BIOGRAFI SINGKAT | Salah Paham Terhadap Atjeh

in Steem Schools4 years ago (edited)

InShot_20210424_233051000.jpg

"Salah Paham Terhadap Atjeh"

Tulisan ini tak bermaksud untuk membuka kembali luka lama Atjeh tetapi hanya untuk meluruskan sejarah yang ada.

Kenapa harus Atjeh?.

Pencarian saya tentang sejarah Atjeh berawal dari kesalahpahaman teman saya di Kairo dengan mahasiswa Atjeh yang juga teman saya di Kairo, bahwa mahasiswa Atjeh di sana itu eksklusif, tertutup, dan suka membanggakan suku sendiri (contohnya seperti penyebutan masyarakat Aceh yang berubah menjadi rakyat Aceh). Seketika timbul pertanyaan di benak saya : Kenapa dengan orang Atjeh? Ada apa dengan mereka? Apa sebabnya teman saya mengatakan seperti itu?. Lalu, saat saya meminta klarifikasi langsung dari salah satu teman saya yang menjadi mahasiswa Atjeh di sana via Facebook, saya mendapatkan satu kesimpulan bahwa “Orang Atjeh pernah punya pengalaman buruk di masa lalu dengan orang Jawa”. Dan saat itu saya baru teringat bahwa teman saya yang salah paham itu adalah orang Jawa.
Pada awalnya pun saya sempat agak terpengaruh juga dengan ucapan teman saya karena jujur saja, saya paling tidak suka dengan orang yang sukuis (membanggakan suku sendiri lebih baik dari suku yang lain) tapi saya juga tidak bisa menilai dari satu pihak saja, saya harus mencari sendiri apa penyebabnya.

Pikiran saya langsung tertuju pada cerita teman saya yang mahasiswa Atjeh bahwa, “Mereka yang di kuburkan di kuburan Kherkof Belanda di Atjeh kebanyakan adalah orang-orang Pribumi, bisa dikatakan orang-orang Jawa yang meninggal di Atjeh karena termakan taktik devide et impera-nya Tentara Belanda juga ikut di kubur di situ”. Tak hanya itu, saya langsung teringat dengan komentar Pramudya Ananta Toer terhadap Novel Bidadari Hitam yang di tulis oleh T.I Thamrin-orang Atjeh asli, “Setiap kali ada yang datang dari suku Atjeh, saya selalu minta maaf sebagai orang Jawa. Sudah lebih 100 tahun orang Jawa memerangi Atjeh, saya ikut-ikutan bersalah”.
Dialog-dialog yang ada di dalam Novel tersebut pun membuat saya jadi makin penasaran dengan apa yang terjadi pada Atjeh di masa lalu.

“Tidak, nong. Nama kita semua adalah Atjeh. Karena itu kita memang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa di mata orang Jakarta. Atjeh yang pernah menolong dan memberi makan mereka, membelikan mereka 2 pesawat terbang, membiayai NKRI yang lagi terjepit ekornya. Tapi, ketika mereka sudah berani mengambil sendiri di lumbung kita, mereka melecehkan, memburu dan membunuh kita seperti kecoak. Kita bilang, silahkan ambil tapi jangan mencuri dan jangan kemaruk, lalu mereka marah besar, menuduh kita pemberontak, karena itu wajib dibunuh. Perempuan kita yang melawan juga diburu dan diperkosanya, seperti tak malu pada Ibu dan saudarinya sendiri. Seperti Ibu dan saudarinya bukan perempuan saja.”.

Timbul banyak pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh saya, “Ada apa dengan Atjeh pada masa lalu? Kenapa Atjeh pernah sangat ingin memisahkan diri dari NKRI? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Alasan apa yang menyebabkan Atjeh sampai ingin bergabung dengan NII dan mendirikan DI/TII atau GAM? Kenapa Pemerintah pada jaman dulu (era Presiden Sukarno sampai Presiden Megawati) harus bertindak brutal, kejam dan sadis hanya karena ingin mempertahankan Atjeh untuk tetap di wilayah NKRI? Kenapa cara-cara tersebut harus di lakukan oleh Pemerintah?”
Dan dari situ saya baru menyadari bahwa ada potongan sejarah lain yang belum saya ketahui dari Atjeh.

InShot_20210424_233153081.jpg
Masjid Raya Baiturrahman

Atjeh masa lalu adalah Sebuah Negara.

