Seperti Kerinduan Nenek
Assalammu'alaikum sahabat steemit! menemani waktu santai sahabat semua, nia suguhkan sedikit cerita romantis nih, untuk anak perantauan yang sudah rindu kampung halaman bisa nih baca tulisan di bawah ini siapa tau jadi semakin rindu hehehehe. yuk check it out! start to read.
Hari ini aku sudah siap mudik. Dengan menggendong tas besarku aku menuju bangku yang telah kupesan. Tiba-tiba, seorang lelaki yang tampak sebayaku menggeser tubuhku seraya menyerobot masuk dan duduk di bangku yang seharusnya milikku.
“Eh mas, ini bangku saya!”seruku kesal.
“Apa? Bangku kamu? Saya udah pesan bangku ini dari kemarin ya, nih liat nih tiketnya” katanya sambil menunjukkan selembar tiket. Akupun tak mau kalah.
“Saya bahkan udah pesan bangku ini dua hari yang lalu. Ini nama saya, bangku nomor 5, berangkat pukul sepuluh.” Aku menunjukkan tiap keterangan di tiket itu padanya. Tapi dia tak menggubris. Dia malah memeluk tasnya dan memejamkan mata. Aku kesal. Langsung kutarik tasnya hingga ia hampir jatuh.
“Ngeyel ya, ini tu tempat duduk saya Mbak” Katanya sambil melotot.
Mendengar kericuhan yang kami timbulkan, kernet bus segera menghampiri kami.
“Apa ini ribut-ribut?” tanyanya dengan sedikit garang
“Coba bapak lihat tiket saya, jelas tertulis kalau ini bangku saya kan pak?” Aku menunjukkan tiketku pada sang kernet. Dia manggut-manggut. Tetapi lelaki aneh itu tak mau kalah dia juga menunjukkan tiketnya.
“enak aja. Nih, bapak lihat tiket saya. Ini bangku saya pak!”
“eh mas, jangan sembarangan dong, saya udah pesan dua hari yang lalu”
“eh saya juga udah pesan dari hari kemarin”
Kernet bus tampak pusing melihat kami.
Grubrakkkkk.... Si kernet menghantamkan pentungan yang sejak tadi dipegangnya ke bangku bus. Aku dan lelaki penyerobot itu saling memandang sengit.
********
Bus sudah setengah jam yang lalu berangkat, kini aku duduk dengan membawa kekesalan. Jelas saja kesal, si kernet itu akhirnya membuat kami duduk bersebelahan. Si penyerobot ini dari tadi tidur lasaknya luar biasa. Aku harus bolak-balik mendorong tubuhnya untuk jauh dariku.
Akhirnya sampai juga di kampung halamanku. Aku turun dan memanggil ojek untuk mengantarku sampai ke rumah. Belum sempat aku naik, tiba-tiba si penyerobot itu menarikku. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa dia turun di tempat yang sama denganku.
“Apaan sih? Kamu ngikutin aku ya?” tanyaku kesal
“Ngaak usah Ge-er, saya Cuma mau nanya alamat ini” ditunjukkannya sobekan kertas berisi sepotong alamat.
“Ngakk tauk! Tuh tanyak aja tukang ojek tu” jawabku ketus. Tanpa melihat isi kertas itu aku langsung pergi meninggalkannya.
Dua tahun tak pulang, Desa ini tampak sangat berbeda. Mamak sudah menunggu di depan rumah. Aku langsung mengambur ke pelukannya. Terasa hangat di pundakku. Rupanya kerinduan mebuat air matanya menetes.
“Anakku, lamanyaa kau nggak pulang nak. Tambah kurus sekarang”
Dilihatnya dengan jeli sekujur tubuhku. Kemudian di belakang sana, tubuh renta nenekku sedang duduk di kursi tua yang sejak dulu menjadi tempat favoritnya. Dia tersenyum ke arahku dan membuka lengannya memintaku untuk datang ke peluknya.
Kemudian segerombolan anak kecil menghampiriku dan menyalamiku. Aku sampai kaget melihat mereka datang bergerombol seperti orang kampanye. Ternyata mereka adalah adikku dan keponakan-keponakan yang sudah beberapa hari berada di sini. Maklum, kami adalah keluarga besar. Seminggu sebelum lebaran semua sanak saudara yang tinggal jauh di luar kota sudah berkumpul di rumah nenek.
“Aldi!! Kenapa lari-lari sih?” Yang kuteriaki malah kabur tak mengindahkan perkataanku. Aku segera keluar melihat apa yang dikejar-kejar anak itu hingga hampir menabrakku.
Aku mengikutinya ke sawah belakang rumah.
Ramai sekali anak-anak berkerumun. Kulihat seorang lelaki di tengah-tengah mereka. perawakannya tampak tak asing. Tapi wajahnya tak kelihatan karena dia membelakangiku. Kemudian dia berbalik dan betapa terkejutnya aku melihat wajah itu. Wajah menyebalkan. Wajah si penyerobot. Mataku melotot tak berkedip memandangnya. Dia malah main mata.
