PEMBANTAI DAN PENYELAMAT
HARI itu tiga orang asing singgah di kedai kopi Kak Mala. Mereka duduk di pojok utara yang bersisian dengan jalan kampung. Kedai Kak Mala berukuran 6x10 meter; beratapkan rumbia dan berlantai tanah; dindingnya terbuat dari anyaman bambu setinggi 10 meter. Di sisi kiri kedai tumbuh sebatang pohon asam jawa. Kak Mala pernah berniat untuk menebang pohon itu, lantaran akarnya telah menjalar hingga ke bawah dinding. Dia khawatir akar pohon itu semakin hari kian membesar dan dapat merubuhkan dinding kedai yang berwarna biru. Tetapi buah pohon asam itu tidak mengenal musim, kapan saja bisa dijadikan asam sebagai pelengkap bumbu dapur. Itu sebabnya Kak Mala mengurungkan niatnya.
Hampir setiap sore Awan dan teman-temannya memanjati pohon asam jawa di samping kedai kopi Kak Mala. Mereka memanjati pohon melalui cabang-cabang yang menjulur hampir menyentuh tanah, bergelayutan di antara cabang-cabang pohon yang kecil. Kau tidak perlu cemas, lingkaran pohon asam itu besar, cukup kokoh menahan beban anak-anak sebaya Awan. Awan dan teman-temannya biasanya memetik buah asam jawa dalam jumlah banyak. Setelah memisahkan bagian mereka secukupnya, selebihnya diserahkan kepada Kak Mala.
Awan memperhatikan tiga laki-laki asing itu dari tingkap rumahnya seraya menunggu Emak mempersiapkan makan siang. Letak rumah Awan dengan kedai kopi Kak Mala berhadap-hadapan - hanya dibatasi pagar bambu serta jalan kampung yang berdebu. Sejak Republik ini merdeka sampai hari kedatangan tiga orang asing itu, kampung Awan tetap begitu-begitu saja: berdebu, berbatu dan berlubang. Jika musim hujan tiba, jalanan licin dan berkubang. Tiap musim kampanye tiba, orang-orang partai atau calon kepala daerah selalu berjanji akan memperbaiki jalan itu. Tapi lebih licin daripada jalan berlubang itu pada musim hujan, apa yang bisa kaupegang dari dusta para politisi…
Awan tinggal berdua dengan Emaknya. Ketika usianya tiga tahun ayahnya meninggal. Ayah Awan mati bukan karenan ditembak atau diculik oleh serdadu Republik, bukan pula tumpas di tangan para pejuang kemerdekaan seperti ayah anak-anak sebayanya. Ayah Awan mati karena penyakit cacar. Konon, cacar air yang menjalar seperti buah anggur di sekujur tubuh ayahnya adalah kutukan. Cacar itu akan sembuh jika sang ayah mau mengambil tanggung jawab atas sebuah kaul yang pernah diucapkan kakeknya. Kata sahibul hikayat, bertahun-tahun silam, kakek buyut Awan pernah berhajat menyembelih seekor sapi belang jika padi di sawahnya terhindar dari amukan hama tikus. Namun, sampai hari ini sapi yang dijanjikan itu tidak kunjung disembelih. Entah bagaimana caranya, mungkin garis keturunan, ayah Awanlah yang terkena imbas dari kaul sang kakek buyut. Ayah Awan bukan tidak mau terbebas dari kutukan itu, tetapi kau tahu, sapi belang adalah jenis sapi paling langka. Cacar air tidak dapat menunggu, sebelum sapi belang didapat, ayah Awan sudah lebih dahulu dijemput maut.
Sambil menyantap makan siangnya, Awan tetap mengawasi tiga orang asing itu dari tingkap rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu. Walaupun agak malu-malu, ingin sekali dia meloncat keluar tingkap, datang ke kedai dan mendengar apa yang dibicarakan oleh tiga orang asing itu. Dia bosan betul dalam dua bulan ini, Emak melarangnya keluar rumah. Paling jauh dia hanya boleh main ke kedai kopi Kak Mala. Emak mengatakan tentang orang-orang yang diculik. Dua minggu lalu, dua mobil reo milik Tentara Republik membawa pergi Wak Hamid. Truk-truk itu kembali membawa pergi Cek Leman kemarin malam. Awan pernah membantah Emaknya, dia mengatakan bahwa yang diculik adalah orang dewasa, bukan anak-anak seperti dirinya. Tapi sebuah tamparan membuat Awan bungkam dan tidak ingin berbantahan lebih lanjut.
“Setelah makan kau jangan ke mana-mana. Lihatlah langit hitam, sepertinya hujan akan turun. Jangan lupa masukkan sapi ke kandang sebelum hujan turun,” Emak berpesan sebelum pergi lagi ke sawah.
