Pak Bukhari dan Sepotong Asa
Kampus adalah palagan hierarki. Sebagai mahasiswa, saya akrab dengan stereotip kuno yang menempel pada sosok dosen. Oleh sebagian mahasiswa, dosen diposisikan seperti dewa di Olympus. Jauh, tinggi, dan sulit dijangkau.
Di mana bumi dipijak, di situ ilmu dipetik.
Bagi saya, bumi yang paling subur untuk memetik ilmu bukanlah ruang kelas dengan whiteboard besar yang kerap penuh goresan rumit. Secara sporadis, warung beraroma khas robusta serta suara pengunjung yang saling bertaut ada kalanya jadi mikrokosmos tempat berbagai gagasan dan wacana bertumbuh. Warung kopi mampu mendegradasi hierarki menjadi ikatan persahabatan.
Pak Bukhari (atau mahasiswanya kerap menyebutkan “Pak Buk”) boleh jadi termasuk dalam panteon tersebut. Sosoknya yang tegap dengan suara berat dan tatapan yang mampu menembus dinding ketakutan mahasiswanya, sehingga menciptakan jarak psikologis yang tidak disengaja.
Di luar kelas, sosok ini menjelma menjadi orang yang sepenuhnya berbeda.
Satu waktu, saya memberanikan diri meminta maaf kepada beliau. Sebagai komisaris kelas, saya punya tanggung jawab mengorganisasi teman-teman untuk sebuah project penelitian kecil-kecilan.
Sialnya, belakangan, penyakit saya kerap kambuh. Tanggung jawab sebagai komlas pun seketika jadi amburadul. Saat saya mengutarakan alasan kegagalan saya via pesan teks, saya pikir beliau akan menyambut dengan teguran menohok atau pengabaian dingin khas dosen.
Namun, balasan beliau justru di luar dugaan.
“Sudah ngopi?” Tanyanya.
Sebagai orang aceh, saya merinci kalimat itu sama sekali bukan basa-basi. Mengajak ngopi adalah kode universal untuk menegaskan, “mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin.”
Saya pun akhirnya bertemu beliau di sebuah warkop. Ruang liminal ini jadi tempat pertemuan saya dengan sisi lain Pak Buk yang jarang terpandang.
Ketika tiba di lokasi, saya menangkap sosoknya dari parkiran. Pak Buk tampak sibuk dengan laptopnya. Saya tidak mampu menahan diri untuk menerka. Dalam benak saya, ia mungkin sedang berkutat dengan pekerjaannya sebagai dosen. Menginput nilai, membuat soal ujian, atau mungkin menulis bagian baru untuk disertasinya. Saya dengar beliau sedang melanjutkan ke jenjang doktoral.
Ia seketika menggeser laptopnya tatkala saya merosot di hadapannya. Gestur kecil semacam ini memperkenankan rasa hangat yang sulit dilukiskan. Obrolan kami pun mengalir seperti aliran sungai kecil yang membelah hutan. Kami tidak membahas teori Weber tentang rasionalisasi atau institusi sosial ala Durkhei sebagaimana biasanya dalam kelas.
Kami bertutur perkara meaning. Makna dalam hidup, juga tentang mahasiswa-mahasiswa terdahulu yang menghadapi perkara mental serupa dengan saya.
Beliau bahkan mentraktir saya sepiring nasi soto yang sebelumnya saya niatkan untuk bayar sendiri. Mungkin ini sepele bagi sebagian orang, tetapi bagi saya, makan dengan lahap setelah lama kehilangan selera makan adalah keajaiban kecil yang patut dirayakan.
Apa yang membuat diskusi dengan Pak Buk di warung kopi begitu istimewa? Jawabannya terletak pada hilangnya sekat formalitas yang biasanya memisahkan mahasiswa dan dosen. Tidak ada tekanan, tidak ada pretensi.
Seperti yang pernah diungkapkan Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed. Pendidikan yang sejati adalah dialogis. Ia bukan proses di mana seorang guru “menuangkan” pengetahuan ke kepala murid, tetapi proses timbal balik di mana keduanya belajar dari pengalaman masing-masing.