“Eh pengintip, tunggu!!” Jeritnya ketika aku hendak pergi. Aku meneruskan langkahku dan tak kusangka dia mengejar dan sudah ada di belakangku.
“Ngapain di sini? udah jelas kamu tu ngikutin aku kan? Dasar orang aneh”
“Yeehh ge-er. Kenal juga enggak, aku ke sini itu mudik ke rumah nenekku”sangkalnya.
Kemudian aku berpikir. Nenek? Siapa? Kalau orang sini pasti aku kenal.
“Aisyaaaah!.. Aisyah!” Tiba-taba suara perempuan memanggilku
“Aisyah, di sini rupanya kau. Dari tadi aku nyariin kau entah kemana-mana” katanya dengan nafas tersengal ngos-ngosan. Kemudian dilihatnya lelaki penyerobot itu.
“Eh Bang Zaky, udah ketemu kalian rupanya. Ciee..” Sambungnya.
Aku hanya diam tak mengerti. Bang Zaky? Terus kenapa Dewi pakek acara cie cie segala. Melihat kebingunganku Dewi langsung menghela napas.
“Ini lo Bang Zaky yang dulu sering main bareng kita. Masa nggak ingat sih? Yang sering kau tanyain ke Nek Zah tiap kali pulang. Yang dari dulu kau bilang Cuma mau nikah sama Bang Zaky. Ni orangnya udah di depan malah nggak tanda”
Aku memandang lelaki itu penuh selidik.
“Apa kabar Ai? Maaf tak mengenalkan diri waktu di bus” Sapanya ramah. Berubah 360 derajat dari sebelumnya. Senyumnya dengan lesung pipi itu membuatku yakin dia adalah Bang Zaky.
“Jahat!!” Aku malu sekali dan langsung pergi meninggalkan mereka.
Sudah lama sekali Bang Zaky meninggalkan Desa ini, awalnya dia sekolah di pasantren Gontor, lulus dari sana dia mendapat beasiswa kuliah di Kairo. Tak pernah pulang, tak pernah berkirim surat denganku. Sampai aku tak bisa menandainya. Hanya senyuman Bang Zaky kecil yang masih selalu kuingat.
“Aisyah, bantu Mamak nak masukkan rendang ini ke mangkuk-mangkuk”
Mamak menutup lembar flasbackku tentang Bang Zaky. Aroma rendang buatan Mamak memang tak ada duanya. Membayangkan rasanya, menggoyahkan imanku. Tapi ini hari terakhir puasa. Aku harus menang.
“Nenek mana Mak?”
“Di kamar kayaknya, Nggak tau tuh, dari tadi pagi nggak mau keluar, apalagi ke dapur. Biasanya Nenekmu kan paling sibuk kalau ada acara masak-masak begini” Wajah mamak tampak khawatir.
Aku juga khawatir pada Nenekku. Maka setelah selesai pekerjaanku, kuhampiri dia di kamarnya. Tapi saat aku berada tepat di depan pintu kamarnya yang terbuka, aku mendengar suara tangis. Aku tak berani masuk, tapi aku mengintipnya dari pintu. Kulihat nenek memegang bingkai foto seraya mengelus dan mencium gambar di dalamnya.
“Apolah yang kau makan di sano tu yo?, kau tengok lah aku ni, sendirilah aku. Ngapo kau tinggalkan aku ha?”
Tanyanya pada gambar di foto itu dengan bahasa Melayu Deli. Air matanya terus menetes. Sepertinya itu foto Atuk. Atuk memang belum lama pergi meninggalkan kami. Lebaran kemarin dia masih ada bersama kami. Dan ini adalah kali pertama bagi Nenekku lebaran tanpa suami tercintanya. Pasti berat baginya. Bagaimana tidak, mereka menikah sejak usia Nenekku menginjak 12 tahun, dan selama itulah mereka bersama. Sampai usia ke 63 tahun Atuk, menjadi penutup kebersamaan mereka.
*********
Malam lebaran. Suara takbir berkumandang hingga ke pelosok desa. Gemuruh beduk ditabuh memecah riuh menandakan kemenangan. Rumah Nenek juga tak kalah ramainya. Halaman nan luas dihiasi nyala api obor dari bambu. Cucu-cucu Nenek dan anak-anak tetangga begembira memainkan kembang api.
Semua orang sudah berkumpul untuk makan bersama, tapi Nenek tak kunjung keluar dari kamar. Setiap orang bergantian membujuknya. Tapi tak juga berhasil
Sementara itu, di luar, suara anak-anak yang tau apa-apa itu semakin riang saja. Ternyata Bang Zaky ada bersama mereka sambil memegang kembang api besar. Kemudian suara dentuman menggelegar. Kembang api bertabur indah di langit.
Tiba-tiba pintu kamar nenek terbuka. Nenek keluar dengan tergesa-gesa, kemudian berhenti sejenak memandang Bang Zaky yang memegang kembang api sambil tersenyum, kemudian menangis dan berlari menghampiri Bang Zaky dan anak-anak kecil yang tengah bermain kembang api. Kami hanya menatap, tak mengerti maksud nenek.
