Perang Aceh - Belanda I Aceh - Dutch War [ Biligual ]
Tanggal 26 Maret 1873 tak terlupakan dari memori rakyat Aceh, pada tanggal itu, kerajaan Belanda mendeklarasikan perang terhadap kesultanan Aceh yang menguasai jalur perdagangan Selat Melaka.
Sebulan setelah deklarasi perang itu, armada perang Belanda yang dipimpin Mayor Jenderal J.H.R. Kohler mendarat di Pante Ceureumen, Ulee Lheue, Banda Aceh, target utama adalah menguasai Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi simbol pusat kesultanan Aceh Darussalam.
DOC : Arsip Aceh
Dari atas geladak kapal Ditadel Van Antwepen yang berada di antara daratan Aceh dan pulau Sabang, maklumat perang itu disampaikan langsung oleh wakil presiden Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuijzen.
Segera setelah maklumat perang itu dibacakan, Belanda mengerahkan enam kapal armada perang, yaitu Citaden Van Antwerpen, Coehoorm, Soerabaya, Sumatera, Marnix, dan Djambi, bersama itu juga ada kapal angkatan laut Siak dan Bronbeek, armada perang pertama yang dipimpin mayor Jenderal J.H.R Kohler mendarat di Pante Ceureumen, Ulee Lheue, pada 16 april 1873.
Keputusan belanda menyerang Aceh tak terlepas dari dibukanya terusan Suez sehingga menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting bagi lalu lintas perdagangan jalur Selat Malaka, sebab, Aceh berada di pintu masuk jalur perdagangan tersibuk itu.
Pada masa itu, Aceh Darussalam merupakan kerajaan berdaulat yang diakui oleh dunia. melalui traktat Sumatera, Inggris dan Belanda mengakui bahwa Aceh merupakan sebuah kerajaan berdaulat dan merdeka. Namun, diam-diam Inggris dan Belanda akhirnya membuat sebuah perjanjian baru yang dinamakan traktat London, kesepakatan ini menganulir traktat Sumatera.
DOC : Arsip Aceh
Traktat London yang dicapai pada 1871 berisikan bahwa Inggris memberikan keleluasaan bagi Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh dan Belanda harus menjaga keamanan lalu lintas Selat Malaka. sedangkan Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Setelah traktat London diteken, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan konsul Amerika serikat, kerajaan Italia, dan kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirim utusan ke Turki Usmani, akibat hubungan diplomatik itu pula, Belanda memutuskan menyerang Aceh.
Saat deklarasi perang di atas geladak kapal Ditadel Van Antwepen itu, kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah yang memerintah dari tahun 1870-1874, deklarasi perang itu disambut perlawanan gigih para pejuang Aceh.
Belanda tidak benar-benar berhasil menaklukkan Aceh, meski pada Januari 1904 sistem kerajaan Aceh berakhir, perlawanan rakyat Aceh terus terjadi, yang dipimpin oleh para ulama, seperti Teungku Muhammad Saman atau Teungku Chik Di Tiro.
DOC : Arsip Aceh
Para ulama mengambil peran menjadi panglima perang, hikayat perang sabil terus didengungkan dari pojok-pojok kampong, gelora perang melawan Belanda pun terus dikobarkan di seantero tanah Jeumpa.
Perang melawan Aceh merupakan kerugian terbesar yang pernah dialami Belanda pada kurun perang dunia kedua, di medan tempur Aceh, ribuan serdadu mereka tewas, termasuk empat panglima perangnya. mayor Jenderal JHR Kohler, panglima armada perang pertama yang berhasil mendarat di Aceh, tewas mengenaskan setelah raganya ditembus peluru mujahidin yang mempertahankan masjid Raya Baiturrahman.
Panglima militer Belanda lain yang tewas di tangan pejuang Aceh adalah mayor jenderal Jljh Pel Bemmeni, Jenderal J.J.K Bemaulin, dan Jenderal Van Der Haiden, jasad kaku mereka kini dimakamkan di Kerkhof Pocut, sebuah perkuburan militer Belanda terbesar yang ada di jantung Kutaraja.
DOC : Arsip Aceh
Engg
March 26, 1873 is unforgettable from the memory of the people of Aceh, on that date, the kingdom of the Netherlands declared war on the sultanate of Aceh which controls the trade route Straits of Melaka.
A month after the declaration of war, the Dutch war fleet led by Major General J.H.R. Kohler landed at Pante Ceureumen, Ulee Lheue, Banda Aceh, the main target was to master the Baiturrahman Grand Mosque which became the symbol of the center of the Aceh Darussalam Sultanate.
From the deck of the Antelepamp van Antwepen ship between Aceh and Sabang islands, the war declaration was conveyed directly by the Dutch East Indies vice-president F.N. Nieuwenhuijzen.
As soon as the war was read, the Dutch deployed six war ships - Citadel Van Antwerpen, Coehoorm, Soerabaya, Sumatera, Marnix and Djambi, along with the Siak and Bronbeek naval vessels, the first war fleet led by major JHR Kohler landed at Pante Ceureumen, Ulee Lheue, on 16 April 1873.
The decision of the Dutch to attack Aceh is inseparable from the opening of the Suez Canal, causing the waters of Aceh to be very important for the traffic traffic of the Malacca Straits, because Aceh is at the entrance of the busiest trade route.
At that time, Aceh Darussalam was a sovereign kingdom recognized by the world. through the Sumatran, British and Dutch treaties recognize that Aceh is a sovereign and independent kingdom. However, silently Britain and the Netherlands finally made a new treaty called the London treaty, this agreement annulled the Sumatran tractate.
The London treaty reached in 1871 contained that the UK gave the Dutch freedom to take action in Aceh and the Dutch had to maintain the security of the Malacca Strait traffic. while the Dutch allowed Britain to trade freely in Siak and surrender its territory in Western Guyana to Britain.
After the London treaty was signed, Aceh established diplomatic relations with United States consuls, the Italian empire, and the Ottoman empire in Singapore. Aceh also sent envoys to Ottoman Turkey, due to diplomatic relations, the Dutch decided to attack Aceh.
during the declaration of war on the deck of the vessel Ditadel Van Antwepen, the sultanate of Aceh was led by Sultan Mahmud Syah who ruled from 1870-1874, the declaration of war was greeted by the persistent resistance of the fighters of Aceh.
The Netherlands did not really succeed in conquering Aceh, although in January 1904 the system of the kingdom of Aceh ended, the resistance of the people of Aceh continued, led by the scholars, such as Teungku Muhammad Saman or Teungku Chik Di Tiro.
The clerics take the role of warlord, sabil war stories continue to be buzzed from the corner of kampong, the surge of war against the Dutch was continuously waged throughout the land Jeumpa.
The war against Aceh was the greatest loss the Dutch had experienced during the second world war, in the battlefield of Aceh, thousands of their soldiers were killed, including four warlords. Major General JHR Kohler, the commander of the first war fleet who managed to land in Aceh, died miserably after his body was pierced by mujahideen bullets that defended the Baiturrahman Great Mosque.
Other Dutch military commanders killed at the hands of the Acehnese warriors were Major General Jljh Pel Bemmeni, General J.J.K Bemaulin, and General Van Der Haiden, their stiff bodies now buried in Kerkhof Pocut, the largest Dutch military army in the heart of Kutaraja.
Kereen....tapi sayangnya pohon kohlernya sekarang uda ga da lagi....tinggal kenangan di foto foto sejarah....
iya bang, tinggal makan nya aja...
Makam
Upvoted ☝ Have a great day!
terimakasih, semoga harimu juga menyenangkan
Usefull posted