Mas Kawin Untuk Agam
“Apa kabar Dara?”
“Tidak ada perkembangan, dia terus desak aku mengawininya,Orang tua dia tidak mau kami pacaran terus.”
“Wah, itu kabar buruk bro, harga emas naik lagi hari ini. kamu tidak baca koran?” tanya Miswar.
Agam menggeleng, surat kabar tidak pernah memberitakan kabar baik. Harga BBM naik, Harga emas naik, berita mahasiswa mesuem di mushalla, pejabat lembaga rehab-rekon yang korup, dan seabrek berita yang tidak membuat Agam tersenyum.
Cupoe Ijah kelinglungan. Perempuan paruh baya itu berjalan mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Agam, anak bungsunya baru saja membawa kabar tak sedap bagi naluri keibuan Poe Ijah. Setelah petaka Desember basah kemarin, Poe Ijah hanya tinggal bersama Agam.
“25 mayam, darimana kita dapat emas sebanyak itu, Gam?”
Agam duduk di bangku dapur. Nasi lauk kuah asam keueng dan pepes ikan teri masih utuh di piring. Melihat ibunya gelisah, selera makan Agam terbang tinggi-tinggi. Poe Ijah masih mondar-mandir akibat kabar Agam yang berniat mengawini gadis desa tetangga.
“Keluarganya bilang jumlahnya segitu, paling bisa kurang dua mayam,” Agam berkata sepatah.
“Itu bukan soal jika keadaan nanggroe tidak seperti sekarang. Sejak harga minyak tanah naik, usaha pisang goreng kita jelas tidak pernah memberi untung. Setiap hari tombok 25 ribu.”
“Jadi bagaimana Mak?” tanya Agam.
“Batalkan saja niatmu meminang dia, Dara itu bukan tipe kita. Ibu tidak mau menerima malu gara-gara ulahmu,” Poe Ijah membuka pintu dan berjalan keluar. Agam tersentak pada jawaban terakhir ibunya.
Tidak terbayang oleh Agam membatalkan niat meminang Dara sebagai istri. Sembilan tahun sudah hubungan hati terpaut, dari cinta monyet hingga cinta gajah. Berawal dari perjodohan teman-teman ketika main petak umpet di malam pesta anak Pak keuchik Kampong Tunong. Pak Keuchik adalah abuwa Dara yang baik hati. Saat bermain, Dara dan Agam bersembunyi di tempat yang sama dan lupa keluar. Mereka diledek teman sebaya pacaran di tempat gelap. Agam sempat menangis saat itu karena malu, Dara lah yang kemudian menghiburnya.
“Aih, kenangan itu…” leguh Agam, dia merasakan pipinya merah saat mengenang kejadian tersebut. Dara sering memukul perasaan malu itu jika mereka bercanda.
Dara kecil yang lincah kini tumbuh menjadi remaja manis yang riang. Agam tertarik pada kelincahan dan sinar mata Dara yang teduh. Dara gadis tak manja, hanya saja dia terlalu patuh pada orang tua. Bagaimana pun keras Dara terhadap Agam, selalu akan luluh pada bentakan Pak Amat, Ayah Dara. Agam benci Pak Amat yang kurang senang pada hubungannya dengan Dara. Agam bahkan menuduh Pak Amat yang memanipulasi jumlah mayam emas guna mensabotase hubungan mereka.
“Gam..” satu panggilan menyentak Agam dari nostalgia lama, ranah romantisme kecil yang tak lagi tersentuh. Miswar, teman sekerja Agam datang.
“Sudah tahu Gam, Bang Tar menjual mobilnya tadi.”
“Lha, Kenapa?”
“Dia tak sanggup ngisi bensin lagi, mobilnya terlalu boros,” cerita Miswar.
Kini giliran Agam yang melonjak kaget, selama ini dia bekerja sebagai kernet pada Bang Tar, memuat dan membongkar tanah. Mereka tergabung di perusahaan bersama, PT. Tanoh Mirah yang mengeruk tanah di belakang Meunasah Gampong Tunong.
Miswar juga menceritakan PT. Tanoh Mirah akan tutup usaha, selain Imum Meunasah telah melarang penggerukan tanah di belakang Meunasah itu, juga satu per satu sopir dan pemilik mobil telah menjual mobilnya akibat harga bahan bakar minyak naik. Bang Tar adalah orang ke lima yang terpaksa menjual truknya.
