[ENG/IND] CLIMATE CHANGE MITIGATION THROUGH THE MANGROVE–BASED SILVOFISHERY
Because of its fertility, the mangrove ecosystems are highly regards as the most biodiversity places on planet. Beside populated by coastal organisms that lives in brackish water, it also inhabited by freshwater and seawater organisms; altogether makes the mangrove ecosystem as a habitat for transit, spawning, foraging and shelter, or else for its life cycle.
Regards the functions and its impacts on overall environment, the mangroves and other coastal ecosystems offering significant opportunities for climate change adaptation and mitigation, including livelihood support, food security and for sea storm/flood protection.
✻ ✻ ✻
Indonesian mangrove deforestation was began since the early 80s, as a direct result from the increase demand and prices of tiger shrimp from importing countries yearly which catapult the tiger shrimps toward the belle of commodities. Anticipated such demand, Indonesia then do increase production of tiger shrimp aquaculture through both ways of intensification and extension.
But each of these had a negative impact on its development, namely: (1) the intensification method through various technologies application that tend to suppress nature and produce environments degradation, and (2) the expansion and conversion of mangrove ecosystem into the massive shrimp ponds, directly destroyed and reduced the total area of Indonesian mangrove forest.
Mangrove deforestation in Aceh
The mangrove forests in Aceh have been undergone conversion to shrimp ponds massively since the outbreak of shrimp export business in Indonesia during 1980s. According to Wetlands International Indonesia Programme in 2006; total area of mangroves in Aceh was approximately 53,512 ha, include within 27,592 ha mangrove area already converted into fish and shrimp pond area. Of the area, only about 26,130 ha of damaged mangrove areas have been rehabilitated with mangrove replants (generally Rhizophora) by various international agencies. There are still about 27,000 hectares of land ponds potential to be rehabilitated by planting a few mangroves in the dike, its surrounding and inside it through silvofishery model.
District of Bireuen with a coastline of 70 KM has a sea area of 23,000 KM, which much broader than 1,901 KM land area. The district well known as a centre of tiger shrimp production in Aceh with a total ponds area reached 4,950 ha, spread across 12 coastal sub–district along west Malacca strait. However, most of the shrimps ponds are now in alarming condition and almost abandoned entirely due to farms looses and harvest failures, thanks to environments degradation and shrimps virus outbreak.
Source
Farms failure and looses
In early, farmers carry out the fishery traditionally and naturally. They nourish and sustain mangrove around and amid ponds, cultivating the shrimp’s seeds obtained in nature, do not need large amounts of industrial feed, and earn sufficient end yields. The traditional method applied do not damage much mangrove ecosystem, and farmers could maintain the ponds’ humus.
Then it changes, due to government ambitions introducing the intensive methods for farmers, in order to meet the export and foreign exchange targets. Farmers who are seduced cutting the all mangrove in ponds to accommodate more seeds, feeding more fodder, with the hope to obtain greater harvest.
At the initial result, farmers indeed earn a plentiful harvest thanks to the ponds humus exist. However, over the time its fertility continues to decline and farmers are forced to use chemical products to maintain ponds in health but leave toxic residue, more and more. Toxic which accumulated for years in the soil layers, eventually polluting the water in ponds and thwarting farms harvest.
Farmers response the shrimps farming failure through replacing their cultivation to milkfish which pricing less than 30% of tiger shrimp. Mean while, the government and private corporates anticipated through creating new ponds above mangrove forest were in healthy condition. End result? According to Wibisono and Suryadiputra (2006) until the year 1999 alone, total area of 36,000 ha mangrove forests in Aceh has been turned into the fishery ponds and the wood taken for charcoal.
Solution: Mangrove-based silvofishery
The only way to reverse above condition is by restoration of mangrove populations through replanting and nurturing acts toward its initial condition (lush forest). Quoting the research results have been done by Wetlands Indonesia organisation, concluded here the direct benefits of mangrove planting against tiger shrimp cultivation are including:
- Pond’s water quality improvement, because the mangrove roots able to "filter" pollutants, decomposing any organic material, excess feeds and microbes found on bed soil/litter which eventually helping to increase the clarity and quality of waters.