Warkop menjadi ruang di mana dialog itu benar-benar terjadi. Tidak ada papan tulis atau ada kursi yang disusun berbaris. Hanya dua manusia yang berbagi cerita.
Pak Buk menyarankan saya untuk terus menulis di Steemit. Beliau bahkan menuturkan, “Jika merasa tulisannya tidak ada yang baca, kirimkan saja tautannya ke saya. Biar saya yang baca”
Ketika pertemuan itu usai, saya mengucapkan doa singkat kepada beliau. “Semoga Bapak rezekinya lancar,” kataku
Seperti motto majalah TEMPO; enak dibaca dan perlu.
Semoga Pak Buk dan mahasiswinya sehat dan sukses selalu.
Kalo itu jangan tanya lagi ketua, ini penulis favorite saya...
Iya, sy juga
Siap, mari kita support agar dia menjadi Linda Christanty-nya Aceh
Siyaaap
Lagi-lagi, komentar Sir Muna memang tidak pernah gagal membuat saya jadi nggak merasa kerdil lagi. Saya akan coba memperkaya diri agar standarisasi anda tentang “favoritism” terhadap saya bisa jadi lebih tinggi, lebih mantap.
Jangan jadikan dia sebagai "beban", tapi petik itu menjadi passion sehingga benar-benar menjelma menjadi penulis hebat pada masanya...
Wah… saya jadi minder nih. Yang pada singgah di postingan ini master-master semua.😁
Aamiin, semoga kebaikan juga menyertai bapak dan keluarga. Salam sehat dan sukses!
Jangan libur lg menulis. Apa apalagi sampai setahun dua tahun. Karena sekarang sudah banyak yang menunggu tulisannya
Siap. Pasti dicoba, pak.😄
akhirnya nongol juga anak cantik ini, kirain udah sangat sibuk hingga tak sempat lagi bikin postingan. padahal memang seharusnya semakin rajin menulis karena semakin banyak perkara sosial yang muncul disekitarnya dan bertambahnya jumlah orang keren yang dijumpainya.
senang melihat dosen seperti Pak Buk yang bersedia meluangkan waktu "ngopi" dengan bu komlas yang jangan lupa jaga kesehatan juga.
Wow… maestro kita sudah kembali lagi ke dunia persilatan. Justru saat ini saya sedang berupaya mengurangi kesibukan baik di kampus maupun di luar kampus, bu. Terlebih kebanyakan kegiatan mahasiswa yang sifatnya haha-hihi. Bergaul sih tetap, hanya saja kini jadi lebih awas dan menaruh batasan-batasan, mana yang layak untuk “disibukkan” dan mana yang tidak.
Di kampus, pola pikir saya berkembang banyak. Pun dengan orang-orang yang saya jumpai. Bersyukur masih ada orang seperti Pak Buk yang aware soal mental ill, dan lebih bersyukurnya lagi beliau adalah dosen wali saya sendiri.
Semoga Bu Cici sehat selalu, ya. Terima kasih sudah singgah di lapak saya. 🫶
Alhamdulillah, bertemu orang2 baik akan membuat firya lebih sehat juga. Ya, pilih lah aktifitas ukm yg sesuai dgn minat saja. Sudah jelas nggak boleh masuk Leuser yaa 😁
Ingat saja tujuan meninggalkan rumah, kuliah dan cita2 yg ingin diwujudkan. Perkara haha hihi, itu kadang2 perlu untuk keseimbangan hidup. Firya sudah dewasa, tahu apa yg terbaik yg harus dituju.
Semoga mudah semua urusan kuliahnya
Jangankan Leuser, UKM yang lain aja saya ngga ikut bu, hehehe. Perkara sakit dan tidak ingin merepotkan diri sendiri.
Alhamdulilah di semester 5 ini sudah selesai seminar proposal dan KKN, “hanya” tinggal magang dan penelitian saja. Kalau Tuhan menghendaki, saya akan kejar supaya selesai di semester 7. 😄