“Wah, kita kerja dimana, lapangan kerjanya sudah pada tutup,” keluh Agam berat.
Selama kerja di PT. Tanoh Merah, Agam telah sanggup mengumpulkan lima mayam mas, itu masih terlalu jauh dari jumlah yang harus disediakan guna meminang buah hatinya, Dara. Harga emas dulu masih murah, akibat harga BBM naik, harga emas juga ikut mengepak sayap dan terbang tinggi sekali.
“Mungkin kita akan jadi karyawan lagi di balee jaga,” celoteh Agam
“Itu PT. Gongboh Abadi, tempat jejaka tidur, bercerita dan mimpi,”
“Siapa tahu bisa menyaingi PT-PT yang mengerjakan tender BRR ya?” tambah Miswar, Agam merasa sedikit terhibur oleh sahibnya itu. Nasib telah menjadikan persahabatan mereka menyatu.
“Apa kabar Dara?”
“Tidak ada perkembangan, dia terus desak aku mengawininya,Orang tua dia tidak mau kami pacaran terus.”
“Wah, itu kabar buruk bro, harga emas naik lagi hari ini. kamu tidak baca koran?” tanya Miswar.
Agam menggeleng, surat kabar tidak pernah memberitakan kabar baik. Harga BBM naik, Harga emas naik, berita mahasiswa mesuem di mushalla, pejabat lembaga rehab-rekon yang korup, dan seabrek berita yang tidak membuat Agam tersenyum.
“Kamu harus sabar, jangan sampai tertangkap meusum seperti berita koran kemarin,” Miswar memberi nasehat. Agam tersenyum mendengar kata sahabatnya.
Miswar punya pengalaman soal satu itu, dia dinikahkan orang kampung gara-gara berduaan dengan Aminah di kebun kopi Haji Lah. Untung saat itu belum ada lembaga WH di Gampoeng Tunong. Kalau ada, pasti Miswar akan merasakan dicambuk pakai rotan.
“Kamu jangan ikut-ikut aku, kadang cara seperti itu bikin hidup lebih hidup,” kata Miswar. Agam tidak peduli. Sahabatnya itu mungkin ingin menarik kembali petuahnya dengan cara dia sendiri.
“Entahlah, semoga Dara tak dijodohkan Pak Amat dengan Haji Baka, duda itu sering merayu Dara,” leguh Agam
“Poe Ijah mana?”
“Tadi ibu keluar, dia minta aku batalin mengawini Dara, dia marah.”
“Itu tak mungkin, Poe Ijah senang sama Dara,” Miswar tak percaya
“Iya, tadi dia uring-uringan,” jawab Agam tak semangat
Agam dan Miswar terdiam lama. Di luar, seseorang mengetuk pintu, Agam bangun membukakannya.
“Gam, ibumu mau dipotong tangan di pasar. Dia ditangkap mencuri emas di toko Haji Piah.” Kata Nyak Uma dengan nafas yang masih ngos-ngos.
“Makk…” Agam berlari kencang. Kata-kata terakhir Nyak Umar terus mengejarnya hingga ke pasar.
“Maafkan Mak, Agam.”
Agam menatap muka ibunya penuh memar bekas pukulan. Ada percikan darah di kain batik panjang yang dipakai Poe Ijah sebagai kain penutup kepala. Orang-orang mengerubungi mereka. Ada celaan, hinaan dan tatapan iba.
“Potong saja tangan perempuan itu, beraninya ia mencuri di negeri syariah.”
“Kasihan…”
“Iya, di Arab pencuri dipotong tangannya.”
Agam bangun menatap wajah orang-orang pasar, hatinya panas. Sebongkah batu dia ambil di hadapannya.
“Jangan nak,” cegah Poe Ijah. Orang-orang sedikit menyingkir.
“Maafkan mak tak bisa beri kamu mas kawin,” ucap Poe ijah miris
“Aku tak minta itu, Mak,”
“Mak ingin membahagiakanmu. Maaf, Mak tak bisa jadi ibu yang baik,”
Agam segera memeluk Maknya. Dia ingat Dara dengan hati panas.
awesome
Hai @rifopage! Kami sudah upvote yaa..