- The constructs of pond dike (built from sandy clay soil) will be stronger because it kept by mangrove roots, so that farmers can save maintenance costs of dike embankment. The dikes will be also more comfortable for pedestrians since its overgrown by plant canopy.
- Increased of ponds biodiversity including natural seed of fish and crabs, thus providing new chance of income for farmers too.
More, the Wetlands Indonesia publication also noted that the increasing extent of mangrove forests will supporting the global climate change mitigation and adaptation, as mangrove binding/sequester CO2 from the atmosphere, and protecting residential areas from sea levels tend to rise. Moreover, mangrove also able to reduce the impact of natural disasters, such as hurricanes and tidal waves, preventing coastal erosion and sea water intrusion toward land. As addition, farmers also can use the mangrove leaves as fodder, especially for goat livestock.
Source
For details, please see the Wetlands Indonesia publication here!
MENCEGAH PERUBAHAN IKLIM MELALUI TAMBAK RAMAH LINGKUNGAN
Oleh karena kesuburannya, ekosistem hutan bakau dianggap sebagai lokasi yang paling tinggi keanekaragaman-hayatinya di planet bumi. Hutan bakau selain dihuni organisme pesisir yang hidup di air payau, juga dihuni organisme air tawar dan laut yang menjadikan bakau sebagai habitat untuk transit, tempat memijah, mencari makan, dan berlindung, ataupun untuk kebutuhan siklus hidup lainnya.
Menimbang fungsi dan dampak hutan bakau bagi lingkungan secara keseluruhan, ekosistem bakau bersama ekosistem pantai lainnya memberikan kesempatan yang signifikan bagi upaya pencegahan dan adaptasi perubahan iklim, termasuk peningkatan mata pencaharian, keamanan pangan, maupun perlindungan dari badai dan gelombang pasang laut.
✻ ✻ ✻
Penebangan hutan bakau Indonesia dimulai sejak awal 1980-an, seiring meningkatnya permintaan dan kenaikan harga udang windu dari negara pengimpor setiap tahunnya, dan melambungkan komoditas udang sebagai primadona perdagangan. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Indonesia menempuh upaya peningkatan produksi udang windu melalui usaha budidaya tambak baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Namun kedua upaya ini membawa dampak negatif terhadap perkembanganya yaitu : (1) intensifikasi dengan penerapan teknologi yang cenderung memaksa alam berproduksi membawa dampak penurunan kualitas lingkungan, dan (2) ekstensifikasi melalui perluasan area dengan mengkonversi ekosistem bakau menjadi tambak secara besar-besaran berdampak pada kerusakan dan penurunan luas hutan bakau Indonesia.
Penebangan bakau di Aceh
Hutan bakau di Aceh telah mengalami puncak alih fungsi menjadi tambak sejak merebaknya bisnis udang di Indonesia pada tahun 1980-an. Menurut Wetlands International Indonesia Programme, 2006; luas lahan bakau di Aceh adalah sekitar 53.512 ha, sudah termasuk hasil konversi bakau menjadi tambak seluas 27.592 ha. Dari luasan tersebut, baru sekitar 26.130 ha kawasan bakau rusak yang telah direhabilitasi dengan pohon bakau baru (umumnya jenis Rhizophora) oleh berbagai lembaga dunia. Masih ada sekitar 27.000 Ha lahan tambak yang berpotensi untuk dapat direhabilitasi dengan menanam bakau di pematang dan sekitarnya maupun 'sedikit' dibagian dalam dari tambak melalui model tumpang sari (sylvofishery).
Kabupaten Bireuen dengan garis pantai sepanjang 70 kilomter memiliki laut seluas 23 ribu kilometer bujur sangkar jauh lebih luas dibandingkan dengan luas daratan 1.901 kilometer bujur sangkar. Kabupaten ini dikenal sebagai sentra–produksi udang windu di Aceh dan Indonesia, dengan luas areal tambak mencapai 4.950 hektare, tersebar di 12 kecamatan pesisir sepanjang Selat Melaka bagian barat. Begitupun, sebagian besar tambak saat ini dalam posisi mengkhawatirkan dan nyaris ditinggalkan, dikarenakan kerusakan lingkungan dan serangan virus udang yang mematikan.