Tak kami sangka nenek merampas semua kembag api dari tangan anak-anak itu dan juga kembang api di tangan Bang Zaky. Nenek mengomel tak tentu sambil menangis.
“Usah kau mainkan ini lagi! Sudah tak Ado dah dio dah! Dah pogi dio. Usah kau mainkan ini lagi” kata nenek dengan suara parau. Bang Zaky mencoba menenangkan nenek, dipeluknya nenek yang masih tetap meronta.
“Ini Zaky nek, ini Zaky, nenek kenapa?”
Kemudian nenek diam. Tak memberontak. Semua menghampiri. Ternyata nenek tak sadarkan diri. Orang-orang membawa nenek masuk ke kamar.
Hampir satu jam, nenek akhirnya sadar. Tapi tak ada yang berani memulai berbicara dengannya.
“sebenarnya mak, tadi Ai lihat nenek nangis sambil cium foto Atuk”
“Ya Allah, lupa Mamak, pasti ini karna rendang. Patut lah Nenekmu nggak mau ke dapur dari tadi. Kau tau kan Atukmu itu yang paling senang sama rendang ni. Terus Atukmu juga yang selalu belikan anak-anak itu kembang api. Ya Allah, teringatlah Nenekmu pasti sama Almarhum”
Kemudian Bang Zaky masuk ke kamar menghampiri Nenek. Dipijatnya pundak nenek dengan sangat lembut. Seperti tau siapa yang sedang membujuknya, nenek berbalik badan. Dipeluknya Bang Zaky dan dielusnya kepala Bang Zaky.
Bang Zaky menceritakan kisah seorang wanita di zaman Rasul yang tetap tegar ditinggal suaminya. Aku dengar Bang Zaky bilang bahwa kerinduan itu memang tak bisa ditepis, tetapi kita bisa mengalihkan kerinduan itu dengan hal yang lebih bermanfaat. Salah satunya dengan mendo’akan Almarhum.
Bang Zaky berhasil membawa Nenek keluar dan makan bersama. Dia memang dekat betul dengan Nenek dan Almarhum Atukku. Kedua orang tua Bang Zaky sudah meninggal sejak ia kecil. Jadi dia dibesarkan oleh neneknya yang tak lain adalah sahabat nenekku.
Aku menghampiri Bang Zaky yang duduk sendiri di gubuk depan rumah nenek, melihat anak-anak yang kembali bermain kembang api.
“Makasih ya Bang” kataku yang kemudian duduk agak jauh di sebelahnya
“Lama sekali ya Ai Abang tak balik ke sini. Atuk meninggalpun Abang tak tau. kau tau Ai, sejak kecil Atuklah yang mengajari Abang mengaji. Dan abang bisa seperti sekarang ini juga berkat beliau. Atukmu itu baik sekali Ai. Dia selalu mengerti nenek. Patutlah kalau dia tak ada nenek sampai serindu itu padanya” Bang zaky mencoba menerobos dinding waktu.
“Saat Abang pergi, adakah kau juga merindukan Abang Ai? Adakah cintamu juga seperti cinta nenek pada Atuk ? ketika nanti Abang seperti Atuk akankah rindumu juga sebesar itu Ai?” Tanyanya
“Apa maksudmu Bang? Apa belum cukup aku menaggung rindu belasan tahun tanpa kabar darimu? Aku lebih baik tak merindu, karena aku tak ingin kau pergi lagi Bang”
Bang Zaky tersenyum, kemudian memberiku sebatang kembang api lalu mengajakku mendekati obor dan bermain bersama anak-anak kecil.
Malam itu, di bawah sinar rembulan idul fitri dengan dendangan takbir dan gemergik cahaya kembang api, rinduku, rindu nenek, juga rindu Bang Zaky, menemukan penawarnya.
Bagaimana sahabat steemit? jangan Baper yaaa hehe.
sekian tulisan dari saya. Saya yakin banyak yang perlu dikoreksi. untuk itu mohon kesediaan teman teman untuk memberikan saran di komentar yaaa...
salah hormat kepada Para Teacher @masriadi @ayijufridar dan yang lainnya.
juga kepada kakak-kakak keren @nurhayati @annisazulkarnain @yundriana @rukaiyahhusaini @arisrisnadi @wahuyimisman @mainar @irapra @goresanpenaanfal @andikapratama dan yang lainnya.
Aaaa siapa abang Zakiii
hehe itu loh kak... iya ituu
Aaaaaaa 😍😍😍.. Tpi ending nya gua kecewaaahhh😔
Ya ampun.. Kern kali dek @niaramadhani. Gak dibilang baper pun udah baper sendiri. Hehe.
Kenapa gak diselesaikan aja sih ceritanya..?? Itu real story' ya.. ? Cieee
Rindu kampung, tapi tak tega ninggalin kuliah hihi
sabar ya bg #wahyudimisman hehe
Jadi rindu nenek hehe @niaramadhania
tapi nenek nggak rindu sama bg @andikapratama hehe becanda