Dua Puluh Tahun Pasca Tsunami Aceh: Kembali ke NKRI, Namun Bala Belum Pergi

in Steem SEA4 days ago (edited)

IMG_20251227_042709.jpg

Dua puluh tahun telah berlalu sejak tsunami 2004 meluluhlantakkan Aceh dan mengguncang nurani dunia. Dari puing-puing bencana itu lahir kesepakatan damai dan kembalinya Aceh sepenuhnya ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tsunami bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga titik balik sejarah: senjata diturunkan, dialog dikedepankan, dan harapan akan keadilan serta kesejahteraan dijanjikan.

Namun dua dekade kemudian, Aceh kembali diuji. Bukan oleh gelombang laut, melainkan oleh banjir dan longsor yang berulang, menelan rumah, sawah, dan nyawa. Ironisnya, di tengah penderitaan rakyat, negara justru terlihat ragu menyebut bencana ini sebagai musibah nasional. Padahal dampaknya meluas, berulang, dan memiskinkan masyarakat secara sistemik.

Keputusan untuk tidak menetapkan status bencana nasional bukan sekadar soal administratif. Ia berimplikasi langsung pada kecepatan, skala, dan kualitas penanganan. Tanpa status nasional, bantuan terkesan parsial, koordinasi lemah, dan beban besar ditanggung daerah yang secara fiskal terbatas. Rakyat pun bertanya: apakah penderitaan mereka belum cukup besar untuk disebut darurat nasional?

Di tengah kekosongan kehadiran negara yang sipil dan terstruktur, TNI kembali menjadi aktor utama bantuan kemanusiaan. Kehadiran TNI tentu patut diapresiasi—mereka cepat, disiplin, dan menjangkau wilayah sulit. Namun ketika peran kemanusiaan negara lebih banyak ditopang oleh pendekatan militer ketimbang tata kelola sipil yang kuat, muncul problem baru: rasa tidak adil, kecemburuan sosial, bahkan gesekan di lapangan.

Sebagian masyarakat menilai negara hadir dengan seragam, bukan dengan kebijakan yang menyentuh akar masalah. Banjir dan longsor bukan semata bencana alam, tetapi juga buah dari pembiaran lingkungan, pembalakan hutan, tata ruang yang rusak, dan lemahnya pengawasan. Ketika ini tidak dijawab dengan kebijakan struktural, kemarahan publik menjadi tak terelakkan. Di sinilah benih-benih anarkisme sosial tumbuh bukan karena rakyat benci negara, tetapi karena merasa diabaikan oleh negara.

Aceh tidak menuntut keistimewaan berlebihan. Aceh hanya menagih janji konstitusional: perlindungan, keadilan, dan keselamatan warganya. Dua puluh tahun lalu, Aceh belajar memaafkan dan memilih damai dalam NKRI. Maka hari ini, sudah sepantasnya negara belajar mendengar Aceh, bukan hanya saat tragedi besar mengguncang dunia, tetapi juga saat bencana “Rutin” perlahan menggerogoti kehidupan rakyat.

Jika negara terus abai, maka yang terancam bukan hanya rumah dan sawah, melainkan juga kepercayaan publik. Dan ketika kepercayaan runtuh, stabilitas sosial menjadi taruhan. Menetapkan bencana nasional bukan soal gengsi politik, melainkan pengakuan atas penderitaan rakyat dan kesungguhan negara untuk hadir secara utuh.

Aceh telah memilih Indonesia. Kini saatnya Indonesia membuktikan bahwa pilihan itu tidak salah.