang jatuh cinta memang suka alay, tauk.”
Samara dan Samuel pun tertawa seolah-olah warung mi ayam tersebut milik mereka.
“By the way, Mul. Kira-kira apa ya yang dilihat Rakha dari gue? Kenapa Ritz enggak bisa kayak gitu?”
Samuel berdecak kesal. “Tuh kan, Ritz lagi dah.”
Samara mengembangkan tawa bangga. “Nggak usah protes. Jawab aja pertanyaan gue!”
Samuel mengerutkan kening, “ya mana gue tahu. Gue kan bukan Rakha. Kenapa enggak tanya langsung aja?”
“Udah. Dia bilang, ‘terkadang cinta enggak butuh alasan, seperti bunga yang enggak butuh alasan untuk mekar.’”
Samuel terperangah mendengarnya. “Uuhh… Sweet-nya…”
“Justru itu yang bikin gue takut, Mul. Kalau dia enggak punya alasan suka sama gue, khawatirnya dia juga enggak punya alasan untuk menetap.”
“Eleuh! Lebay banget lu! Sederhanain aja, kalau dia enggak bisa stay berarti dia bukan jodoh lu!”
“Ish!” Samara memberengut.
“Balik kantor, yuk!” Samuel beranjak, diikuti Samara yang masih ingin meracau tentang kekasihnya.
“Yang paling gue suka dari Rakha?” Samara terdiam sejenak. “Gue suka matanya.”
Samuel menyipit curiga, “cuma itu?”
“Tiap kali dia ngusap kepala gue suka juga. Gue ngerasa dilindungi.”
“Kayak kucing gue, lu.”
“Whatever, lha!” Samara menjulur lidah. “Sekarang gue suka apapun yang ada di dirinya, kecuali, tiap dia ngerokok!
Gue benci banget sama asap rokok!”
“Dasar cewek. Enggak suka asap rokok tapi pacarannya sama perokok!”
Samara tertawa bangga. “Mungkin gue kena kutukan bokap.”
“Oh, ya?”
“Tiap kali bokap ngerokok gue pasti ngomel. Terus bokap bikin sumpah serapah gitu, nyumpahin gue dapet perokok seperti dia.”
“Wow!”
Obrolan antara Samuel dan Samara pun semakin seru. Samara terus menceritakan bagaimana Rakha dan Samuel pun menanggapinya dengan sedikit lelucon yang membuatnya harus mendapat pukulan.
“Lo duluan aja, Mul. Gue mau ke toilet dulu,” kata Samara sekeluarnya mereka dari lift.
Samuel tidak menjawab, ia hanya melambaikan tangan kemudian memisahkan diri dari Samara.
Sembari berjalan menuju toilet, Samara membuka ponselnya. Chat terakhirnya belum dibaca Rakha. Bahkan hari ini ia tidak menanyakan apakah ia sudah makan siang atau belum? Samara menghela napas dalam. Mengapa hari ini ia merasa Rakha sedikit berbeda?
Samara menggeleng sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Ia memberi sugesti bahwa Rakha tidak berubah, ia hanya sedang sibuk saja.
“Kalau cuma pacar enggak berhak minta prioritas, ya, Samara Alfara…” katanya dengan senyum mengembang. “Rakha pasti akan memberikan apa yang pantas lo terima, kok!”
Sekeluarnya Samara dari toilet, ia tidak segera kembali ke kantor. Entah mengapa kedua kakinya malah mengajaknya berjalan ke arah exit yang berada dekat dengan musala. Tempat yang sesungguhnya ingin ia hindari karena asap rokok yang menguar di ruangan tersebut. Akan tetapi bagian favorit yang sulit dihindari Samara adalah jendela yang menampilkan sesaknya jalanan di bilangan Sudirman.
Gelak tawa seseorang yang berjalan di belakangnya mengusik Samara. Gadis itu enggan berbalik, tetapi entah mengapa kepalanya malah menoleh.