Tak etis rasanya bila saya tidak menceritakan saat Atjeh masih menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri.
Sejarawan Said ‘Alawi Thahir al-Haddad dalam bukunya “Al-Madkhal ilaa Taarikh al-Islam fi al-Syarq al-Aqsa” menyebutkan satu dokumen kuno dari Dinasti Yang di Cina, yang menceritakan pada tahun 518 M telah datang kepada raja Cina utusan dari kerajaan Puli yang terletak di ujung utara pulau Sumatera (kerajaan Puli adalah kerajaan Puli atau Indra Puri yang memang telah ada di Atjeh sebelum Islam datang. Namun, karena kesulitan mengucap huruf R dalam dialek Cina, maka berubah menjadi L sehingga tertulis “Puli” dalam dokumen Dinasti Yang tersebut. Sisa-sisa dari kerajaan ini masih bisa ditemukan di kawasan Indra Puri, Atjeh Besar). Dokumen ini juga menceritakan bahwa kerajaan Puli terbagi dalam 136 wilayah dengan luas wilayah 50 hari perjalanan kaki dari utara ke selatan dan 20 hari perjalanan kaki dari barat ke timur. Dokumen ini membuktikan bahwa sejak abad ke-6 M, orang-orang yang mendiami daerah pesisir Aceh telah mengenal suatu tata cara kehidupan yang berperadaban cukup maju dibanding kawasan-kawasan lain di Nusantara, kecuali kawasan pinggiran sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dimana kerajaan Hindu Kutai telah berdiri sejak abad ke 5 M, begitu juga kawasan Jawa Barat dengan kerajaan Taruma Negaranya.

Daerah pesisir utara Atjeh mulai disinggahi para pedagang Muslim dari Malabar di India atau langsung dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M (1 H), sebagaimana disebutkan L. Van Rijck Vorsel dalam bukunya “Riwayat kepulauan Hindia Timur”. Ia juga menyebutkan bahwa orang-orang Arab telah lebih dahulu tiba di Sumatera 750 tahun sebelum kedatangan Belanda ke sana.

Namun, kerajaan Islam baru muncul pada awal abad ke-9 M. Di antara kerajaan-kerajaan Islam yang pertama di Atjeh adalah kerajaan Peureulak di pesisir timur Atjeh yang berdiri pada tahun 804 M, kerajaan Lamuri dan Samudra Pasai di pesisir utara Atjeh.

Pada awal abad ke 16 M, berdirilah kerajaan Islam Atjeh Darussalam yang berbentuk kesultanan Atjeh dengan raja pertamanya Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530) putra dari sultan Syamsu Syah dan cucu dari sultan Inayat Syah dari kerajaan Lamuri. Kerajaan Atjeh Darussalam yang lahir pada tanggal 12 Dzulqa’idah 916 (1513 M) adalah sebuah kerajaan Federasi yang terdiri dari kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Samudra Pasai, kerajaan Lamuri, kerajaan Islam Lamno Jaya, kerajaan Islam Lingge, kerajaan Islam Pedir dan kerajaan Islam Teuming. Peleburan kerajaan-kerajaan Islam Atjeh dalam satu wadah itu kemudian diberi nama kerajaan Atjeh Raya Darussalam, atau lebih dikenal dengan proklamasi Samudra Pasai.

Kerajaan Atjeh Darussalam mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia mampu menempatkan kerajaan Islam di Atjeh pada peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke 16. Kelima kerajaan Islam tersebut adalah kerajaan Islam Turki Utsmani di Istanbul, kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, kerajaan Islam Akra di India dan kerajaan Atjeh Darussalam di Asia Tenggara. (Mutiara Fahmi, tesis: Gerakan Kemerdekaan di Aceh dalam pertimbangan Hukum Islam, 2006, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 70-72)

InShot_20210424_233242913.jpg

Lalu kenapa Atjeh pernah sangat ingin memisahkan diri dari NKRI?

Berikut ini adalah beberapa faktor kenapa Atjeh pernah ingin memisahkan diri dari NKRI:
Sikap pemimpin RI yang dipandang oleh Tgk. Daud Beureueh telah menyimpang dari jalan yang benar.