Kerugian dan kegagalan tambak udang
Pada awalnya, petani tambak menjalankan usaha perikanannya secara tradisional dan alamiah. Mereka memelihara dan mempertahankan bakau di pinggir dan tengah tambak, menggunakan bibit yang diperoleh di alam, tidak membutuhkan pakan dalam jumlah besar, dan memperoleh hasil panen yang cukup. Metode tradisional ini tidak banyak merusak struktur ekosistem bakau, dan tambak tetap dapat dipertahankan kesuburannya.
Hal ini berubah, seiring ambisi pemerintah memperkenalkan metode intensif kepada para petani, demi memenuhi target export dan perolehan devisa. Petani yang tergoda, kemudian membabat bakau agar luas tambak mampu menampung lebih banyak bibit, memberi lebih banyak pakan, dengan harapan memperoleh hasil panen yang lebih besar.
Pada awal transisi dari cara alamiah ke intensif tersebut, petani memperoleh hasil yang berlimpah dikarenakan tambak masih memiliki kesuburan alamiahnya. Namun, seiring waktu, kesuburannya terus menurun, dan memaksa petani untuk semakin dalam menggunakan produk–produk kimia beracun sekedar menyangga kesuburan tambak. Racun yang digunakan petani setiap tahunnya kemudian terakumulasi dalam lapisan tanah tambak, dan pada akhirnya mencemari kualitas air dalam kolam dan menggagalkan panen petani.
Petani menyiasati kondisi dengan mengalihkan komoditi ke ikan bandeng yang nilai jualnya kurang dari 30% harga udang windu sebelumnya. Sementara pemerintah dan pengusaha swasta mensiasatinya dengan mencari dan membuka lokasi–lokasi tambak baru di areal hutan bakau yang masih sehat dan subur. Hasilnya? Menurut Wibisono dan Suryadiputra (2006) sampai tahun 1999 saja, hutan bakau seluas 36.000 ha di Aceh telah berubah menjadi tambak dan kayunya dijadikan arang.
Solusi: Tambak ramah lingkungan
Satu–satunya cara untuk membalikkan situasi ini adalah mengembalikan jumlah pohon bakau seperti sebelumnya, melalui penanaman kembali dan perawatan. Mengutip hasil–hasil penelitian yang telah dilakukan Wetlands Indonesia, disimpulkan manfaat hutan bakau secara langsung terhadap budidaya udang windu berupa:
- Kualitas air tambak akan menjadi lebih baik, karena fungsi perakaran tanaman mangrove dapat “menyaring” racun dalam air, mengurai bahan-bahan organik, sisa pakan dan mikroba yang berada di dasar tambak, yang pada akhirnya membantu meningkatkan kejernihan dan kualitas air kolam.
- Kontruksi pematang tambak (yang dibangun dari tanah yang liat berpasir) akan menjadi lebih kuat karena terpegang oleh akar-akar bakau, sehingga petani dapat menghemat biaya pemeliharaan pematang tambak. Pematang juga akan lebih nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman bakau.
- Keanekaragaman hayati akan meningkat (termasuk bibit ikan alami dan kepiting), ini peluang bagi petani untuk memperoleh pendapatan baru diluar udang.
Lebih lanjut, publikasi Wetlands juga menyebutkan meningkatnya luasan hutan bakau ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dunia, karena bersifat mengikat CO2 dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut. Selain itu, hutan bakau juga dapat mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan. Sebagai tambahan, petambak dapat mengunakan daun tanaman bakau sebagai pakan ternak, terutama kambing.
Untuk lebih jelas, sila lihat publikasi Wetlands Indonesia disini!
@originalworks
The @OriginalWorks bot has determined this post by @rshahputra to be original material and upvoted(1.5%) it!
To call @OriginalWorks, simply reply to any post with @originalworks or !originalworks in your message!
Postingan bagus ini bg dengan solusinya, karena perubahan iklim sudah jdi masalah seluruh dunia.
Tentu, selain ada banyak solusi lain yang masih bisa digali memadu-madankan kepentingan ekonomi dan lingkungan secara bersamaan. Thanks @indraperdanaok untuk komentarnya. 😊
Thanks bang @bahagia-arbi untuk resteemnya. 😊🙏🏻
lon resteem beh
Thanks adoe @bink.undercover
Congratulations @rshahputra! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the total payout received
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP