Waiting fo the Cinema in Aceh | Menunggu (kembali) Hadirnya Gedung Bioskopdi Aceh |
The cinema building in Aceh (Indonesia) has a long history in almost all cities and even small towns like Kuta Blang in Bireuen District (at the past, Bireuen was still part of North Aceh). There's an Ayeum Mata in there with a yellowing screen and a makeshift building. But at certain moments, like holidays or holidays, the cinema is always full.
In Bireuen there are only three theaters; Dewi Theater, Gajah Theater, and PHR (he said, the acronym of the People's Entertainment Stage). In the Dewi cinema, every time there is a screening of new movie Rhoma Irama (the legend artist of Indonesia), long lines occur. Even many who missed the ticket so that the same movie screening is done several times. Midnight sometimes played adult movies. The frightened doorman, known as a thug, immediately pushes out minors who try to infiltrate.
PHR also exist in Cunda area, Lhokseumawe. There was an interesting incident when the famous Malaysian star movie Aceh P Ramlee was screened there. In the movie, P Ramlee is being beaten by men. An uncle P Ramlee who watched the raid immediately drew rencong (traditional weapon) and stabbed the gangster while cursing. The screen was hollow in some parts. This unique event can be confirmed on some surviving eyewitnesses in Cunda.
Other small towns in Aceh also have a movie theater with a variety of simplicity. There is no fear of immorality in a movie theater. If a holiday, seen a family enjoy the entertainment in that place. A film, in addition to entertainment is also the media of “syiar” (read: the greatness), educational, motivational source, despite the penetration of foreign cultures that are not appropriate as well, but here is needed intelligence in choosing and sorting. In Saudi Arabia there is now a cinema also.
In the recent months, the discourse of the cinema building in Aceh again rolled and has caused pros and cons. There is a concern that the cinema will be a place of sin and not a place of entertainment. If that is the case, say some people, the solution is not to reject the theater, but to tighten the supervision and separate the “non-muhrim” (read: unauthorized spouse) men and women. In some music, such a solution has been done.
The nasty is not about place, but a matter of intent. If there have been intentions, the place can be anywhere, including in the mosque as happened in Banda Aceh and Lhokseumawe. When the urge for lust paralyzes ethics and logic, where outlet can happen anywhere, anytime, even to anyone.
We still find it difficult to relinquish the assumption that all that concerns entertainment is sin or the possibility of sin. In fact, worship and sin can take place anywhere. The altar of worship is not always a place to approach yourself with the God, on the contrary. The process of worship that is intended for or missions outside of the pleasure of Allah is not recorded as a reward. Aside from agreeing to disagree with the cinema, we need to straighten out a misconception about the function of a building, including the cinema.[]
Gedung bioskop Puspa di Lhokseumawe. Sampai sekarang, gedung tersebut masih ada meski bukan lagi sebagai gedung pertunjukan.
Source
Antrean di Cinema XXI di Centre Point Medan, Sumatera Utara, yang selalu ramai di akhir pekan.
Photo @ayijufridar
Menunggu Bioskop di Aceh
Gedung bioskop di Aceh memiliki sejarah panjang di hampir semua kota bahkan sampai kota kecil seperti Kuta Blang di Kabupaten Bireuen (saat itu, Bireuen masih menjadi bagian dari Aceh Utara). Ada Ayeum Mata di sana dengan layar yang sudah menguning dan bangunan seadanya. Tapi saat momen tertentu, seperti hari raya atau hari libur, bioskop itu selalu penuh.
Di Kota Bireuen saja terdapat tiga bioskop; Dewi Theatre, Gajah Theatre, dan PHR (katanya, akronim dari Panggung Hiburan Rakyat). Di bioskop Dewi, setiap ada pemutaran film baru Rhoma Irama, antrean panjang terjadi. Bahkan banyak yang tak kebagian tiket sehingga pemutaran film yang sama dilakukan beberapa kali. Tengah malam kadang diputar film dewasa. Penjaga pintu yang sangar dan dikenal sebagai preman, langsung mendorong keluar anak-anak di bawah umur yang mencoba menyusup.
