Gadis Cantik dan Segelas Kopi : Fiksi Coba-coba
Segelas kopi siap diminum. Buihnya sangat menggiurkan diikuti aroma yang seketika menohok sarafku. Bagi penikmat kopi, inilah kopi terbaik. Setelah membau, aku menyuruput, tatkala wajahku terangkat. Mataku menangkap seorang sosok yang berbeda. Secara diam-diam aku memandanginya, mulai dari cara dia menyeduh kopi sampai kepala gelas berwarna bening menyentuh bibirnya yang merah. Tiap detil gerak geriknya tak luput dari perhatianku. Di bawah sinar matahari terakhir aku juga bisa melihat senyumnya yang begitu indah, giginya rata dan bersih, setitik tahi lalat melekat tepat di atas bibirnya sehingga sempurnalah kecantikannya.
Matahari mulai turun, seberkas cahaya merah menyapu wajahku yang kusut. Belakangan ini, aku seperti orang terbuang. Setelah diusir dari kost karena tidak sanggup lagi membayar sewa, kehidupanku benar-benar tak tentu arah. Tabungan menipis, tak banyak yang bisa kulakukan sekarang ini selain menghabiskan waktu di warung kopi, berlama-lama di tempat ini tentu bukanlah pekerjaan selain cuap-cuap dan melirik gadis-gadis cantik. Aku menghidupkan komputer jinjing seraya melihat gadis cantik itu, berpura-pura sibuk agar tidak terlihat seperti orang bingung.
Warung kopi bukan lagi tempat berkumpulnya para pemalas dan penganggur melainkan sebuah tempat yang sudah menjadi kantor dadakan tak heran kenapa warung kopi selalu ramai, pagi siang dan malam. Mereka seakan ingin menumpahkan seluruh beban ke dalam gelas kopi. Sebagian lagi memilih tempat itu buat mengunjing dan menilai sikap orang yang lalu lalang, gunjingan ke pemerintah yang tak becus mengurus negeri ini menjadi topik yang sangat menarik. Dalam beberapa kumpulan itu terdapatlah aku, lelaki yang kesepian, yang hanya mampu mengangumi kecantikan perempuan.
Sesekali mataku beralih ke layar laptop. Menulis kata-kata yang sama, pikiranku berhenti bekerja kala melihat perempuan yang berjarak empat meja, dengan penuh percaya diri aku tersenyum padanya, lalu dia menunduk seakan senyumku itu mengandung senyawa kimia yang mengeluarkan bau aneh. Jelbab merah yang ia kenakan begitu padu dengan bajunya berwarna ungu. Aku begitu tidak mengerti kenapa perempuan secantik dia betah di warung kopi yang dipenuhi oleh orang-orang yang nyaris tak sepadan dengannya. Dulu, kedai kopi hanya dikunjungi oleh orang-orang tua, penganggur dan penggila pilem india.
“Namanya Asma!” kata Arbi menyentuh bahuku, sontak aku terkejut.
“Kamu kenal dia?” tanyaku penasaran sekaligus berharap dia mengenalnya.
“Tidak begitu...,” jawabnya sambil menyulut rokok, “kalau tidak salah dia pernah berkenalan denganku tempo hari.
Itu kebetulan saja di saat aku duduk dengan temannya, dia datang menghampiri kami dan setelah berjabat tangan dia beranjak pergi.”
“Lalu?”
“Rahim, yang kasih tau kalau gadis yang kau lihat itu namanya Asma.”
Aku mengangguk sambil berharap dia melihatku. Tingkahnya yang genit itu kian membuat pikiranku kalang-kabut.
Arbi membuka laptop. Lelaki bermisai tipis ini baru seminggu habis kontrak dengan LSM bonafit karena organisasi tempatnya bekerja sudah habis kontrak dengan pemerintah. Wajahnya kusut tak karuan semacam orang yang baru kehilangan seluruh hartanya. Tapi dengan segelas kopi, auranya seketika berubah dan melupakan kesusahan barang sejenak, inilah alasan kuat kenapa kami betah sekali ongkang di warung kopi. Menikmati internet gratis, menyeruput kopi pancung kental perlahan-lahan supaya bisa berlama-lama duduk di warung kopi. Bisa kubayangkan betapa geramnya pemilik warung kopi itu kala melihat pelanggan yang minum kopi pancung dan berlama-lama di warungnya. Tapi biarlah! Kalau pemiliknya tidak senang, kami ikhlas diusir.
Sambil membuka berita, Arbi mengeluh kepadaku, namun apa artinya mengeluh kepada orang yang nasibnya lebih kurang sama. Sebagai seorang teman aku harus mendengar dan sesekali memberi masukan yang barangkali susah diterima.
Azan magrib terdengar samar-samar di antara keriuhan umat manusia di warung kopi tak terkecuali suara halus tapi nyaring dengan lancang meleyapkan suara yang keluar lewat cerobong menara mesjid. Aku merasa makin hari dunia ini makin aneh saja.
