Peaceful For Acehnese Women As The Conflict's Victim (Bilingual)

in #feminism7 years ago (edited)


Source

Hi Steemit friends,

Hai Sahabat Steemians,

Maybe you’ve heard about Aceh conflict with its own country, Indonesia. The existence of the Military Operations Area implemented by the central government in Aceh at the time of the conflict. has created serious suffering depressed for the people of Aceh, especially for women and children.

Anda mungkin pernah mendengar tentang konflik berkepanjangan yang terjadi di provinsi Aceh dengan negaranya, Indonesia. Adanya Daerah Operasi Militer (DOM) yang diterapkan oleh pemerintah Pusat di Aceh pada saat konflik. telah menciptakan penderitaan dan trauma berat bagi masyarakat Aceh, khususnya bagi wanita dan anak-anak."

The arrest, torture and shooting of people suspected of being GAM fighters and spies made people anxious and enveloped by a sense of fear. This condition causes many men to leave the residence and their families with forced to avoid the target of military soldiers. So most places in Aceh, especially in remote areas, mostly only inhabited by women, children, and parents who are helpless.

Penangkapan, penyiksaan dan penembakan terhadap warga yang dicurigai sebagai pejuang GAM dan cuak membuat masyarakat cemas dan diselimuti oleh rasa ketakutan. Kondisi ini menyebabkan banyak kaum lelaki meninggalkan tempat kediaman dan keluarganya dengan terpaksa demi menghindari incaran tentara militer. Sehingga sebagian besar tempat di Aceh terutama didaerah pelosok kebanyakan hanya dihuni oleh kaum wanita, anak-anak, dan para orang tua yang sudah tak berdaya.


Source

In such an emergency situation, Acehnese women have to struggle to survive and take over the role of husband as the backbone of the family. With the condition of the threatened soul, they must desperately work hard to support their families. Not only that, various forms of violence, such as: torture, sexual harassment, and rape also affect Acehnese women during the conflict.

Dalam situasi serba darurat seperti ini, perempuan aceh harus berjuang untuk bisa bertahan hidup dan mengambil alih peran suami sebagai tulang punggung keluarga. Dengan kondisi jiwa yang terancam, mereka harus mati-matian bekerja keras demi menafkahi keluarga. Bukan hanya itu, berbagai bentuk tindak kekerasan, seperti: penganiayaan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan juga dialami oleh wanita Aceh saat itu.

Sadly, after the conflict ended, the suffering that befell them has not ended. Many of the women and children of victims who were killed during the conflict now live in poverty without the attention and assistance of the government. This is very worrying.

Mirisnya, setelah konflik berakhir pun penderitaan yang menimpa mereka belum berakhir. Banyak perempun dan anak-anak dari korban yang dibunuh saat konflik sekarang hidup dalam kemiskinan tanpa mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah. Ini sungguh memprihatinkan.

Many of them suffer from trauma and loss of life because of the suffering and injustice that always torment their mind and soul. Some are now crazy and committed suicide because they can not bear the disgrace of being the victims of rape in those days.

Tidak sedikit dari mereka mengalami trauma dan kehilangan semangat hidup karena penderitaan dan ketidak-adilan yang selalu menyiksa batin dan jiwa mereka. Ada yang sekarang menjadi gila dan bunuh diri karena tidak sanggup menanggung aib karena menjadi korban pemerkosaan pada masa itu.

Talking about injustice and suffering that always adorn the life of Aceh women, certainly never apart from government policy in governing this country. The government should pay special attention to women and children who are victims or victims' families during times of conflict, especially to those currently living in poverty.

Berbicara tentang ketidak-adilan dan penderitaan yang selalu menghiasi kehidupan perempuan Aceh, tentu tidak pernah terlepas dari kebijakan pemerintah dalam mengatur negeri ini. Pemerintah seharusnya memberi perhatian khusus terhadap perempuan dan anak-anak yang menjadi korban atau keluarga korban pada masa konflik, terutama bagi mereka yang saat ini hidup dalam kemiskinan.

As a woman born and living in Aceh, even though I am not part of the victims or the relatives of the victims, I am very grateful to the Human Rights activists and LBH who have been very helpful in the recovery of conflict-affected communities. However, this does not mean that we as ordinary people have no responsibility to help women victims of traumatized conflict, living in extreme poverty and burden of life.

Sebagai perempuan yang lahir dan hidup di Aceh, meski saya bukan bagian dari korban maupun keluarga orban tapi saya sangat berterima kasih kepada Aktivis HAM dan LBH yang selama ini telah banyak membantu dalam pemulihan terhadap masyarakat korban konflik. Tapi, meski pun demikian bukan berarti kita sebagai masyarakat biasa tidak memiliki tanggungjawab untuk membantu perempuan-perempuan korban konflik yang saat ini mengalami trauma, hidup dalam kemiskinan dan beban hidup yang berat.


Source

As a human, we are obliged to assist them according to their respective capacities. If we are unable to help with matter and are unable to recover their trauma, at least we will support and encourage them to rise to fight for justice and the rights of those who have been robbed of the atrocities of the conflict.

Sebagai manusia, kita berkewajiban untuk membantu mereka sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jika kita tidak mampu membantu dengan materi dan memulihkan trauma mereka, selemah-lemahnya iman kita harus mensuport dan mengajak mereka untuk bangkit memperjuangkan keadilan dan hak-hak mereka yang selama ini telah dirampas oleh kekejaman konflik.




regards,
@yundriana




Sort:  

aku sedih bacanya :(

Perang hnya meninggalkan luka dan air mata. Berbicara keadilan? Hehehehe. Masih jauh dari mimpi kawan. Pemerintah dan legislatif aja belum mampu kompak,

Benar sekali bang
semoga pemerintah bisa terbuka sedikit hatinya utk mau melirik masyarakat, walaupun hanya sebentar
:( :( :(

meskipun perdamaian sudah lama terjalin
namun tetap saja troma masih mendalam berbekas

menghilangkan trauma memang bukan perkara yang mudah, tapi bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi mereka yg sedang merasakan trauma mendalam untuk bisa bangkit dari kesedihan dan berusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Saya gam, dulu saya dilatih oleh pasukan scoth america, diiiii lampoh ranup diiiii banda aceh... (Kata seorang kakek berpeci putih sambil menunjukkan senjata miliknya)

;)

hoalah, saya pikirv bang @jubagarang mantan gam :D :D :D

Semoga kehidupan perempuan Aceh khususnya, Indonesia umumnya semakin baik dan jauh dari kekerasan yang tidak memanusiakan manusia itu.

Bacanya aja sudah sedih, apalagi berada dan menyaksikan secara langsung...

pedih kak @yundriana, konflik telah membawa kita pada level kemanusiaa paling rendah, karena nyawa tiada harga sementara di sisi lain kekuatan mental Orang Aceh untuk bertahan hidup telah di tempa dengan sendirinya.

Luka lama yang belum sembuh