PHR juga ada di kawasan Cunda, Lhokseumawe. Ada kejadian menarik ketika film bintang terkenal Malaysia berdarah Aceh, P Ramlee, diputar di sana. Di dalam film, P Ramlee sedang dikeroyok sejumlah lelaki. Seorang paman P Ramlee yang menonton pengeroyokan itu langsung mencabut rencong dan menikam para pengeroyok sambil memaki-maki. Layar pun berlubang di beberapa bagian. Peristiwa unik ini dapat dikonfirmasi pada beberapa saksi mata yang masih hidup di Cunda.
Kota-kota kecil lain di Aceh juga memiliki gedung bioskop dengan berbagai kesederhanaannya. Tidak ada kekhawatiran terjadinya maksiat dalam gedung bioskop. Kalau hari libur, terlihat sekeluarga menikmati hiburan di tempat itu. Sebuah film, selain sebagai hiburan juga menjadi media syiar, edukasi, sumber motivasi, kendati penetrasi budaya asing yang tak sesuai juga banyak, tetapi di sinilah dibutuhkan kecerdasan dalam memilih dan memilah. Di Arab Saudi juga sekarang sudah ada bioskop.
Belakangan, wacana gedung bioskop di Aceh kembali bergulir dan telah menimbulkan pro dan kontra. Ada kekhawatiran gedung bioskop akan dijadikan tempat maksiat dan bukannya tempat hiburan. Kalau itu persoalannya, sebut beberapa orang, solusinya bukan menolak adanya gedung bioskop, tetapi memperketat pengawasan serta memisahkan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Dalam beberapa gelaran musik, solusi seperti itu sudah dilakukan.
Mesum bukanlah perkara tempat, melainkan perkara niat. Kalau sudah ada niat bermesum-ria, tempat bisa di mana saja, termasuk di masjid seperti yang pernah terjadi di Banda Aceh dan Lhokseumawe. Ketika dorongan nafsu melumpuhkan etika dan logika, tempat pelampiasan bisa terjadi di mana saja, kapan saja, bahkan dengan siapa saja.
Kita masih sulit melepaskan anggapan semua yang berkaitan dengan hiburan adalah dosa, atau berpeluang terjadinya dosa. Padahal, ibadah dan dosa bisa berlangsung di mana saja. Altar penyembahan tak selamanya menjadi tempat pendekatan diri dengan Pencipta, malah sebaliknya. Prosesi peribadatan yang diniatkan untuk riya atau misi di luar keridhaan Allah, tidak dicatat sebagai pahala. Terlepas dari setuju tak setuju bioskop ada, kita perlu meluruskan anggapan keliru tentang fungsi sebuah gedung, termasuk bioskop.[]
Gedung bioskop tua Mulia Agung Theatre di Jakarta masih beroperasi sampai kini dengan membidik segmen penonton kelas bawah.
Photo @ayijufridar
Luar biasa pak, saya setuju dengan apa yang bapak katakan bahwa kita sebenarnya perlu untuk anggapan kita yang keliru tentang adanya bioskop di tanah Aceh. Seharusnya pemerintah Aceh juga bisa berfikir demikian tentang bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah internal seperti ini. Jika Aceh bisa mendirikan bioskop sebagai hiburan semata bagi masyarakat, tentunya ini akan menjadi bagian dari perkembangan serta kemajuan Aceh dari ketertinggalan. Dengan cara memisahkan penonton wanita dan pria itu bisa menjadi solusi demi mencegah yang namanya maksiat. Memang benar, maksiat itu tidak mengenal yang namanya tempat. Bahkan di mesjid saja pelaku maksiat berani berbuat hal seperti itu, ya itu semua juga karena hawa nafsu yang sudah tak terbendung lagi. Namun terlepas dari itu semua, kita hanya bisa berharap bahwa Aceh akan menjadi salah satu provinsi yang maju dari segala bidang dan terlepas dari faktor kemiskinan yang masih menjamur diberbagai daerah :) Saya salut dengan tulisan bapak ini @ayijufridar
Benar @alfarisi. Belum ada bukti dengan adanya bioskop maksiat bertambah, demikian juga sebaliknya. Orang yang di kepalanya mesum, cenderung menganggap bioskop sebagai tempat mesum. Padahal, kegiatan keagamaan juga bisa dimanfaatkan jadi tempat mesum.
Semasa kecil dulu, saya pernah menjadi penjual kacang goreng di berbagai acara di stadion. Dan saya lihat sendiri bagaimana kegiatan keagamaan pun dijadikan ajang maksiat.