Setelah memastikan Emak sudah menjauh dari rumah, Awan pun menuju kedai Kak Mala.
Sial, Kak Mala tidak ada di kedai. Setelah membuat tiga gelas kopi untuk orang asing itu dia mungkin pergi mencuci cawan dan piring di sebuah sumur tua di belakang kedainya. Mendapati kenyataan itu, Awan hendak berbalik menuju rumahnya.
”Itu rumahmu anak kecil?” Pertanyaan salah satu dari tiga orang asing itu menghentikan langkah Awan. Yang bertanya adalah lekaki berjaket hitam. Sekarang muncul keberaniannya dan tampaknya para lekaki ini cukup ramah.
“Iya,” jawab Awan.
“Siapa namamu?” tanya laki-laki itu lagi.
“Awan.”
“Tetanggamu yang itu,“ laki-laki tadi menunjuk sebuah rumah. “Yang di sebelah barat, siapa nama pemiliknya?”
“O…Bang Saleh. Tapi dia jarang di rumah, dia kerja di kota.”
Mendengar jawaban Awan, ketiga laki-laki itu saling menatap. Tidak lama kemudian mereka pergi meninggalkan warung Kak Mala. Kepergian mereka disertai hujan yang mulai jatuh satu demi satu. Benar kata Emak, hujan turun. Awan harus segara pulang memasukkan sapi ke kandang.
Seperti biasa, pagi-pagi sekali Awan telah bangun. Dia menimba air lantas menampungnya dalam sebuah ember untuk minuman sapi. Fajar itu di tengah keremangan yang tidak begitu sempurna, tiba-tiba dia melihat bayang-bayang hitam berkelebat di hadapannya. Awan tekejut, hampir saja timba di tangannya jatuh. Bayang-bayang hitam itu datang dari arah rumah Bang Saleh. Dari balik sumur,
Awan memperhatikan gerak bayang-bayang hitam itu. Penasaran, membuat Awan mengendap-ngendap mengikuti bayang-bayang.
Kini jarak antara dirinya dengan bayang-bayang itu hanya lima puluh meter. Awan menahan nafas sekaligus menundukkan rasa takutnya. Dia dapat melihat dengan jelas Bang Saleh dengan tangan terikat ke belakang sedang digiring oleh tiga laki-laki yang dua hari lalu dijumpainya di kedai kopi Kak Mala. Mereka menggiring Bang Saleh dari belakang, melewati hutan kecil yang tumbuh mengelilingi desa, menuju ke utara. Awan tahu, itu merupakan jalan menuju Gunung Panglima, rimba belantara tempat para pejuang kemerdekaan berkumpul. Mereka melewati sebatang pohon besar, mungkin umurnya sudah puluhan tahun, benalu-benalu bergelayutan di atas dahan-dahannya yang juga sudah membesar; anggrek hutan juga menumpang hidup pada batangnya.
Awan terus mengikuti tiga orang asing yang menghela Bang Saleh hingga sampai pada sebuah perkampungan. Lebih tepatnya perkampungan buatan. Nampak sekitar dua ratus pemuda sedang berdiri menghadap arah matahari terbit, membungkuk, berjongkok, merentangkan tangan, menyentuh wajah ke tanah, mengangkat tangan ke atas kepala. Mereka memakai kain pengikat kepala yang bertuliskan ASKAR. Sepertinya mereka anak-anak muda yang baru diajak untuk bergabung dalam pasukan pejuang kemerdekaan.
Tidak jauh dari barisan itu juga terlihat delapan laki-laki muda yang sedang melakukan latihan menembak. Mereka menembak sebuah benda yang mirip seperti orang-orangan sawah. Ada kepala, leher, kedua tangan, badan, pinggul dan kaki. Benda itu terbuat dari goni bekas yang diisi daun-daun kering hingga berbentuk boneka besar. Boneka itu mereka gantung pada sebatang pohon kemiri untuk ditembaki secara bergiliran.
Bang Saleh rupanya tidak dibawa menuju kampung buatan itu. Tiga lelaki asing itu berbelok melalui sebuah cabang jalan yang sepertinya baru beberapa bulan dibuat. Dengan mempertahankan jarak dari mereka, sambil mengendap-endap, Awan tergoda untuk terus mengikuti mereka. Awan menyadari bahwa dia sudah masuk terlalu jauh ke belantara Gunung Panglima. Dia mulai mendengar kicauan burung, suara jangkrik dan juga suara cacing hitam. Dikejauhan samar-samar terdengar percik air. Sekarang suasana agak sedikit gelap. Awan merasa takut, tatapi dia sudah terlanjur berhasrat untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada Bang Saleh.
