Konsep Sosiologi Islam Ali Syari’ati
Islam dan Al Qur'an seperti yang di yakini Ali Syari'ati adalah sumber ide dan kerangka filosofis yang sangat komprehensif, tinggal bagaimana umatnya berusaha mempelajari garis-garis besar seluruh ilmu dan hukum yang tergambar dalam Al-Qur'an dan dihubungkan dengan ayat-ayat alam yang nyata (ayat-ayat kauniyah). Islam tandasnya adalah ajaran yang sangat mengapresiasi dan toleran dalam memberikan kebebasan umatnya untuk berfikir menggunakan kecerdasannya dan berbuat segenap kemampuannya, selama semua itu dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran Islam yang berdasarkan AI-Qur'an dan al-Hadits.
Pemikiran Syari’ati yang sangat penting adalah adalah ajakan untuk kembali kepada “Islam yang benar” karena menurut Syari’ati, islam selama ini telah ditafsirkan secara keliru oleh ulama konservatif sebagai agama yang statis dan cenderung menghamba kepada kepemimpinan politik yang tugasnya memberikan legitimasi atas status quo. Bahkan secara tegas Ali Syari’ati berseru untuk kembali kepada islam yang jelas yaitu merujuk pada islam yang transformatif dan membebaskan. Marwan dan Abu Zarr adalah islam tetapi islam marwan adalah islam penguasa, khalifah sedangkan islam Abu Zarr adalah islam rakyak, tertindas dan jelata.
Konsep pertama yang dikedepankan oleh Syari’ati adalah konsep struktur sosial yang disebut oleh Syari’ati sebagai Struktur Habil dan Qobil. Dalam melihat peristiwa Qabil dan Habil, Syari'ati menggambarkan peristiwa pembunuhan merupakan interpretasi dari worl view kedua kutub antara Qabil dan Habil. Syari'ati memandang bahwa yang sangat mendasar dari cerita tersebut adalah mencermati dan mempertanyakan menurut analisis sosiologi pesan simbolik apa yang dapat diungkap dari peristiwa pada cerita tersebut kenapa salah seorang anak Adam menjadi pernbunuh, sementara yang satunya begitu saleh dan rela mati demi pengabdian dan pengorbanan dirinya kepada cinta kasih Allah. Padahal mereka tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan, kondisi, dan nilai agama yang sama. Ali Syari'ati menegaskan perbedaan di antara kedua anak adam tersebut disebabkan oleh pecahnya kesatuan internal aku, yaitu keseimbangan antara dimensi kebaikan dan kejahatan dalam diri manusia dalam menafsirkan serta menyikapi kondisi obyektif yang ada sesuai dengan cara pandang keduniaannya. Corak pandang tersebut dipengaruhi oleh perbedaan ragam pekerjaan yang dijalani oleh Qabil dan Habil. Image kedua manusia ini mewakili situasi dan kondisi sejarah yang berbeda, Habil merepresentasikan manusia eksis dengan alam-berburu, mencari ikan dan menjinakkan binatang-binatang buas pada zaman pastoralisme (peng- gembalaan) , zaman berburu dan mencari ikan. Di zaman ini manusia menjangkau seluruh sumber alam tanpa ada sikap monopolisme. Lebih jelasnya yang menjadi kutub Habil, ialah mereka yang dikuasai dan tertindas di mana Allah berada pada pihak ini. Sebaliknya Qabil merepresentasikan sisi sejarah di mana sumber-sumber alam dimiliki dan dinamakan dengan nama pemiliknya. Oleh karena itu dari kondisi ini menggambarkan manusia itu sebagai tuan dan budak, penguasa dan yang dikuasai, menindas dan yang ditindas, pembunuh dan yang dibunuh.
Konsep kedua yang dikemukakan oleh Syari’ati adalah konsep Hijrah mengandung suatu gambaran konsep yang membahas dan memerintahkan hijrah yang terus menerus, karena hijrah merupakan faktor kebangkitan. Syari'ati memandang ada dua puluh peradaban yang lahir dari peristiwa hijrah, sehingga tiada suku primitif manapun yang berkembang tanpa melalui hijrah.
Konsep yang juga tidak kalah penting dari pandangan Syari’ati adalah konsep ummah dan Imamah. Syari'ati terlebih dahulu menjelaskan makna Ummah dengan menjelaskan konsep-konsep seperti, Nation, qabilah, qaum, sya'b, syau'bah dan Insyi'ab, thabaqah, mujtama" atau jama'ah, ras (race), massa (mass), people (rakyat), Syari'ati menggunakan istilah ummah untuk menamai jama'ah yang dibentuknya menggantikan istilah-istilah di atas dengan persepsi yang mimiliki gerak dinamis. Sedangkan Imamah, Syari'ati memandang pemimpin itu bukanlah termasuk pribadi-pribadi yang hero dan kepala-kepala suku. Syari'ati juga tidak menyebut seorang imam adalah manusia supra, tetapi manusia super yang selaras dengan tuntutan manusia akan moral bagi kehidupan individu maupun masyarakat, serta selaras dengan kebutuhan intelektual dan psikologis yang selama ini terpenuhi dengan makrifat dan pemujaan pada hero, idola dan kepala suku yang lazimnya mistis. Istilah imamah adalah ungkapan dari pengejawantahan humanisme yang membentuk ruh, moralitas dan cara hidupnya sebagai perunjuk bagi umat manusia tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu.
Pandangan Syari'ati yang menggunakan Al-Qur'an sebagai pisau analisis untuk mengkaji sosiologi Islam. Metode yang digunakannnya dapat dibedakan sebagai metode; dialektika dalam mengkaji peristiwa dari cerita Qabil dan Habil, metode Tipologi yang digunakan dalam mengklasifikasi konsep-konsep Islam dalam mengkaji sejarah, sosiologi, metode komparasi untuk mengkaji Islam sejarah keseluruhan dalam aspek pemikiran dan tindakan, dan menggunakan pendekatan dan metode sosiologi politik dalam mengkaji ummah dan imamah.Bersambung