Semua itu sebenarnya tergantung dengan si manusianya itu sendiri ya kan pak, karena sejatinya manusia telah terlahirkan dengan akal dan pikiran yang sepatutnya dipergunakan sebaik mungkin. Memang hawa nafsu sulit untuk dibendung, tapi jika iman kuat maka saya yakin gak akan ada yg namanya mesum. Apalagi ditempat2 umum, justru seharusnya Aceh ini terus dimajukan dari segala bidang agar Aceh tidak lagi menjadi salah satu provinsi terbelakangi, menurut saya sih pak :D @ayijufridar
Semua ini juga karena iman seseorang pak. Tapi saya kagum dengan masa kecil bapak yang luar biasa itu, kalau dibandingkan dengan yang sekarang jauh berbeda hehehe.
Ternyata @alfarisi mahir menulis tentang masalah sosial juga. Saya pikir, hanya gape soal programer aja, hehehehe...
Berkesempatan masuk bioskop di penghujung 80 an dan awal 90 an dengan rombongan sekolah untuk menyaksikan "arie anggara", "Tjut Nyak Dhien", "Saur Sepuh", "Cobra" dan beberapa film yanh dibintangi aktor Baru Prima.. Di Kota Langsa dulu seingat saya punya tiga bioskop.
Wah, seru nostalgianya @faluthi01. Saya dulu harus antre dan berdesakan untuk bisa menonton Perjuangan dan Doa Rhoma Irama. Kami nonton di bioskop Dewi, Bireuen.
Kalau hari raya, saya menonton dua film dalam satu hari. Barry Prima, Advent Bangun, itu top bangets. Film Warkop DKI termasuk yang favorit juga. Meski kalau nonton ulang sekarang, kadang lebih terlihat konyol ketimbang lucu.
Langsa juga pernah jaya dengan bioskop bg, ada gajah theater, melati theater, cakradonya theater yang kini telah jadi kantor pemerintahan
Setiap daerah pada masa itu memang ada bioskop @bahtiarlangsa. Bahkan Kuta Blang yang merupkan kota kecil di Bireuen, juga ada bioskop. Makanya perlu dibangun kembali bioskop yang sesuai dengan budaya masyarakat Aceh.
Sang payah tajak u lhok kali nyo tak nging bangunan bioskop jamen nyan @ayijufridar
Mantong na bioskop Puspa nyan jinoe @hbrhabib.
Bacaan yang berkualitas 👨🏼💻 thank for sharing
Aaah, Aan gitu kali komennya, hehehehe.
Meski banyak pro dan kontra semoga suatu saat bisa jadi kenyataan Bang @ayijufridar.
Biasalah di negeri ini semuanya direspon dengan pro dan kontra. Malah banyak yang kontra produktif.
Epik banget itu bagian yang layarnya robek2 hahaha....Saya pertama ke Aceh kaget masak satu provinsi ngga ada bioskop sama sekali, garing banget hahaha. Tp sekarang dah merasa biasa aja, karena makin tua makin ngga suka nonton hehehe
Kisah pamannya P Ramlee menikam layar bioskop itu sungguhan terjadi. P Ramlee itu aslinya dari Lhokseumawe, masih ada keluarganya di sana. Ketika saya kos di Cunda pada 1994 - 1999, kisah-kisah perjuangan P Ramlee menjadi artis legends sering dengar.
Wah, Bunda @horazwiwik sudah tua tidak suka nonton? Saya malah makin tua makin suka menonton. Tapi pilihan filmnya semakin ketat. Tidak menyukai semua film.
O, saya baru tahu kalo P Ramlee itu dari Lhokseumawe. Kecil2 cabe rawit bener Lhokseumawe ini hahaha...
Ya gitu deh bang @ayijufridar. Udah ilang minat nontonnya hehhehe
Ooh ternyata di Bireuen dulu ada tiga bioskop... 😅 Saya baru tau bang...😊 saya pikir cuma Puspa saja...
Seumur hidup, pengalaman saya nonton di bioskop masih bisa dihitung jari bg @ayijufridar. Mungkin sekarang, 'Menanti Kebangkitan Bioskop Aceh' layak disuarakan. Hehehe...
Semoga kedepan di aceh ada bioskop, jd kalau mau nntn gak harus tnggu ke luar kota dlu ato nunggu kaset bajakannya keluar.