Usai shalat, aku kembali ke meja, dan mematikan laptop, layar kubiarkan terbuka agar tidak salah tingkah di saat dia melihatku, dan bila beradu pandang aku bisa berpura-pura mengetik sesuatu meski laptop dalam keadaan mati. Aku menunduk beberapa jemari berpura-pura menekan kibord, dan menoleh lagi ke arahnya yang sedang merapikan jelbabnya. Tak lama kemudian kami beradu pandang lagi, aku kembali menunduk, berpura-pura mengetik dan melihatnya lagi dan begitu seterusnya.Jam terus berdetak tak terasa azan isyapun berkumandang bertanda malam makin menanjak. Gadis itu masih masyuk dengan kawan-kawannya, begitu juga kami. Sesuai janji, kami akan beranjak pulang di saat jarum jam kawin.
sumber
Arbi sibuk membalas komentar di fesbuk sementara aku sendiri juga sibuk memperbaiki rokok kretek yang tekelupas. Lalu, aku hidupkan laptop dan melihat gambar-gambar aneh sesekali melirik Asma. Dunia maya selalu menggiurkan dengan gambar-gambar ganjil bermunculan secara tiba-tiba, kalau ini sering terjadi, maka wajar anak-anak kecil sekarang sudah pandai mengenal lawan jenisnya.
Tak lama kemudian, Ramlan kawan kuliahku muncul. Dia duduk berseblahan. Setelah memesan segelas kopi, dia mengeluh soal pacarnya. Entah mengapa dia memilih bahuku sebagai handuk untuk mengelap airmatanya sementara airmatku sendiri tak tahu harus kutumpahkan dimana. Hidup ini terasa begitu ganjil bila menemukan hal semacam ini. Seperti biasa aku hanya mengangguk sesekali memberi masukan, dan anehnya dia serta merta setuju dengan pendapatku yang aku sendiri tidak nyakin kalau itu benar adanya.
Di sela-sela bercakap dengan lelaki pelit ini aku kembali melirik Asma, kini senyumnya berbeda, sarat dengan makna. Bibirnya masih merah di bawah cahaya bulan, hatiku masih tak tertahan. Seandainya Tuhan menciptakan sedikit saja keberanian dan kepandaian untuk menakluk hati perempuan maka bisa kupastikan dia akan duduk berseblahan denganku, berbincang masalah cinta, kawin, punya anak dan mati bersama.
Aku hanya sedikit menaruh perhatian dengan keluh kesah Ramlan, mengangguk tiap kalimat yang ia keluarkan. Sekarang, aku lebih nyaman melihat gadis itu yang barangkali menaruh hati kepadaku. Ramlan memanfaatkan kelalaianku, dia perlahan mengambil rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Sejak mengenalnya, tidak pernah kulihat dia membeli rokok. Padahal hidupnya terbilang mapan, tiap bulan mendapat kiriman dari orang tuanya yang kaya. Sikapnya sangat menjengkelkanku, aku berdoa semoga Ramlan cepat-cepat pulang. Saking kesalnya, aku berpura-pura tidak mendengar keluhan tentang pacarnya yang gemuk itu. Melihat sikapku seperti itu, Tuhan mengabulkan doaku, dia beranjak pergi dan menyuruhku membayar kopi sangernya.
Kulirik Arbi, dia masih masyuk dengan laptopnya, membaca berita, prediksi skor pertandingan bola, melihat-lihat wajah koruptor yang sedang tersenyum. Aku sendiri lebih memilih belajar menulis, dan bila bosan aku melirik Asma berlagak aku sedang menulis tentang kecantikannya. Tak sengaja aku melihat jam di sudut laptop, sudah menunjukkan pukul 11 malam. Beberapa orang sudah meninggalkan warung Kopi Doi, tapi ada juga yang masih betah, ini termasuk kami dan Asma dengan kawan-kawannya itu.
Kota Banda Aceh nyaris lengang, kendaraan hanya sesekali melintas. Nyamuk-nyamuk tak ingin ketinggalan menghisap darah manusia. Tak peduli nasib korbannya. Sesekali aku mengoyangkan kaki buat mengusir mereka sementara Arbi tak begitu terpengaruh, dia masih asyik dengan dunianya sendiri.
Aku bangun untuk meregangkan otot-otot barangkali darahku sedang bertumpuk di suatu tempat dan perlu dinormalkan kembali. Di saat mengoyang-goyangkan tubuhku, Asma berdiri dan tersenyum lepas kepadaku. Aku membalas, dan tak lama kemudian dia beranjak ke tempat kami. Dia berjabat tangan dengan Arbi, “Kamu kawan Rahim, kan?” Arbi mengangguk dan tersenyum, lalu dia berjabat denganku. Tangannya begitu mulus, aku tidak ingin melepasnya terlalu cepat, tapi aku takut bila kulakukan hal demikian maka aku akan menjadi manusia terkutuk. Asma bercakap dengan Arbi perihal kawannya itu. Rahim ternyata ditangkap di Medan karena kedapatan membawa sabu, itu yang sempat kudengar selebihnya aku tersenyum sendiri sembari mencaci perasaanku yang terlalu berlebihan terhadapnya.
