Senyap (The Look of Silence), Sebuah Film yang Menyajikan Kebenaran Alternatif tentang Partai Komunis Indonesia
Film dokumenter telah lama digunakan untuk menghadapi masa lalu yang pahit dan ada kalanya dibuat untuk menjadi alat rekonsiliasi. Pendekatan estetis dan teknis untuk melakukannya sangat beragam dan film ini merupakan salah satu contoh menarik tentang bagaimana film menziarahi masa lalu. Pertama-tama yang sangat jelas sejak awal adalah film ini bertempat pada masa sekarang dan mempersoalkan apa yang terjadi saat ini sebagai akibat masa lalu. Patut diingat bahwa film ini bukan upaya rekonstruksi tentang peristiwa lampau dan karena itu di dalamnya tidak banyak kita temukan elemen-elemen faktual mengenai masa lalu. Mari meninjau bagaimana film ini membangun kisahnya.
Di dalam film ini Adi Rukun, seorang penjual kacamata keliling, bergelut dengan kehilangan yang dialami keluarganya karena kematian kakak lelakinya. Ayahnya sudah berusia 100-an tahun dan tidak lagi terlalu awas, sedangkan ibunya yang juga sudah tua masih terlihat berduka karena kematian si kakak dan dengan rinci masih mengingat peristiwa kehilangan itu. Adi yang lahir tahun 1968, tidak mempunyai ingatan langsung tentang apa yang terjadi tapi tumbuh besar dengan kehilangan kedua orang tuanya. Karenanya, pemilihan Adi untuk menelusuri peristiwa itu dengan mendatangi para pelaku menempatkan film ini pada masa sekarang dengan dampak atau traumanya pada orang yang bahkan belum lahir saat kejadian. Pada saat yang sama, penempatan Adi dan kisah orang tuanya sebagai subjek cerita memungkinkan penonton melakukan identifikasi dengan mereka sebagai keluarga kebanyakan dan memahami cerita ini sebagai kisah yang universal, bukan suatu hal yang terjadi nun jauh di Indonesia sana.
Meskipun cerita film ini dibawakan oleh suatu keluarga biasa, tapi situasi yang mereka alami sangat ekstrim. Pembuat film mempersiapkan penonton menghadapi situasi ini dengan mengajukan serangkaian premis pada pembukaan film: mata yang sedang mengenakan kacamata periksa (ajakan untuk memeriksa ulang persepsi tentang pokok persoalan di sini), biji-bijian yang menggeliat (ada sesuatu yang terperangkap, tak terlihat dan ingin keluar) lantas judul film muncul dan seorang laki-laki dewasa di hadapan monitor televisi (penglihatan terhadap sesuatu yang berjarak, tapi amat relevan). Kemudian ada latar jalan gelap dengan rentetan truk melintas dan teks keterangan tentang peristiwa 1965, dilanjutkan dengan suara seorang ibu yang menyatakan kerinduan pada anaknya Ramli. Lalu kita diperkenalkan kepada keluarga si protagonis melalui si ibu.
Apa yang kita lihat pada pembukaan film adalah salah satu kerja editing/penyuntingan yang paling menantang: bagaimana membungkus janji filosofis dan estetis sebuah film dalam lima menit pertama. Seluruh film ini, walaupun sarat fakta, tapi lebih sarat lagi dengan interpretasi. Sepintas film ini kelihatan seperti penjelasan tentang apa yang terjadi dan nyaris tak seorangpun terlihat kelewat emosional atau ketakutan. Akan tetapi ada banyak keputusan editing (pemilihan shot dan urutannya) yang membuat rangkaian ini mengungkapkan hal-hal abstrak yang sangat pedih serta mengerikan dan penontonlah yang merasakannya. Tak sepatah kata pun diucapkan oleh pembuat film tentang impunitas, baik lewat teks maupun ujaran, tapi kita menyaksikannya langsung. Ini adalah salah satu contoh bagus dan klasik tentang cara menunjukkan (to show), bukan menceramahi (to tell), suatu hal abstrak seperti impunitas dan rasa tiadanya keadilan.
Sebagai warga negara Indonesia yang merasakan bagaimana isu komunis ini didoktrin sebagai sesuatu yang tidak baik sejak dari sekolah dasar, saya merasakan sesuatu yang berbeda dari film-film yang saya tonton sebelumnya. Walaupun sebelum menonton "Senyap" ini, saya sudah berusaha mencari tau dan mempelajari dari sisi yang berbeda dengan apa yang diajarkan sejak kecil. Bukan berarti kemudian saya menemukan kebenaran. Tetapi "Senyap" saya rasa bisa jadi sebuah film untuk memeriksa kembali "kebenaran" yang tunggal, yang sudah dimonopoli (Seperti shoot seseorang dipakaikan kacamata pada pembukaan film).
Selain beberapa shoot pembuka yang menunjukkan interpretasi sutradara, saya menemukan interpretasi lain hampir di semua scene film. Salah satu hal yang membuat Senyap ini bisa dibawakan secara apik dan terlihat tanpa keterlibatan sutradara di dalamnya adalah dengan menggunakan gaya bertutur "refleksif". Pemilihan shoot serta penyusunannya (seperti sebelum Adi mendatangi salah satu pembantai, terlebih dahulu dihadirkan shoot Adi menonton rekaman mereka menceritakan pendapat kepada Joshua) menampakkan Joshua berada di pihak yang mana.
Di beberapa scene, raut muka Adi Rukun yang seperti menyimpan kemarahan ketika dia dengan sabar membangun pertanyaan hingga membuka diri bahwa dia adalah keluarga korban pembantaian merupakan bagian dari interpretasi yang lain dari sutradara. Saya merasakan kemarahan serta kekecewaan atas pembantai dan kesadaran bahwa itu sesuatu yang sudah terjadi di masa lalu, sekaligus. Menurut saya, begitu pula yang dirasakan Adi Rukun terhadap pembantai abangnya tersebut. Berbeda dengan Adi, orang tua (ibu) belum bisa memaafkan pembantaian tersebut, tetapi kekuatan yang dimilikinya bahkan hanya untuk mengurusi suami yang sudah lemah. Adi yang tidak melihat secara langsung peristiwa tersebut lebih bisa menerima apa yang telah terjadi.
Walaupun maaf adalah kata yang paling berat untuk diberikan, karena menghadapi kenyataan bahwa pembantai itu masih hidup dengan tanpa adanya keadilan, juga melihat sebagian dari mereka juga tidak bisa menikmati hidup lagi secara normal mungkin menjadi alasan bagi Adi untuk bisa menerima mereka berada dalam lingkungannya.