Di tepi sebuah sungai ketiga laki-laki itu berhenti. Salah seorang dari mereka mengambil botol minuman dan mengeluarkan sebatang golok. Laki-laki itu menutup mata Bang Saleh dengan kain hitam, lalu meneguk air dalam botol minuman. Mereka, tiga laki-laki itu, juga mengikat kepala masing-masing dengan kain hitam yang bertuliskan ASKAR - kain serupa yang dipakai oleh anak-anak muda yang berdiri menghadap arah matahari di perkampungan yang baru saja dilewati Awan.
Awan merapatkan tubuh kecilnya pada sebatang pohon besar. Dia mencari posisi yang tepat untuk berpijak hingga tiba-tiba dia tersandung. Awan mencoba menyingkirkan benda yang hampir membuatnya jatuh, Awan terbelalak, ternyata benda itu mayat. Mayat tanpa kepala, batinnya berteriak. Dia gemetar. Dia ingin memastikan sekali lagi benda yang baru saja dilihatnya. Ini betul mayat tanpa kepala. Darah pun masih segar. Ketakutan Awan sekarang telah sempurna. Dalam ketakutan dia mencoba menegakkan kepala, dia tidak ingin kehilangan jejak Bang Saleh. Di luar dugaannya, matanya menangkap sekelebat gerakan golok yang diayunkan lelaki yang minum dari botol minuman; lelaki yang pernah mengajaknya bicara. Awan kehilangan kendali dan sambil berlari dia meraung. Dia tidak tahu tiga lelaki terkejut oleh teriakannya dan mengikutinya dari belakang.
Awan terus berlari menembus kabut yang tak kuasa ditembus oleh sorotan cahaya matahari pagi. Lalu dia tersungkur oleh seonggok akar kayu purba di belantara itu.
Ketika Awan tersadar hari sudah gelap. Awan menggeliat. Pertama-tama yang diraba adalah lehernya. Lehernya masih utuh. Awan bangkit dan kembali berteriak. Kali ini dia berteriak memanggil Bang Saleh. Dia berpikir dia bermimpi, sebab dia kini berada di rumah. Dia bangkit dengan tergesa-gesa, membuka pintu kamarnya. Rumah kosong dan sepi. Emak tidak ada. Lalu dia melihat ke luar rumah, ke arah rumah Bang Saleh. Ada keramaian di rumah Bang Saleh. Dia pun berlari ke sana, di rumah itu didapatinya orang-orang sedang mengerumuni jasad Bang Saleh.
Awan gemetar demi melihat tiga laki-laki asing itu duduk di sebelah jasad Bang Saleh. Awan ketakutan, dia ingin kembali berlari, tetapi Emak dan warga desa yang sedang melayat buru-buru menahannya. Awan menunjuk ke arah tiga laki-laki itu, dia ingin bercerita tentang semua yang sudah dialaminya, tapi suaranya tersumbat, demi melihat sesuatu, seperti kilatan, di mata tiga laki-laki itu.
“Awan,” kata salah seorang pelayat. “ Berterimakasihlah kepada tiga panglima kita ini. Berkat mereka engkau selamat dan jenazah Bang Saleh bisa kita kuburkan di kampung. Andai para panglima ini tidak menemukan jasad Bang Saleh, nasib Bang Saleh akan sama dengan nasib Wak Hamid dan Cek Leman yang sampai sekarang tidak kita ketahui keberadaannya.”
Awan tetap membisu dan tidak hendak bergerak dari tempatnya berdiri. Dia tidak mau melangkah untuk sekedar bersalaman dengan tiga laki-laki itu. Tatapan matanya kosong. Lalu Emak memapahnya kembali ke rumah.
Dari tingkap rumahnya Awan kembali menatap kedai kopi Kak Mala, matanya menerawang menelusuri pohon asam jawa yang rimbun. Selembar daun asam jawa seukuran kacang tanah jatuh tepat di bawah jendela.
*
Kutaradja, 17 Oktober 2012
Source
cutmeutiya.blogspot.co.id/2012/12/pembantai-dan-penyelamat.html?m=1
Hallo, hai @farahtjut! Kami upvote yaa..
Terimakasih @puncakbukit
Terimakasih @puncabukit
Ditunggu cerita selanjutnya kak Kalau perlu bikin yang ada part-nya.
Terimakasih @rizkisitompul
Kita tunggu bukunya kak @farahtjut
Banyak kisah menarik yang ingin kami dengar dari kakak.
Semoga sukses di steemit kak
Terimakasih @jeffryphysio, bukunya nanti yaa, waktu umur kami sdh 60 thn. Hhhh
Hana tinggai meusaboh huruf pih lon baca. Meusaneut that kak cut @farahtjut
Terimakasih bang @musyawirwaspada, galak-galak tatak sige
cerpen kah ? alurnya menarik. sudah di upvote ya. jgn lupa upvote kembali @farahtjut, thanks.