BILA HENDAKMU
Bila hendakmu adalah ingin, untuk menghijabkan tatapan siang kepada malam dengan jarak yang memucat serupa mendung. Maka buatlah aku percaya, bahwa engkau tidak sedang menangis, ketika melihat betapa dalamnya carut luka saat aku membebaskan diriku dari belitan rantai rindu berpasung.
Karena aku akan segera pulih dari kesedihan ini, tanpa merasa wajib dengan ketergesaan dunia untuk melukis sendi-sendi hidup dengan percikan berwarna merah muda. Mungkin kelak tatkala pintu waktu telah ditutup Tuhan, aku akan mencarimu di surga untuk sekedar bertegur sapa.
Namun bila hendakmu adalah ingin, agar kita berbicara tanpa jeda dengan menafikan titik, koma dan segala tanda baca buatan manusia. Marilah aku dan kau menyerukan tentang kebersamaan rasa yang tertunda, dari sepasang jiwa yang dipisahkan takdir ketika terlahir.
Karena setelah keriuhan usai bergema, maka diam-diam kita akan menulis selaksa syair, untuk digeletarkan pada tiang-tiang sepertiga malam. Selalu mendeburkan asa demi asa dalam kesunyian abadi, tanpa perlu mencari jawaban, sebab kita telah berlepas dari tanya sejauh manakah ujung dari keindahan.
Karena kaulah yang pertama memikat hatiku walau tanpa pernah meminta dengan nyatamu, maka aku tak hendak mematahkan daun pintu untuk kemudian berlari mengingkari hari.
Dan kini setelah kubebaskan hatiku dari dua puluh tiga pemaknaan dari satu kata hasrat, lihatlah... aku masih tegak di sini. Maukah kau bergegas memanggil hujan, agar rintiknya membasahi selembar daun cemara dengan kepastian, tentang sebuah riwayat yang bermula.
Aku menunggu, karena aku memilih untuk peduli !!!.
Adalah sebuah kisah dengan narasi tak sempurna tatkala aku hanya merunut jejak sumir langkahmu pada alur waktu yang berjalan searah, tanpa sempat mengerti tentang pekerti dari rasa yang sesungguhnya ataupun penilaian indah atasnya. Maka bagiku diam terasa menjadi lebih bermartabat, dan jika kau butuh pelipur lara, ingatlah aku, si perindu ulung yang menghentikan langkah di separuh jalan menuju hatimu.
Untuk seribu alasan alam yang tak hendak memekarkan hanya satu bunga, masih pantaskah kubunuh sepi yang tlah mati dlam sunyi. Sementara hangat rasa yang tertinggal masih bersetia mendekap jiwa diantara pedih tikaman angin rindu, meski tanpa musim semi.
Walau terbiar sunyi aku tak hendak mengganti cerita ini, karena menantimu bukanlah keterpaksaan yang memasungku diantara merdu siulan angin pemikat. Pemaknaan tentang kerinduan ternyata adalah sebuah pengajaran untuk memurnikan rasa dari keangkuhan hati, memilah seribu tanya yang pada akhirnya akan meniadakan gamang.
Adalah kerinduan yang kita sepakati bersama dalam ruang sunyi tanpa purnama, untuk kemudian menafikan selaksa ucap cinta diantara angkuh tikaman belati. Dan kita luka, saat tak hendak saling bertukar getar jiwa dan semata bersikukuh menggenggam hasrat yang pecah menjadi gigil rasa.
indahnya @wiya
Terimakasih @iamrifk.
Kerinduan membawaku pada setiap kenyataan dan kebenaran...
Lanjutkan kak @mariskalubis.
Excellent post, very well articulated. thank you so much.
Thank you so much..
Hai Wiya, saya Muraz Riksi dari Aceh.
saya suka sekali dengan cerita-ceritamu
Hobi saya adalah menulis dan saya sangat cinta dengan puisi, dikarenakan kekayaan makna dari setiap kata-kata tersiratnya...