Pertimbangan hukum memastikan otomatisasi blockchain diakui resmi dalam KUHP dan UU ITE Indonesia, sehingga kontrak pintar mengikat hukum, tanggung jawab kesalahan kode jelas, serta sengketa kedaulatan diawasi dan diuji melalui pengawasan yudisial
Pertimbangan hukum merupakan landasan utama dari setiap inisiatif yang bertujuan untuk memberantas korupsi. Meskipun teknologi dapat menghadirkan transparansi, hanya kerangka hukum yang kuat yang dapat memastikan bahwa prinsip “kode adalah hukum” benar-benar dapat ditegakkan di pengadilan Indonesia. Tanpa landasan hukum ini, pelaku korupsi dapat mengeksploitasi celah untuk menghindari atau melemahkan sistem otomatis.
Persyaratan pertama adalah pengakuan dan penegakan hukum. Kontrak pintar harus diperlakukan secara hukum setara dengan perjanjian tertulis konvensional berdasarkan KUHP Indonesia. Pasal 1320 mensyaratkan persetujuan, kapasitas hukum, objek yang jelas, dan tujuan yang sah. Untuk memenuhi syarat-syarat ini, praktisi hukum harus menyiapkan “kontrak pembungkus” tradisional yang secara formal merujuk pada kode blockchain sebagai mekanisme pelaksanaan, memastikan kontrak pintar memenuhi semua persyaratan hukum.
Selain itu, penggunaan tanda tangan digital harus sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tanda tangan elektronik bersertifikat yang dikeluarkan oleh penyedia yang berwenang (Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, atau PsrE) bersifat wajib agar setiap eksekusi kontrak pintar, seperti pembayaran otomatis, memiliki kedudukan hukum yang sama dengan dokumen yang distempel secara resmi menggunakan materai.
Tanggung jawab dan penyelesaian sengketa menghadirkan tantangan kritis lainnya, khususnya masalah risiko kode. Situasi dapat muncul di mana kontrak pintar dieksekusi secara tidak benar karena bug atau data eksternal yang tidak akurat. Kerangka hukum harus secara jelas mendefinisikan tanggung jawab dalam kasus-kasus tersebut. Misalnya, jika oracle memberikan data cuaca yang salah yang memicu klausul force majeure, kerangka kerja harus menentukan apakah tanggung jawab terletak pada penyedia oracle atau lembaga pemerintah yang relevan, dan juga harus mendefinisikan mekanisme asuransi dan akuntabilitas sebelumnya.
Karena sistem blockchain bersifat tidak dapat diubah, penyelesaian sengketa juga harus disesuaikan dengan lingkungan ini. Sistem hukum harus mengakui peran oracle arbitrase. Ketika terjadi sengketa, kasus dapat dirujuk ke lembaga independen seperti BANI atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Keputusan mereka kemudian dicatat di dalam blockchain untuk menyelesaikan atau mengesampingkan status terkunci kontrak, memastikan bahwa kekakuan teknologi tidak mengesampingkan keadilan hukum.
Kepatuhan terhadap peraturan dan kedaulatan nasional sama pentingnya. Sistem harus mematuhi persyaratan residensi data Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah PP 71/2019, yang berarti bahwa semua node dan data kontrak harus berlokasi secara fisik di wilayah Indonesia untuk menjaga kedaulatan data. Pada saat yang sama, kerangka kerja harus selaras dengan peraturan anti-korupsi dengan memenuhi standar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memungkinkan catatan blockchain yang tidak dapat diubah berfungsi sebagai bukti yang sah dalam penyelidikan dan penuntutan pidana.
Singkatnya, pertimbangan hukum memerlukan harmonisasi pelaksanaan berbasis blockchain dengan KUHP Indonesia dan UU ITE, menetapkan aturan tanggung jawab yang jelas untuk proses otomatis, dan menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa yang berdaulat dan diakui secara hukum sehingga sistem tetap efisien secara teknologi dan kuat secara hukum.
Mpu Gandring ingin memberantas korupsi di Indonesia dengan teknologi blockchain! Anda ingin mendukung?
- Follow akun Mpu.
- Upvote dan resteem postingan Mpu.
- Share di Instagram, Facebook, X/Twitter dll.
- Biar pemerintah mendengar dan menerapkannya.






Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.