Samara mematung di tempatnya untuk beberapa saat. Ia tidak ingin percaya, tetapi apa yang ia lihat benar-benar nyata. Samara celingukan, mencari tempat, dan ia tidak punya pilihan selain masuk ke dalam kantor orang lain yang pintunya terbuka.
Dalam diam ia memerhatikan. Rasa sesak kemudian hadir memenuhi dadanya.
**
Senyum Rakha mengembang lebar. Perasaannya kini sedang di atas awang-awang. Seperti baru naik roller coaster yang menegangkan sekaligus menyenangkan.
“Yup! Sampai ketemu. Makasih ya buat makan siangnya.” katanya di telepon. “Jangan kangen, ya,”
Setelahnya, Rakha menutup telepon lantas meletakkanya di atas meja. Senyumnya belum juga pudar. Kecantikan karyawan kantor sebelah masih membayanginya. Sentuhannya yang lembut membuatnya sulit bernapas dengan normal. Rakha merasa malam ini mimpinya akan indah oleh gadis berkuncir kuda yang baru makan siang bersamanya tadi.
“Ah, Samara,” tiba-tiba saja ia ingat Samara. Ia lupa mengabari kekasihnya yang tahu ia sedang keluar untuk urusan kantor.
Buru-buru ia mengirimkan pesan, menanyakan keberadaan gadis itu sembari sekaligus menanyakan apakah ia sudah makan siang atau belum seperti kebiasaanya.
Lama Rakha menunggu balasan, padahal Samara sudah membaca pesannya.
Dua menit kemudian, dering pertanda chat baru masuk. Samara mengirimkan foto kepadanya. Senyum Rakha mengembang. Samara-nya telah kembali. Ia suka mengiriminya foto jika merasa rindu.
Tetapi setelah foto yang dikirim Samara terlihat jelas, Rakha menjadi kaget. Ia tidak menyangka jika foto yang dikirimkan bukan foto Samara, melainkan potret dirinya yang sedang mengusap pipi Bunga.
Rakha cepat-cepat keluar ruangan, mengecek Samara di mejanya, tetapi gadis itu tidak ada. Ia mengedarkan pandangan, Samara tidak ada di manapun.
Rakha menggigit bibir bawahnya. “Aduh!”
Rakha kemudian mencari Samara di pantry, gadis itu pun tidak ada. Rakha benar-benar seperti kembali berada di atas kereta roller coaster. Tetapi kali ini, dengan rasa yang berbeda.
“Samara, maaf!”
**
(Bersambung)
Waduh....
Bersambung pula.
Capek deh
Iya dong.. masih panjang ceritanya...
Rakha keluar dengan perasaan senang. Jas hitam masih melekat bertemankan dasi merah hadiah dari samara.
Rakha melihat ke HP yang mati tetapi mrnjadi cermin baginya. "Aku masih menepati janji" katanya seperti berbisik.
Janji Rakha adalah memakai dasi yang dibeli samara. Meskipun murah, tapi itu adalah hadiah ulang tahun.
Dengan cepat, Rakha mengambil foto. Bukan selfie. Atau yang lain. Dia mengambil foto dasi dengan editing "dasimu selalu membantuku untuk setia".
Selang, lima menit, pesan balasan pun datang. "Ditempat pertama"
Trrus apa yaaa hahahahaha
bagus ini, tapi maksudnya gimana mas?
Kagak tahu aja. Mencoba melanjutkan cerita aja. Hahahaha
Aku tambahin ya di naskah asli...
Asyik hahahahaha masuk juga
Aku suka banget bagian ini @viviehardika
Senyum Rakha mengembang lebar. Perasaannya kini sedang di atas awang-awang. Seperti baru naik roller coaster yang menegangkan sekaligus menyenangkan.
“Yup! Sampai ketemu. Makasih ya buat makan siangnya.” katanya di telepon. “Jangan kangen, ya,”
Cara meminta dikangeni bilang jangan kangen
Ahahaha...