Untuk memberantas korupsi, pendefinisian ruang lingkup dan regulasi dilakukan dengan mengidentifikasi kontrak berintegritas tinggi seperti pengadaan dan hibah, lalu menerjemahkannya ke dalam templat kode standar yang selaras dengan hukum Indonesia
Menentukan ruang lingkup dan batasan regulasi merupakan tahap pertama yang penting dalam otomatisasi kontrak pemerintah Indonesia. Tahap ini memastikan bahwa setiap sistem otomatis tidak hanya andal secara teknis tetapi juga sah secara hukum dalam tradisi hukum perdata Indonesia.
Proses dimulai dengan menentukan jenis kontrak mana yang paling cocok untuk otomatisasi. Prioritas harus diberikan kepada kontrak dengan kondisi dan hasil yang jelas dan biner yang dapat diverifikasi melalui data. Pengadaan publik barang dan jasa standar, yang diatur berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021, merupakan kandidat yang kuat. Dalam konteks ini, kontrak pintar dapat secara otomatis mencairkan pembayaran setelah sistem LKPP mengkonfirmasi bahwa barang telah dikirim.
Hibah dan subsidi pemerintah juga tepat, karena otomatisasi dapat melepaskan dana hanya setelah tonggak yang telah ditentukan tercapai, mengurangi risiko proyek fiktif yang sering dikaitkan dengan kasus korupsi. Selain itu, proses perizinan dan izin yang sederhana, seperti izin bangunan atau pendaftaran usaha, dapat diotomatisasi sehingga persetujuan dipicu setelah semua dokumen yang diperlukan diunggah dan diverifikasi di blockchain.
Pada saat yang sama, sistem harus beroperasi dalam kerangka hukum yang ada di Indonesia. Meskipun kontrak pintar belum diakui sebagai kategori hukum terpisah, kontrak pintar harus mematuhi apa yang sering disebut sebagai rezim hukum digital Indonesia. Berdasarkan KUHP Indonesia, logika kontrak harus memenuhi persyaratan Pasal 1320, yang meliputi persetujuan bersama, kapasitas hukum, objek yang jelas, dan sebab yang sah. Dalam lingkungan kontrak pintar, persetujuan bersama ini diungkapkan ketika para pihak menandatangani transaksi menggunakan kunci pribadi mereka.
Kepatuhan terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 juga diperlukan, karena peraturan ini mengatur sistem dan transaksi elektronik dan memungkinkan kontrak pintar diperlakukan sebagai kontrak elektronik. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2025 secara resmi mengakui blockchain sebagai kegiatan bisnis yang diatur, artinya logika yang tertanam dalam kontrak pintar harus secara akurat mencerminkan Kerangka Acuan (KAK) yang diamanatkan dalam hukum pengadaan Indonesia.
Untuk menerjemahkan persyaratan hukum ke dalam sistem yang dapat dieksekusi, kolaborasi erat antara ahli hukum dan pengembang sangat diperlukan. Hal ini biasanya melibatkan pengembangan templat kontrak pintar yang terstandarisasi, di mana klausul hukum yang umum digunakan seperti ketentuan force majeure atau penalti keterlambatan pengiriman diubah menjadi logika kondisional jika-maka.
Karena kode perangkat lunak tidak dapat sepenuhnya menangkap konsep manusia seperti itikad baik atau penilaian kontekstual, ruang lingkupnya juga harus mencakup pendekatan hibrida. Dalam model ini, dokumen yang mengikat secara hukum tradisional yang ditulis dalam bahasa alami tetap berlaku, sementara secara eksplisit merujuk pada alamat kontrak pintar yang mengatur eksekusi otomatis.
Dengan mendefinisikan batasan teknis dan hukum ini secara cermat, pemerintah Indonesia dapat secara bertahap beralih dari proses yang didominasi oleh persetujuan manusia yang bersifat diskresioner menuju sistem yang didasarkan pada kepercayaan objektif dan otomatis.
Mpu Gandring ingin memberantas korupsi di Indonesia dengan teknologi blockchain! Anda ingin mendukung?
- Follow akun Mpu.
- Upvote dan resteem postingan Mpu.
- Share di Instagram, Facebook, X/Twitter dll.
- Biar pemerintah mendengar dan menerapkannya.






Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.