Asma masih berbincang dengan Arbi sementara aku berpura-pura sibuk dengan menulis, dan sesekali meliriknya. Suaranya begitu lembut, gayanya bicaranya tak kalah menarik dengan wanita-wanita cantik yang kerap muncul di tipi. Hatiku kian tak tenang, berkelahi dengan sikap pengecut. Kenapa aku tidak bertanya sesuatu? Atau sekedar menanyakan namanya. Sikap ini kian menyiksaku. Arbi sesekali melirikku, menunjukkan sinyal bahwa inilah kesempatan buatku. Setelah beberapa menit, Asma kembali ke mejanya. Arbi mengomeliku, dia sengaja menahan gadis itu supaya aku bisa mengenalnya. “Bila sikapmu seperti ini, aku nyakin kau akan melajang seumur hidupmu.” Katanya dengan nada kesal.
Sebuah mobil avanza berwarna hitam masuk ke pekarangan warung kopi Doi. Lalu turun dua orang lelaki berkumis lebat, wajahnya hitam, tak sedikitpun menyiratkan bahwa dia pemilik mobil mentereng itu. Gayanya begitu kampungan, sepatu kuning pudar dengan celana jin ketat ia masukkan ke dalam. Kepala tali pinggang berbentuk tengkorak begitu jelas terlihat. Yang satunya lagi juga tak kalah lucunya. Rambut cepak, wajahnya penuh jerawat, baju omblong melorot sampai ke lutut. Sepatu boot yang ia kenakan terkesan seperti dipaksakan. Dengan gaya jalannya seperti dibuat-buat perlahan merapat ke meja Asma. Setelah menarik kursi plastik kedua manusia itu bercengkrama ria dengan Asma dan beberapa temannya.
“Kau lebih tampan dari mereka,” kata Arbi menyemangati.
Aku menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Terasa begitu menyakitkan di saat lelaki bermisai lebat itu menyentuh lengan Asma yang putih mulus. Anehnya, gadis cantik itu tidak merasa risi, dan seolah dibiarkan saja kulit mulutnya dilumat oleh lelaki berperawakan kampungan itu. Pas pukul 12, Asma naik ke mobil hitam itu dan raib begitu saja.
Tak lama kemudian, di saat warung kopi itu mulai sepi. Sepotong kalimat terlintas di telingaku, “Asma bakal mendapatkan banyak duit malam ini.”
Aku terperangah! Dan sekitka itu pikiranku menjadi gelap.
Semua ada makna disaat menikmati Segelas Kopi 😀
Ya, kopi punya cerita,hehe. Terima kasih
Cerita fiksi yang seakan - akan suatu kenyataan, membuat suasana hatiku melayang-layang waktu membacanya ...luar biasa @abduhawab.
terima kasih @abughaisan83
Coba-coba aja segini Bang @abduhawab, gimana kalau sudah srius? Keren ceritanya Bg. Kayak bukam fiktiv😊
hehe..terima kasih banyak 😊
Cukup menarik bg @abduhawab. Enak dibaca
Oh asmaaaaa. Uang bukan lah segalanya. Raih dia bg @abduhawab. Bawa dia kembali ke jalan yang benar. Genggam tangannya. Bersihkan dia dari lumuran dosa.
hehe...keinginan untuk menemukannya kandas sudah bang. kecewa anak muda,hahah
Yaaah, apa hendak dikata. Asma yang malang. Patah berkeping hati bg @abduhawab 😂
Ta pesapat me 14 boh teuk, kajeut ta pegot kompilasi cerpen bang
hehe...mantong tameruno bang. untong na steemit, na pat tapublis, menyo pat laen, mentah2 ditolak bang.
Benar seperti kata @abduhawab, ditempat kita sekarang ini, keberadaan warung kopi dan steemit sudah seperti sepasang kekasih, dan saya sangat suka cerita kopi dan dek Asma ini. Terimakasih bang telah berbagi. Sukses selalu bang.
Sama2 @musliwadi. Terima kasih sudah membaca...
Kopi punya 1001 cerita....
macam 1001 malam😃😃
Cerita yang sangat menarik bng @abduhawab, kalau postingan ini dibaca sama produser, saya yakin pasti bakal diangkat mnjadi sebuah film, dan akan jadi saingannya Dilan dan Milea.
Keren !
Hehee...Terima kasih. Kita masih amatiran @midiagam.
Tulisan yang menarik, penuh dgn imajinasi.
Salam hangat dari dataran tinggi Gayo.