Catatan Kebo Lajang; Ketika menangis menjadi paduan suara.

in #esteem7 years ago (edited)

image
mural Idrus Bin Harun

Keempat anak itu - Aku, Heri Susandi, Fakhrul Razi, dan Nur Mahdi – waktu sekolah dasar. Ketika anak-anak lain duduk berdua satu meja, kami duduk berempat. Kemudian datang guru, memindahkan. Aku dan ketiga sepupuku serentak menangis seperti paduan suara, kadang terdengar suara bass dan tenor.

Sebagian anak-anak lain berkaca-kaca mendengar paduan suara kami, amat menjiwai. Bahkan, Mak dan ketiga cecekku sedari tadi berdiri di pintu kelas, tak kuasa tersenyum lebar mendengarnya. Saking menjiwai, air mata dan air liur kami tersungkur ke lantai. Tak berapa lama setelah itu, gurupun ikut iba dan membiarkan kami duduk berempat satu meja.

Aku paling tua diantara mereka. Sejak sekolah dasar, bulu-bulu lebat telah tumbuh di kedua kakiku. Rindang menutup kulit. Seharusnya anak seumurku, kulit kakinya plontos tampa menempel di sana-sini bulu sepertiku. Pernah suatu ketika, aku membeli satu rol lakban dan menempelkan di kedua kaki. Lantas, aku tarik lakban sekencang-kencangnya. Bulu-bulu itupun rontok dan menempel di lakban.

Heri, aku menyapanya seperti itu. Semenjak lahir dan masuk sekolah dasar, dia masih mengemut-emut dot anak bayi. Sekali saja dot itu lepas dari mulutnya, dia akan bersolo karier menangis di hadapan orang-orang. Aku, Fakhrul, dan Mahdi menjadi penonton setianya.

Di tengah kekhusyukannya menangis, dia dengan cepat berhenti begitu saja jika dot menempel kembali di mulutnya. Tak ada tepukan tangan lepas pertunjukan di pertontonkan di hadapan kami, seolah-olah kembali normal.

image

Sementara itu, Fakhrul seorang anak kecil pemalu. Tak banyak bersuara, selalu diam saat guru bertanya sesuatu, semudah apapun , tak pernah dia menjawabnya pertanyaan dari sang guru.

"Sayang, nama kamu siapa? tanya guru.

Dia tetap diam. Menggeleng dan mengangguk kepalapun tak ia lakukan ketika guru bertanya. Saking pendiamnya, suatu hari, Ibu guru memintanya maju ke depan kelas dan memintanya mengeja huruf-huruf abjad di papan tulis .

“I..Bu..Ibu, ” eja guru kami terlebih dulu, di hadapan Fakhrul, sambil mengetuk papan tulis.

“Anak-anak, ikutin Fakhrul ya,”

Tiba-tiba saja. “Dum…dum…dum…,” bunyi papan tulis

Fakhrul memukul-mukul papan tulis meniru Buk guru ketika mengetuk-etuk papan tulis sangat mengeja satu persatu kalimat.

“Ibuk, dia kok gak ada suaranya,” ujar seorang kawan di kelas.

Ibu guru cuma bisa mengeleng-geleng kepala dan mengangkat wajahnya ke langit-langit waktu itu.

Lalu, Mahdi. Dia anak yang keras. Sering berlari ke sana-sini dalam kelas. Selalu mengenakan topi. Rambut tak pernah bernafas lega, seolah ia selalu tersiksa mencium bau topi itu yang jarang di cuci.


https://m.facebook.com/notes/jufri-zal-m-daud/catatan-kebo-lajang-ketika-menangis-menjadi-paduan-suara/10151661363619697/