My story on August 17 last | Ceritaku pada 17 Agustus silam

in #blog6 years ago (edited)

The initial step is the toughest, the wise said. And that also applies to our first step to initiate the red and white flag raising activity at the peak of Mount Burni Telong in 2015 ago. The bright 15th of August is the beginning of our story of the red and white flag raisers team which is the pride of Indonesia and is also a legacy of the heroes who have sacrificed their lives to fight for Indonesian independence. With 10 members who have been selected, we begin to prepare all the necessary needs ranging from administration to licensing departures and trips even to security licenses at our destination.

Langkah awal adalah yang terberat, begitu kata orang bijak. Dan hal itu juga yang berlaku pada langkah pertama kami untuk mengawali kegiatan pengibaran bendera merah putih di puncak Gunung Burni Telong pada 2015 silam. Tanggal 15 Agustus yang cerah merupakan awal dari kisah kami para tim pengibar bendera merah putih yang merupakan kebanggaan Indonesia dan juga merupakan warisan daripada para pahlawan yang telah berkorban nyawa demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beranggotakan 10 orang yang telah terpilih, kami mulai mempersiapkan semua kebutuhan yang dibutuhkan mulai dari administrasi untuk perizinan keberangkatan dan perjalanan bahkan sampai ke perizinan kemanan untuk di lokasi tujuan kami.

Sunday, August 16 2015 at 1:00 p.m., after we had prepared all the necessities such as administration, licensing and food for the location, it was time for us to start our journey to the destination of the red and white flag raising which is the flag of Indonesian pride. Moving from the city of Lhokseumawe, taking a journey of 4 hours with a distance of 150 Kilometers, our team arrived in the highlands precisely in the village of Rembune, Timang Gajah, Bener Meriah District, which was the last village from our team's destination. The distinctive aroma and coolness of the mountains felt even more piercing to the end, the cool weather of the mountains that seemed to make our bodies stiff and did not dampen our intention to hurry up our feet on the mountain that was our goal this time.

Minggu 16 Agustus 2015 pukul 13.00 wib, setelah sebelumnya kami telah mempersiapkan semua kebutuhan seperti administrasi, perizinan dan juga makanan untuk di lokasi, tibalah saatnya kami memulai perjalanan ke tempat tujuan pengibaran bendera merah putih yang merupakan bendera kebanggaan Indonesia. Beranjak dari kota Lhokseumawe, dengan menempuh waktu perjalanan selama 4 jam dengan jarak 150 Kilometer, Tim kami tiba di dataran tinggi tepatnya di desa Rembune kecamatan Timang gajah Kabupaten Bener Meriah yang merupakan desa terakhir dari tempat tujuan tim kami. Aroma dan hawa sejuk pegunungan yang khas kian terasa menusuk hingga ketulang, hawa sejuk pegunungan yang seakan membuat badan kami kaku tidak menyurutkan niat kami untuk bergegas menapaki kaki kami di gunung yang menjadi tujuan kami kali ini.
The hour shows at 17.45 we rushed to walk along the path which is the only route to get to Burni Telong mountain after previously we settled all administration and licensing which is a must for all climbers to be able to continue their journey towards the Burni Telong mountain. It was getting dark, our journey was still very long to get to the shelter or the last campsite before heading to the top of the mountain, the fog descended from the valley as if hinting to us to hurry to the campsite before dark arrived to obstruct our sight. The day was getting darker, our team passed through the wilderness and once in a while we found a coffee plantation owned by the residents while there were wild tones that grinned at the soul.
Jam menunjukkan pukul 17.45 wib kami bergegas berjalan menelusuri jalan setapak yang merupakan satu-satunya jalur untuk menuju ke gunung Burni Telong setelah sebelumnya kami membereskan segala administrasi dan perizinan yang merupakan hal wajib dilakukan oleh semua pendaki untuk bisa melanjutkan perjalanan mereka menuju gunung Burni Telong tersebut. Hari mulai gelap, perjalanan kami masih sangat panjang untuk bisa sampai ke selter atau tempat perkemahan terakhir sebelum menuju puncak gunung, kabutpun turun dari lembah seakan mengisyaratkan kepada kami untuk segera bergegas menuju tempat perkemahan sebelum gelap tiba menghambat penglihatan. Hari semakin gelap, tim kami melewati hutan belantara dan sesekali kami mendapati kebun kopi milik warga sembari terdengar nada-nada belantara yang menyeringai jiwa.
 


After a long time we traced the dark forest due to the night, finally we arrived at the campsite called the last shelter. We immediately set up a tent and also lit a campfire to warm a cold and tired body due to the difficulty of the field on the road, and also be prepared a makeshift dinner while resting a tired body during the trip. At 10:40 p.m. the dinner was ready, we immediately ate the food with gusto without any trace. After cleaning up, we continued to drink coffee while going breeding to prepare for the summit that we will do at 3:00 a.m., at dawn later, after completing the breeding and preparing for the departure, we rested to recover the energy to be fit again.

Setelah sekian lama kami menelusuri hutan belantara yang gelap dikarenakan malam, akhirnya kamipun sampai di tempat perkemahan yang di sebut shelter terakhir. Kami pun segera mendirikan tenda dan juga menyalakan api unggun untuk menghangatkan badan yang dingin dan lelah akibat sulitnya medan diperjalanan, tidak lupa pula kami menyiapkan makan malam seadanya sembari mengistirahatkan badan yang lelah selama perjalanan. Pukul 22.40 wib makan malam pun siap, kami langsung menyantap makanan dengan lahapnya tanpa sisa sedikitpun. Setelah berbenah, kami pun melanjutkan minum kopi sembari melakukan breafing untuk persiapan menuju puncak yang akan kami lakukan pada pukul 03.00 wib subuh nanti, setelah selesai melakukan breafing dan persiapan keberangkatan nanti, kami pun beristirahat memulihkan tenaga untuk bisa fit kembali.

At 2:50 a.m., we were awakened from the sound of sleep and the beauty of dreams, but the other climbers were humbly muttering to build those who slept soundly behind the cold of the night that seemed to stab into our bone marrow. We rushed up to prepare ourselves by doing a little warm-up to stretch our frozen muscles due to the cold at the camp site. After 10 minutes we warmed up, we immediately proceeded to continue the journey to the summit of Mount Burni Telong which was our destination for the Red and White flag raisers. Passing through a dense valley and seeing steep paths along with small rocks, we no longer encountered large and dense trees along the path to the summit, all we encountered were very steep small rocky routes and also a thin mist that covered our journey.

Jam 02.50 wib, kami pun terbangun dari lelapnya tidur dan indahnya mimpi, alaram para pendaki lain terdengan bersahut-sahutan membagunkan mereka yang tertidur lelap dibalik dinginnya malam yang seakan menusuk hingga ke sum-sum tulang kami. Kami pun bergegas bangun mempersiapkan diri dengan melakukan sedikit pemanasan untuk merenggangkan otot-otot kami yang beku akibat hawa dingin di lokasi perkemahan. Setelah 10 menit lamanya kami melakukan pemanasan, kami pun langsung bergerak melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Burni Telong yang menjadi tujuan kami para Tim pengibar bendera merah Putih. Melewati lembah yang lebat dan terlihat jalur terjal disertai bebatuan kecil, tidak lagi kami temui pepohonan yang besar dan lebat di sepanjang jalur menuju puncak, yang kami temui hanyalah rute bebatuan kecil yang amat terjal dan juga kabut tipis yang menyelimuti disepanjang perjalanan kami.
After passing through a difficult and steep route, our team finally arrived at the top of Mount Burni Telong which is one of the active volcanoes in the Gayo highland region. At least around 40 other climbers had arrived at the peak and had prepared equipment for the joint flag ceremony. The dawn who seemed ashamed to show him was present to bring warmth, the rays were so beautiful and the clouds that seemed to form the ocean in our hypnotic ocean were climbers to enjoy the beautiful natural scenery that we rarely even encountered.
Setelah melewati jalur yang sulit dan terjal, akhirnya tim kami pun tiba di puncak Gunung Burni Telong yang merupakan salah satu gunung merapi aktif di kawasan dataran tinggi tanah Gayo. Sedikitnya sekitar 40 orang pendaki lain telah duluan sampai dipuncak dan telah mempersiapkan peralatan untuk melangsungkan upacara bendera bersama. Sang fajar yang seakan malu menampakkan dirinyapun hadir membawa kehangatan, sinarnya yang begitu indah dan awan yang seakan membentuk samudera dilautan menghipnotis kami para pendaki untuk menikmati pemandangan alam yang indah yang jarang bahkan hampir tidak pernah kita jumpai.

Even though the ceremony was over, we did it with gratitude, above an altitude of 2,624 meters above sea level the red and white heirloom had fluttered bravely as if to signal the heroic glory of the previous heroes who had died in the struggle for independence. Not to forget we also took the time to take pictures capturing the beautiful natural scenery above the three mountain peaks of Burni Telong. Once satisfied it was a good idea to capture the beautiful moment, we also rushed down to the campsite shelter and prepared to return to our base camp in Lhokseumawe. It's hard for us to leave this beautiful place as if we want to continue to enjoy its beauty.

Upacara benderapun telah usai kami lakukan dengan khitmatnya, diatas ketinggian 2.624 Meter diatas permukaan laut sang saka merah putih pun telah berkibar dengan gagahnya seakan mengisyaratkan kegagahan para pahlawan terdahulu yang telah gugur dalam perjuangaan demi merebut kemerdekaan. Tidak lupa pula kami menyempatkan diri untuk berfoto mengabadikan pemandangan alam yang sangat indah di atas ketiggian puncak gunung Burni Telong. Setelah puas rasanya mengabadikan momen indah tersebut, kamipun bergegas turun ke shelter perkemahan dan bersiap-siap untuk kembali ke basecamp kami di Lhokseumawe. Berat rasanya bagi kami untuk meninggalkan tempat yang seindah ini seolah ingin terus menikmati keindahannya.


Down the slopes of Mount Burni telong it feels faster than climbing, without feeling we have arrived at the camp shelter, after taking a short break with swiftness we do the packing to finish the climb. We reluctantly returned down one by one the shelter on the Burni Telong ridge until we finally arrived at the Rembune village where we obtained the permit and administered the administration before heading to the summit. We went straight to the bathroom that had been provided to clean ourselves. Washing away the dirt that was attached to the body, who witnessed the ascent of the red and white flag raiser team on August 17 2015, which was truly rich in the value of the philosophy of struggle in life. Leaving memories and learning given by God to brave humans of freedom fighters. Burni Telong once again implies the language that we will always have the desires, plans, and ideals that are pursued in the complexities of an ascent and struggle, but there are other forces that control the plan that creates the Mountain to test our all.

Menuruni lereng gunung Burni telong rasanya lebih cepat dari pada mendaki, tanpa terasa kami telah tiba di shelter perkemahan, setelah beristirahat sejenak dengan sigap kami melakukan packing untuk segera menyelesaikan pendakian ini. Dengan berat hati kami kembali menuruni satu persatu shelter di punggungan Burni Telong hingga akhirnya tiba di desa rembune yang menjadi tempat kami memperoleh izin dan melakukan administrasi sebelum menuju puncak. Kami pun langsung menuju kamar mandi yang telah disediakan untuk membersihkan diri. Membasuh kotoran-kotoran yang melekat ditubuh, yang menjadi saksi pendakian Tim pengibar bendera merah putih pada 17 Agustus 2015 yang benar-benar kaya akan nilai filosofi perjuangan dalam kehidupan. Menyisakan kenangan dan pembelajaran yang diberikan Tuhan kepada manusia-manusia pemberani para pejuang kemerdekaan. Burni Telong sekali lagi menyiratkan bahasa bahwa kita akan selalu punya keinginan, rencana, dan cita-cita yang dikejar dalam rumitnya sebuah pendakian dan perjuangan, tetapi ada kekuatan lain yang mengendalikan rencana yang menciptakan Gunung untuk menguji kesiapan kita semua.



Posted from my blog with SteemPress : https://rizalkonoha92atatatatat.000webhostapp.com/2018/08/my-story-on-august-17-last-ceritaku-pada-17-agustus-silam

Coin Marketplace

STEEM 0.27
TRX 0.11
JST 0.030
BTC 67768.16
ETH 3769.63
USDT 1.00
SBD 3.48