Sexy Killers dan Kembalinya Hakikat Sinema
Sexy Killers, sebuah film dokumenter yang membuat heboh seantero Indonesia dan berhasil mempengaruhi cara berfikir penonton dalam waktu singkat. Film ini merupakan edisi terakhir dari sesi perjalanan Dandhy Laksono dan Suparta dengan tajuk Ekspedisi Indonesia Biru. Sebelumnya, Watchdoc (rumah produksi Sexy Killers) juga menerbitkan dokumenter lain, diantaranya; Kala Benoa, Samin vs Semen, Made in Siberut, The Mahuzes, Boti, Gorontalo Baik, dan Asimetris. Sexy Killers telah ditonton bareng sedikitnya 500 titik lebih di seluruh Indonesia dan 10 juta view di Youtube. Ini merupakan pencapaian yang luar biasa dari sebuah film dokumenter. Pada tahun 2011, Festival Film Indonesia (FFI) tidak menyiarkan secara langsung penganugerahan untuk kategori film dokumenter. Sejak itu, film dokumenter menjadi tidak semewah film fiksi di ruang publik bahkan pada festival film. Film kemudian beranjak dari barang publik menjadi barang komersial. Di Aceh sendiri, film dokumenter lebih dianggap sebagai video jurnalistik alih-alih sinema.
Oleh sebab itu, hadirnya Sexy Killers dianggap sangat penting untuk mengembalikan sinema kedalam ruang yang wajar. Selain berhasil meraih banyak penonton, Sexy Killer juga sukses menciptakan public deliberation, pengambilan keputusan. Tidak berhenti disana, film ini sudah membangun sebuah diskusi lintas usia, profesi, dan ilmu pengetahuan. Berbagai opini muncul menanggapi film dengan durasi 1:28 menit ini. Tulisan-tulisan ilmiah terkait tambang batu bara, pencemaran lingkungan, sumber energi terbarukan mulai ditulis kembali dengan mengaitkan pada film Sexy Killers. Inilah hakikat sinema, berada dalam panggung utama diskusi soal-soal lingkungan, sosial, dan politik. Tidak berada di pinggiran, atau menjadi penggembira dan penyumbang bagi "pertumbuhan GDP" semata.
Munculnya keputusan penonton untuk tidak memilih calon manapun dalam pemilihan umum tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan film. Kita harus sadar bahwa tidak segala tindakan manusia itu dikendalikan oleh aspek rasional semata. Perilaku pemilih di Indonesia juga banyak didorong oleh sentimen dan hal-hal emosional lainnya. Hal ini kemudian tidak bisa terhindarkan karena dalam pemilihan umum kali ini memang mengekspoitasi hal tersebut. Maka bisa diamati lebih dalam bahwa Sexy Killers justru ingin keluar dari jebakan-jebakan kampanye yang bersifat emosional dengan menawarkan pandangan berupa konsekuensi lebih jauh dari pilihan-pilihan politik. Sexy Killers melampaui wacana politik elektoral, ia mengajak untuk memikirkan ulang industri batu bara yang berbiaya tinggi secara lingkungan, politik, dan sebagainya. Namun, setelah film dihadirkan ke publik, maka sutradara telah mati. Dandhy bahkan sepertinya tidak membayangkan filmnya akan ditanggapi dengan beragam dan mempengaruhi keputusan penonton.
Era film dokumenter di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Hindia Belanda. Film tersebut dibuat oleh orang Belanda untuk ditontonkan di negara mereka. Film biasanya memuat informasi tentang aktifitas pemerintah kolonial dan kultur masyarakat di Indonesia. Setelah Jepang masuk ke Indonesia (1942-1945), film dokumenter mulai digunakan untuk propaganda perang untuk memobilisasi warga pribumi dalam membantu perang Jepang di Asia-Pasifik. Film dokumenter adalah satu-satunya genre yang diloloskan Jepang di Indonesia. Jepang menutup banyak studio film yang dimiliki oleh pebisnis Belanda. Dalam periode ini, Nippon Eigasha membuat banyak film dokumenter dibawah kontrol Seidenbu (Departemen Propaganda Tentara Jepang). Jepang memutar film-film tersebut melalui layar tancap ke desa-desa. Film-film yang diputar antara lain; Dibawah Bendera Nippon (1942), Bekerdja (1943), Tentara Pembela (1944), Perdjoeangan Kaoem Moeslim Soematra Baru (1945) (Prakosa: 1997).
FIlm Sexy Killers adalah salah satu contoh media alternatif yang independen. Independen di sini berbeda dengan netral. Watchdoc, sebagai rumah produksi Sexy Killers biasa mengambil satu persfektif saja dalam karya-karyanya. Mereka menggugat prinsip cover both side yang biasa dianut oleh media-media mainstream. Untuk survive, Watchdoc sering kali harus menyeimbangkan ideologi yang mereka anut dengan kebutuhan untuk kelangsungan hidup rumah produksi ini. Watchdoc dengan karya-karya film dokumenter alternatif mereka yang kebanyakan masuk dalam kategori dokumenter advokasi ini hadir untuk merespon cara komunikasi media-media arus utama. Maka tidak mengejutkan ketika publik disuguhkan dengan data-data yang tidak pernah mereka dapatkan pada media arus utama, itu akan membuat mereka bereaksi secara berlebihan. Pola komunikasi yang hadir dalam masyarakat ini masih tergolong ke dalam cara berdemokrasi yang baik. Isu yang diberitakan oleh media arus utama diimbangi oleh dengan informasi dari media alternatif seperti film Sexy Killers produksi Watchdoc.
Semoga ini bisa menjadi awal yang baik bagi media-media alternatif seperti film dokumenter yang diproduksi oleh rumah produksi independen. Di Aceh sendiri, sebuah rumah produksi film dokumenter yang bernama Aceh Documentary rutin membuat delapan hingga sepuluh film per tahun. Mereka biasa mengangkat isu-isu seputar sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, lingkungan hidup, hingga politik. Jika kita melihat lebih jauh, film dokumenter produksi Aceh Documentary ini telah membawa beberapa perubahan dalam cara pengambilan keputusan pejabat publik yang ada di Banda Aceh dan sekitarnya. Salah satu film dokumenternya yang layak dibahas juga seperti Sexy Killers ini adalah Memupuk Bencana. Film ini menawarkan wacana baru ketika eksploitasi tambang mulai ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan. Ia menghadirkan pertanyaan bagi kita "apa yang akan dilakukan jika tambang mulai ditinggalkan perusahaan, dan masyarakat mulai berebut untuk menambangnya secara tradisional?".
Akhirnya, penulis melihat masa depan yang cerah jika film dokumenter mulai mendapat tempat pada penonton di Indonesia. Ia akan menciptakan pola komunikasi yang seimbang. Selain itu, harus diingat bahwa film dokumenter tidak sepenuhnya faktual. Dokumenter adalah proses kreatif dalam menciptakan realitas. Namun demikian, percakapan yang hadir (menggugat atau menyetujui) keabsahannya adalah gerakan yang berhasil diciptakan sinema dalam mempengaruhi gerakan sosial. Sudah saatnya film tidak dianggap hanya sebatas hiburan semata, ia harus hadir dalam panggung utama perbincangan terkait persoalan-persoalan kenegaraan dan hajat hidup warga. Sinema harus kembali kepada hakikatnya.