Karena pada waktu itu Presiden Sukarno pernah berjanji memberikan hak kepada Atjeh untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam dan janji tersebut tak pernah diwujudkan. Hal ini diperkuat oleh pengakuan saksi dan pelaku sejarah Tgk. H. Syech Marhaban Hasan yang menceritakan, saat kunjungan Soekarno ke Atjeh, Soekarno pernah meminta kepada Tgk. Daud Beureueh untuk membantu perang bersenjata antara Indonesia dengan Belanda, Daud Beureueh menyanggupi asalkan dengan 2 syarat : perang yang dikobarkan adalah perang Fisabilillah dan rakyat Atjeh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya apabila perang telah usai. Akhirnya Soekarno menyanggupi 2 syarat tersebut, Namun, Daud Beureueh meragukan janji Soekarno dan meminta Soekarno untuk menuliskan janjinya tersebut di atas secarik kertas. Melihat hal itu, Soekarno langsung menangis terisak-isak dan merasa tidak dipercaya. Melihat Soekarno menangis, Daud Beureueh menjadi terharu dan kemudian berkata, “Bukan kami tidak percaya saudara presiden. Akan tetapi, hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Atjeh yang akan kami ajak untuk berperang”. Lalu Soekarno menyeka air matanya dan menjawab: “Wallahi, Billahi, kepada Daerah Atjeh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari-at Islam. Dan Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Atjeh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya”. Menurut keterangan Daud Bereueh, karena iba hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, dirinya tak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno. (Ibid, hlm. 119-121)

Kekecewaan rakyat Atjeh saat status propinsi Atjeh yang belum genap berumur setahun dibubarkan oleh kebijakan Pemerintah Pusat dan menggabungkannya dengan Propinsi Sumatera Utara (yang berbeda latar belakang serta kebudayaannya) dengan alasan yang cukup ironis yaitu karena bertentangan dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang hanya mengakui 10 propinsi dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Padahal, RIS itu sendiri justru lahir dan mendapat pengakuan Internasional karena masih adanya Atjeh sebagai satu-satunya wilayah modal Indonesia yang tidak dapat kembali di duduki oleh Belanda dalam perjuangan fisik. (Ibid, hlm. 121)

InShot_20210424_233328212.jpg

Saat Atjeh masih menjadi sebuah Negara, Atjeh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda, sehingga secara hukum, Atjeh bukan Hindia Belanda dan dengan demikian saat Hindia Belanda menjadi Indonesia, Atjeh tidak secara otomatis berada di dalamnya. Menurut teori Ilmu Negara dan Hukum Internasional, bangsa dan Negara Atjeh belum lebur tapi bermasalah. Hilangnya status suatu bangsa dan negara menurut Sofyan Ibrahim Tiba, SH (juru runding Gerakan Atjeh Merdeka) karena satu dari dua alasan, yaitu alasan alam, seumpama buminya hancur atau tenggelam. Dan alasan sosial politik, jika negara atau bangsa itu telah menggabungkan diri ke dalam atau bersama bangsa lain. Oleh karena itu, menurut GAM, penggabungan Atjeh ke dalam Indonesia saat proklamasi 17 Agustus 1945 belum sah dan merupakan kekeliruan ketata-negaraan. Atjeh menurutnya, sejak proklamasi tidak pernah menyatakan bergabung dengan NKRI seperti halnya Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman melalui keputusan Kotikokootai (Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 19 Agustus 1945. (Ibid, hlm. 141-142)

Karena perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat terhadap Atjeh. Seperti sikap sentralistik pemerintah Orba terhadap Atjeh yang telah melahirkan kesenjagan sosial-ekonomi yang cukup mencolok di daerah istimewa Atjeh. Sebagai contoh, penerimaan APBD propinsi Daerah Istimewa Atjeh tahun 1997/1998 hanya berkisar 150 milyar dari +/- Rp. 32 triliun yang disumbangkannya untuk negara pada tahun yang sama. Artinya, apa yang diterima Atjeh tidak sampai 0,5 % dari total yang disumbangkannya. (lihat Said Mudhakar Ahmad, Masalah Atjeh: Dilema antara Sikap, Martabat dan Rasa Keadilan, Waspada (Harian), Medan 31 Agustus 1998). (Ibid, hlm. 82).

Alih-alih ingin mengamankan situasi dari tindakan suatu gerakan yang disebut pemerintah Gerakan Atjeh Merdeka (GAM) dengan memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM), banyak korban sipil yang menjadi korban pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against Humanity) dalam pemberlakuan status DOM tersebut. Seperti adanya pembunuhan, adanya penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisik maupun mental, adanya penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, adanya kekerasan seksual, adanya penghilangan paksa dll. (untuk mengetahui lebih jauh tentang jumlah korban DOM, lihat buku yang ditulis oleh Al-Chaidar, (Ibid, hlm. 84).

Karena efek dari kesalahpahaman teman saya inilah yang akhirnya membuat saya menjadi jatuh cinta pada Aceh dan masa lalunya. Seharusnya mereka yang kontra terhadap pemberlakuan syari’at Islam di Atjeh dengan alasan karena terbentur dengan undang-undang yang ada di atasnya bisa mengingat kembali janji dan sumpah Presiden Sukarno dulu terhadap Tgk Daud Beureu'eh-khususnya pada rakyat Aceh.

Wallahu a‘lam bish-shawab